Asalkan Engkau Tak Marah Kepadaku
Di ruang tunggu bandara, ketika menunggu pesawat delay, saya duduk, menutupi wajah dengan tangan. Berusaha tidur, kalau nggak bisa ya pura-pura tidur, supaya saya merdeka. Kapan saja bisa ambil jarak dari kehidupan, itulah kemerdekaan.
Tapi tiba-tiba ada yang menggamit pundak saya. Spontan saya membuka wajah. Orang itu menyapa dengan wajah riang gembira.
“Ngantuk, Cak?”, ia bertanya.
“Iyae…”
“Sampai jam berapa semalam acaranya?”
“Jam 3. Salamannya sampai jam 4”
“Semalam saya juga datang lho Cak, tapi cuma sampai jam 1. Khawatir kondisi anak saya, karena masih bayi”
“Lho kok ngajak bayi segala. Kan udara malam tidak baik”
“Ah, ya tapi kan ketutupan sama berkahnya persaudaraan di acara Njenengan”
“Amin”, jawab saya, “tapi posisi saya hanya bisa mendoakan lho. Mudah-mudahan logika dan harapan Anda itu dikabulkan. Sebab Allah mampu apa saja”
“Ini sekarang mau acara di mana lagi?”
Saya menyebut nama sebuah kota. Per malam sampai tiga hari ke depan.
“Cak, Njenengan kok kuat tho mobat-mabit terus. Apalagi maiyahan selalu sampai hampir pagi. Risiko dakwah ya Cak…”
“Ah, ndak. Saya tidak berdakwah. Saya cuma pas bisa memenuhi permintaan. Kalau dakwah itu kan tugas Da’i”
“Lha Njenengan kan Da’i”
“Semua orang juga Da’i”
“O gitu ya Cak”
“Angin juga Da’i. Hewan-hewan juga Da’i. Siapa dan apa saja yang berlaku sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan, itu Da’i”
“Kok tahu sesuatu itu dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh Tuhan?”
“Berbuat baik, mempersaudarai setiap orang, memanusiakan orang, tidak menyakiti, tidak mencuri, tidak membunuh, selalu berbagi, berusaha bijaksana secara sosial – itu semua mestinya ya dikehendaki bahkan disukai oleh Tuhan”
“Mestinya atau pasti?”
“Kalau mau pasti, kapan-kapan kita sowan ke rumah Tuhan, nanya langsung. Kalau perlu kita rekam. Kita videokan sebagai bukti. Boleh juga diviralkan”
Orang itu tertawa.
“Tapi semua orang bilang Njenengan ini ya Da’i. Muballigh. Ustadz. Kiai. Bahkan ada yang menyebut Ulama ke Njenengan”
“Mereka bermaksud baik. Cuma belum tentu tepat. Saya ini temanmu, mungkin Bapak atau Mbahmu”
“Waduh. Nanti ada yang bilang lebay lho Cak”, celetuknya.
Akhirnya saya berpikir: sekalian sajalah. Toh sudah gagal tidur: “Dakwah itu memanggil, menghimbau, menganjurkan, menyarankan, merekomendasikan, dan itu dilakukan oleh hampir setiap orang di berbagai urusan. Kalau Muballigh yang bertabligh, itu menyampaikan. Lha Lembu melenguh saja menyampaikan keindahan Allah lewat makhluk-Nya. Kalau Ustadz itu panggilan Mister, atau Pak. Pak Karjo Bengkel. Pak Dirun Tongseng. Pak Kasdu Pijet. Kalau Kiai itu penghormatan budaya dan peradaban Jawa kepada orang atau benda. Ada Kiai Slawé di Jombang. Ada juga keris Kiai Sangkelat, pohon Kiai Keningar, gamelan Kiai Kanjeng, kerbau bulé Kiai Slamet di Solo”
Orang itu tertawa kecil. “Njenengan ini terlalu universal, Cak. Kurang akademis”.
Owalah. Ya sudahlah. “Makanya salah tuduhan bahwa saya ini Ulama. Ulama beda dengan Intelektual, Cendekiawan, atau Ilmuwan, meskipun arti harafiahnya sama. Kalau Ilmuwan itu orang yang memiliki penguasaan pengetahuan dan ilmu atas suatu hal. Kalau Ulama itu orang yang ekspertasinya atas suatu bidang ilmu membuatnya takjub kepada ciptaan Tuhan, sehingga merasa takdhim dan takut kepada-Nya. Kalau Ilmuwan, Intelektual dan Cendekiawan, tidak harus takut kepada Tuhan. Tidak harus bertaqwa untuk disebut Intelektual. Lha saya ini, Intelektual bukan, Ulama apalagi”
“Lho ternyata Njenengan lumayan akademis juga”, orang itu tertawa,
“Ditambah Njenengan ini kalau menjelaskan sesuatu bisa sederhana dan gamblang. Makanya masyarakat terus mengundang Njenengan untuk Amar Makruf…”
Aduh saya jadinya terseret untuk membantah terus. “Lho, Amar Makruf itu tugasnya Pemerintah atau Umara. Saya bukan Carik, Kepetengan atau Kamituwo. Saya tidak berposisi Amar Makruf. Bahkan para Kiai, Ustadz, Da’i, Muballigh dan Ulama pun tidak tidak pada tempatnya untuk melakukan Amar Makruf”
“Kok gitu Cak?”, agak serius wajahnya.
“Amar itu bisa berarti urusan, bisa perintah. Amir itu Pemerintah. Amirul Mu`minin itu pemegang pemerintahan atas Kaum Muslimin. Itu butuh legalitas jabatan dan otoritas resmi. Makruf itu berposisi maf’ul: sesuatu yang sudah diolah menjadi paket padat. Dari kata ‘Irfan, semacam pengetahuan tentang kebijaksanaan. Makruf adalah nilai-nilai kebaikan yang sudah di-arif-i. sudah dimusyawarahkan dengan matang, disimulasikan dan dihitung manfaat mudaratnya. Sehingga ia menjadi pasal, formula yang jelas tentang sesuatu hal. Kalau dalam dunia modern namanya hukum positif, pasal-pasal hukum. Maka Kiai dan Ulama tidak di situ tempatnya. Mereka tidak memegang otoritas untuk memerintahkan, melarang dan menerapkan hukum positif”
“Lha kok selama ini dibilang tugas Ulama adalah Amar Makruf Nahi Munkar?”
“Kalau pendapat saya tugas Ulama itu Dakwah Khoir. Khoir itu kebaikan yang masih cair, bersifat universal, benih, serbuk, energi, glepung. Kebenaran dan kebaikan yang masih umum, hanya bisa disampaikan, dianjurkan atau direkomendasikan. Itulah posisi tugas Ulama, Kiai, Ustadz. Beliau-beliau ini tidak memerintahkan atau melarang, melainkan menyampaikan dan merekomendasikan. Jadi, dakwah khoir. Kalau Pemerintah, jangan menghimbau, tetapi memerintahkan, melarang, menindak tegas”
“Kalau Nahi Munkar?”
“Itu tugas bersama. Setiap manusia harus menghindarkan dirinya dan orang lain untuk tidak melakukan destruksi, penggerogotan nilai kebenaran dan kebaikan, penghancuran kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan”
“Jadi Njenengan keliling-keliling ini melakukan Dakwah Khoir Nahi Munkar?”
“Nggak juga. Niat saya cuma jangan sampai dimarahi oleh Tuhan. In lam takun ‘alayya ghodlobun fala ubali. Itu ucapan Kanjeng Nabi favorit saya. Asalkan Engkau, wahai Tuhan, tidak marah kepadaku – maka kuterima apa saja nasibku di dunia: bahagia atau derita, dijunjung atau dibanting, nyaman atau sengsara, hidup atau mati, ada atau tiada. La ubali, gak pathèken. Pak Harto yang serem 32 tahun saja percaya saya omongi untuk bersikap di koordinat nothing to loose itu”.