Andaikan Jadi Teroris
Brakodin melanjutkan ceritanya.
“Tidak semua dari 50 ribuan pekerja kita di Negeri itu memiliki watak dan tujuan hidup seperti sebagian yang Mbah Sot berjumpa dengan mereka. Junit pasti berkesimpulan seolah-olah ada di antara mereka yang tidak tergolong dari informasi Tuhan: ”Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah”. [1] (Ar-Ro’d: 11).
“Saya belum pernah tahu ayat itu, Pakde”, Junit mengelak.
“Tapi semua mereka Mujahidin tho Pakde?”, Seger bertanya, “kan mereka semua kerja keras, berkorban meninggalkan kampung halaman, menyeberang sekian lautan, demi menghidupi keluarga mereka di tanah air. Saya tidak tega menyebut mereka bukan Mujahidin”
“Jangan memancing-mancing Iqra` Pakde Brakodin untuk menafsir-nafsirkan arti Mujahidin….”, potong Toling.
Brakodin tersenyum dan meneruskan. “Banyak di antara mereka yang hatinya dipenuhi dendam kepada Indonesia. Tentu bukan kepada Indonesia sebagai tanah air dan Negara. Mereka marah, geram, dan tampak benci kepada yang mengelola Negara. Karena kacaunya pengelolaan itulah mereka terlempar jauh ke Negeri orang demi mencari sesuap nasi”
“Kok Mbah Sot bisa berkesimpulan begitu?”
“Katanya suasana batin itu sangat terpancar di sorot mata dan penampilan wajah mereka. Kalau ada orang dari Indonesia datang dengan pakaian agak bagus atau necis, apalagi bergaya seperti pejabat, mereka langsung buang muka dan sama sekali tidak mau berkenalan. Kata Mbah Sot, andaikan mereka menjadi teroris, tidaklah mengagetkan”.