Arti Pancasila Sebagai Rumusan
Sambutan Pak Tyasno, Danrem 072 Pamungkas Brigjen Fajar Setyawan, dan narasumber lain kemudian mendapatkan respons lebih jauh dari Cak Nun. Di antaranya, dipaparkan tentang pilar-pilar negara Indonesia. Kali ini Cak Nun menggunakan terminologi dari filsafat Jawa “Sedulur Papat Limo Pancer”.
Menurut Cak Nun, ini sedikit diubah karena aslinya Pancernya Siji Sedulurnya Papat. Untuk konteks negara kita, pancernya adalah Rakyat. Rakyat melahirkan empat “anak”: tentara rakyat Indonesia, kaum intelektual dan cendekiawan, kekuatan adat istiadat dan budaya, serta kekuatan agama dan spiritual. Satu pancer dan empat sedulur itulah pilar negara dan bangsa Indonesia. Seluruh penataan dan pengelolaan oleh empat sedulur itu harus mengacu kepada “kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan” rakyat.
Ihwal NKRI harga mati, maka harga mati di situ menurut Cak Nun adalah harus kembali kepada UUD 1945. Sebab ada begitu banyak pasal undang-undang tersebut yang telah diamandemen dan bertentangan dengan yang telah dipathok oleh Bapak-Bapak Bangsa kita dahulu.
Dan tentang Bapak-Bapak bangsa atau pendahulu kita, Cak Nun melontarkan pertanyaan cukup mendasar dan menarik. “Sebenarnya Pancasila itu cita-cita atau rumusan?”. Belum ada sahutan dari jamaah yang sejak awal hampir semuanya dalam posisi penuh perhatian menyimak. Lalu Cak Nun meneruskan, “menurut Bung Karno, Pancasila itu rumusan. Bukan sekadar cita-cita. Itu berarti pernah tercapai. Kalau cita-cita, boleh tidak tercapai. Tapi kalau rumusan perjuangan dan penataan kenegaraan, berarti para leluhur kita dulunya pernah mencapai dan mewujudkan keadilan sosial itu, dan dari situ bisa disusun rumusannya buat generasi selanjutnya.”
Selalu ada hal-hal atau temuan baru dalam kesungguhan mempelajari, dalam hal ini Pancasila, dalam Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Pembahasan ilmu malam ini seakan memberikan gambaran bahwa memeringati HUT Kemerdekaan RI membutuhkan terus-menerus pendalaman dan kontinuasi pembelajaran agar gebyar lomba dan aneka kegiatan tak berhenti tanpa makna.
Malam ini pun, kesegaran pun telah dihadirkan. Lewat nomor Perjuangan dan Doa dari Pak Haji Rhoma Irama oleh Mas Imam Fatawi. Dan puncak komposisi Sinau Bareng ini adalah kembali kepada kekhusyukan dan kekhidmatan. Cak Nun mengajak semua hadirin melantunkan lagu Syukur. Semua hadirin dan jamaah berdiri mengikuti.
Begitu usai lagu Syukur, Cak Nun sempat mengatakan karena Sinau Bareng ini tak bisa terlalu larut malam, “Saya agak menyesal kenapa tadi belum memberikan kesempatan Pak Tyasno bernyanyi….” Pak Tyasno pun menjawab, dengan suara tertahan di tenggorokan, “Entah dari mana atau bagaimana, sebenarnya dari tadi saya ingin bisa menyanyikan lagu Syukur bersama Cak Nun dan anda semua, ternyata sudah langsung terpenuhi.”