Arkaanul Maiyahan
Pada sebuah kesempatan Mocopat Syafaat, waktu itu belum ada istilah Simpul Maiyah, Ferdian dari Magelang naik ke panggung untuk berbagi sekaligus mengumumkan bahwa akan segera digelar rutinan kumpul-kumpul untuk Jamaah Maiyah yang tinggal di sekitaran Magelang.
Satu hal yang membekas dalam pemberitahuan kumpul-kumpul itu adalah ia menyebut bahwa siapa saja dipersilakan hadir dan akan ada suguhan kopi. Kala itu saya berpikir, bahwa kopi adalah sesuatu yang rukun alias komponen yang wajib adanya jikalau akan menggelar kumpul-kumpulnya Maiyah.
Ajang kumpul-kumpul yang diumumkan oleh Ferdian kala itu, kelak di kemudian hari lalu dikenal dengan Simpul Maiyah Maneges Qudroh.
Kemudian tahun bergulir, lahir pula Juguran Syafaat, Simpul Maiyah Banyumas Raya yang kali ini tiba pada putaran ke-53-nya. Namun, ada yang berbeda dari Juguran Syafaat kali ini, tidak seperti biasanya tidak ada kopi. Sebab kendala teknis yang terjadi secara dadakan, dua tim penyengkuyung wedang sama-sama menyajikan teh. Menghindari teh menjadi mubazir adanya, maka water jug kopi tidak sebagaimana biasanya kali ini libur disajikan.
Dari peristiwa tersebut, justru kita semua yang hadir mendapat suatu pengalaman empiris bahwa meskipun tidak ada kopi, kumpul-kumpul Maiyahan masih bisa tetap berjalan dengan nikmat dan pulen. Juga terbantahkanlah sudah asumsi saya enam tahun yang lalu bahwa kopi adalah bagian dari rukun Maiyahan.
Rukun Tujuh Belasan
Sebagaimana biasanya, jam 21.00 tepat satu jam sesi pembuka bersama KAJ The Accoustic diakhiri dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur`an. Sebanyak empat ‘ain dari Al-Qur`an Surat An-Nahl ditartilkan sebagai pembuka Juguran malam hari itu. Kemudian jamaah bersama-sama memanjatkan sholawat dengan khusyuk.
Kukuh, Karyanto, dan Naim menjadi elaborator di awal-awal sesi. Sambil mengenal dan menyambung hati satu sama lain, tema Tujuh Belasan dibincangkan dengan ringan, gayeng tetapi tetap berisi. Bertukar pengalaman antara perayaan Tujuh Belasan di tempat tinggal masing-masing membuat jadi tahu apa-apa yang seolah-olah menjadi rukun alias wajib adanya di tiap Tujuh Belasan.
Sempat terpantik dalam diskusi topik yang tidak jua terjawab hingga tulisan ini diturunkan, yakni siapakah gerangan yang menciptakan lomba-lomba wajib yang seolah menjadi rukun Tujuh Belasan itu? Ada balap karung, makan krupuk, panjat pinang, dan seterusnya.
Akad Sekolah dan Orang Tua
Juguran Syafaat edisi kali ini mengangkat tema yakni “Rukun Ilmu”. Menjelang tengah malam dan diskusi terasa semakin pulen, Kusworo beralih estafet untuk mulai berganti memandu diskusi. Topik tentang Full Day School (FDS) yang sedang ramai tak luput ikut jadi sorotan pembicaraan.
Ardi, seorang staf di sebuah sekolah negeri di Ajibarang, Banyumas menuturkan bahwa pemberlakuan sekolah lima hari di tempatnya sudah relatif teradaptasi. Baik dari pihak murid maupun guru mulai sama-sama bisa membangun iklim pembelajaran yang kondusif. Namun Ia menyayangkan bahwa di tengah semua itu sekolahnya sempat mendapat ancaman dari pihak eksternal guna menghasut ketidaksetujuan pada pemberlakukan FDS.
Meski sudah teradaptasi, apa yang ia sampaikan bukan dalam rangka mengambil posisi pro atau kontra pada kebijakan pemerintah itu. Meskipun ia digaji oleh pemerintah, tetapi ia mengaku menyayangkan bahwa pemerintah mengeluarkan kebijakan yang seolah-olah tidak matang. Menyanyangkan tidak kompaknya eksekutif dan legislatif dalam memandang kebijakan yang sudah kadung digelar.
Mas Agus Sukoco kemudian memberikan respons yang cukup helicopter view. Bahwa persoalannya adalah pada apakah sekolah sudah cukup percaya diri untuk menjadi ‘penitipan’ anak yang sesuai dengan kemampuannya.
“Andai misal Mbah Hasyim Asy’ari datang, lalu meminta anak saya untuk belajar kepada beliau”, Mas Agus Sukoco menyampaikan, “jangankan sekolah sampai sore, bahkan 10 tahun sekalipun anak saya tidak pulang, saya akan tetap senang hati. Nah, tinggal bagaimana sekolah menyiapkan kapasitas dan bentuk hubungan seperti apa antara sekolah dan orang tua murid.”
Akad antara pihak sekolah dan orang tua misalnya, tidak dijumpai akad sebagaimana dahulu para Kiai pesantren dalam menerima amanat dari wali santri. Integirtas mereka tercermin dari betapa mereka hanya berani menerima santri sangat sedikit.
Itu yang tidak terjadi saat ini. Sesuatu yang sifatnya pokok, yakni akad justru tidak menjadi perhatian. Tidak sedikit dari kita yang terjebak pada kondisi parsial pro dan kontra saja, begitu saya turut urun respon. Respon saya berikutnya adalah bahwa pemerintah seringkali membuat kebijakan tanpa uji joba, kebijakan itu dikeluarkan sekaligus sebagai proses uji cobanya. Seperti kita ingat dulu pernah ada kebijakan pemerintah tentang diet kantong plastik, yang setelah sekian bulan lenyap ditelan bumi. Langsung action saja tanpa menghitung potensi dan tantangan, sudah cukup atau belumnya sumber daya serta dampak-dampaknya.
Yang Selalu Ada dalam Setiap Maiyahan
Dari ulasan yang tidak terlalu panjang tentang tema tetapi menurut saya cukup lengkap tentang humaniora aktual tersebut. Kita bisa menjumpai bahwa model ulasan semacam ini bisa jadi merupakan bagian dari rukun alias arkanul Maiyahan. Yakni, kita tidak hanya mendiskusikan sebuah hal secara substantif, dan tidak sekadar secara parsial misalnya hanya mendiskusikan ranting-rantingnya saja, tetapi juga batang pohon hingga akarnya sehingga sebisa mungkin sebuah topik terulas utuh seutuh sebuah pohon.
Alih-alih rukun Maiyahan itu kopi, tetapi malam hari itu kita bersama-sama menemukan salah satu rukun Maiyahan adalah: Diskusi substantif. Lalu apa kira-kira rukun atau sesuatu yang selalu ada dalam setiap Maiyahan? Rukun berikutnya adalah: Berbagi pengalaman yang empiris. Sebagaimana Ardi memberikan sharing, memang berasal dari kenyataan yang ia hadapi sehari-hari, bukan sekadar buah dari studi literasi bukan pula sesuatu yang hanya katanya-katanya. Di Maiyahan kalau kita berbincang itu memperbincangkan sesuatu yang memang benar-benar ada, atau meminjam bahasa dari Pak Toto Raharjo yakni sesuatu yang kasunyatan.
Setelah cukup mantheng diskusi, giliran Pak Titut memberikan intermezo. Seperti biasanya Pak Titut memberikan sharing hal-hal yang ter-update. Di antaranya adalah rasa syukurnya Purwokerto telah dirawuhi oleh Mbah Nun.
Mbah Hadiwijaya yang juga hadir malam hari itu kemudian menyambung rasa syukur tersebut dengan menyampaikan angen-angennya untuk Mbah Nun segera bisa hadir kembali di Purwokerto ini. Mbah Hadiwijaya yang merupakan salah seorang pelukis senior Banyumas pada kesempatan Mbah Nun hadir secara khusus memberikan sebuah lukisan. Beruntung jamaah Juguran Syafaat mendapat kupasan pemaknaan atas lukisan tersebut yang pada kesempatan bersama Mbah Nun kemarin (4/8) beliau tidak dapat menarasikan karena keterbatasan waktu.
Mbah Hadiwijaya sebagai yang paling sepuh di tengah-tengah jamaah nampak setia mengikuti Juguran Syafaat. Menjadi semangat tersendiri bagi muda-mudi untuk tidak kalah semangat dan tidak nglentruk.
Pak Titut seperti biasanya juga mempersembahkan lagu terbarunya. Yang unik dari lagu-lagu Pak Titut adalah hampir semua lagunya mengambil judul dari hewan. Tak mau kalah dengan Pak Titut, Agung Totman seorang seniman muda Banyumas juga turut menyumbangkan lagu, lalu dirangkai oleh Mas Agus Marchell yang tak mau ketinggalan menyumbangkan suara emasnya. Dan menjadi istimewa malam hari itu adalah untuk pertama kalinya Mas Agus Sukoco pun turut menyumbangkan lagu untuk jamaah sekalian yang hadir.
Lagu-lagu yang makin membuat hidup suasana Juguran adalah sumbangan dari tiap-tiap yang ingin ikut menggotong menyengkuyung Juguran malam hari itu. Juguran Syafaat terselenggara berkat gotong royong banyak pihak. Ada yang menyumbang lagu, ada yang meresbuskan air, ada yang nyangking pacitan, ada yang menggelarkan karpet ada yang menyediakan kamera dan handycam, hingga mixer sound system juga menjadi juru parkir gratisan. Ya, digotong bersama-sama mungkin adalah rukun Maiyahan yang berikutnya. Sebab digotong bersama, tidak ada yang mbandari, maka kegiatanpun menjadi milik bersama.
Lalu apa rukun Maiyahan berikutnya, rukun berikutnya adalah apa yang disampaikan oleh Pak Titut: Hadirnya karena ingin menikmati. Tidak ada motivasi yang lebih dominan untuk datang Maiyahan melainkan termagnet oleh keinginan menikmati kebersamaan berkumpul bersama saudara. Ya, Berkumpul bersama dulur-dulur Maiyah itu nikmat. Maka untuk Maiyahan tidak perlu ada iming-iming, iklan persuasif, apalagi ajakan-ajakan hingga hasutan-hasutan yang memaksa.
Kalau nikmat ya datang, kalau tidak nikmat ya tidak datang.
Kenikmatan Mengabdi
Luqman dari komunitas Banyumas Muda memberikan sharing bahwa sesuatu menjadi sebuah rukun ketika memiliki satu dari tiga karakter ini : pareng, paring dan pinaringan. Atau yakni sesuatu yang boleh, sesuatu yang sifatnya kita adalah memberi atau sesuatu yang merupakan pemberian-Nya.
Ada banyak pendekatan yang bisa ditempuh untuk mengilmui rukun juga mengidentifikasi rukunnya ilmu. Di atas adalah salah satunya. Saya merespons dengan memberikan pendekatan lain, misalnya untuk mengetahui mana ilmu yang rukun dan mana yang bukan kita bisa meliohat dari mata pelajaran apa yang diujiankan. Matematika, Bahasa dan Eksak atau Sosial.
Kalau semua mata pelajaran itu disaripatikan, maka yang kita jumpai ternyata adalah matematika.Ya, matematika indikatif merupakan rukun dari ilmu. Logis atau tidak bisa menjadi determinasi awal dari tindakan yang objektif atau tidak. Sesuatu bisa dicek objektivitasnya dengan metodologi matematis dan pendekatan yang logis. Matematika bisa dibawa kemana saja, ekonomi, kimia, fisika bahkan musik.
Kemudian Mas Agus Sukoco mengelevasi diskusi pada tadabbur ayat ‘wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun’. Tidak ada maksud lain jin dan manusia diciptakan kecuali untuk mengabdi.
Analoginya adalah tidak diciptakan sepeda motor olah pabrik sepeda motor, kecuali untuk dikendarai. Lalu kenapa diantara kita hidup tidak nikmat? Sebab seperti seorang anak yang diberi sepeda motor, mas Agus Sukoco menganalogikan, bukannya dipakai untuk berkendara, malah hanya diusap-usap dan dijilati, maka sepeda motor menjadi tidak nikmat.
Sebab default penciptaan kita adalah untuk mengabdi. Maka nikmatnya hdiup adalah ketika kita menjalani proses pengabdian. Itulah sesutau yang rukun alias wajib adanya dalam hidup.
Hingga tiba pukul 02.00 dini hari. Diskusi pun siap untuk dipungkasi. Sebelum acara pamungkas yakni bersalam-salaman saya kebagian memberikan pointers penutup. Yang saya sampaikan kali itu, bahwa sesungguhnya tidak ada seorang diantara kita yang sanggup mengemban beratnya misi hidup. Kalau ada orang yang kemudian berhasil menjalankan misi hidup, itu semata-mata sebab ia dinikmatkan oleh Tuhan untuk mengerjakan itu. Maka dalam hal apapun, yang primer sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri.[] (Rizky Dwi Rahmawan)