CakNun.com

Anak-anak yang Berpuasa

Hanifah Mustika Wati
Waktu baca ± 3 menit

Semenjak awal tahun ini, saya mendapat kesempatan untuk menemani anak-anak mulai pagi jam 6.45 sampai jam 2 siang setiap hari, Senin sampai Sabtu. Dari proses tersebut memunculkan banyak cerita dan kesan.

Salah satu kesan bagi saya selama menemani anak-anak yaitu bahwa mereka adalah anak-anak yang berpuasa.

Anak-anak yang berpuasa, menahan keinginan-keinginan untuk bermain, merelakan tidak bermain di lapangan, merelakan tidak bertemu dengan teman-temannya. Anak-anak menahan diri demi melaksanakan rancangan orang-orang yang tak mereka kenal, yang menyatakan bahwa rancangan itu adalah “untuk mencerdakan bangsa”. Dari rancangan mereka lah itu akan menuntun sekolah-sekolah menjalankan dan mencapai target-target tertentu.

Sebelum anak-anak bangun pagi, sudah ditunggu oleh jadwal panjang yang bukan dibuat oleh anak-anak sendiri, tapi dibuat oleh orang tua, lembaga pendidikan, dan guru mereka. Bangun pagi, mandi, tanpa sarapan, langsung diantar ke sekolah. Sekarang, jarak sekolah dan rumah juga semakin jauh, karena tuntutan untuk membuat anak tidak hanya tahu akademik saja, tapi juga harus tahu agama, sehingga membuat orang tua memilih sekolah yang lebih baik, dan sebagian besar sekolah itu jauh dari rumah, tidak lagi se-desa dengan rumah anak-anak.

Pagi di sekolah, sebenarnya mereka masih mengantuk tapi harus menyiapkan otak untuk menampung banyak materi pelajaran. Anak-anak hanya mendapat 30 menit istirahat dan itu hanya cukup untuk sarapan yang tadi pagi tak sempat dilakukan.

Sepulang sekolah, sebagian anak-anak juga harus mendatangi guru les atau guru ngaji, dan malam hari juga harus belajar lagi. Anak-anak kehilangan masa tidur siang sebagaimana yang sering dinikmati oleh anak-anak zaman pra-milenium.

Sebenarnya tak ada yang salah dalam hal ini. Orangtua dan guru juga hanya sebagai pelaksana kurikulum. Orangtua mengikuti tuntutan dan hanya sebagai pelaksana untuk menjadikan “bangsa yang cerdas”, begitu pun guru dan institusi sekolah. Sekolah harus menuruti rencana pembuat kebijakan, jika tetap ingin dianggap ada dan diakui. Guru juga harus menuruti keinginan sekolah, jika tidak, akan diangap melawan dan tidak mendukung kebijakan sekolah. Pembuat kurikulum pun juga hanya menuruti keinginan entah siapa untuk merancang kurikulum dan menggantinya hampir setiap lima tahun sekali. Dan mereka pasti telah bekerja dengan sebaik-baiknya.

Jika melihat betapa anak-anak kita ini berjuang demi masa depan, yang sebenarnya bukan hanya masa depan mereka saja, kadang saya menjadi kasihan kepada mereka. Masa kecil mereka untuk bermain habis digunakan untuk menjalankan dan mengabdikan diri pada tuntutan orang-orang yang tak mereka kenal, yang berambisi kepada mereka. Mereka adalah anak-anak yang berpuasa, yang senantiasa menahan diri untuk melakukan apa yang mereka inginkan, terutama agar negara ini tak lagi di rangking bawah dalam hal kualitas pendidikan dan kualitas hidup manusia.

Tak terhitung jumlahnya artikel yang menunjukkan bahwa anak-anak kita kurang disiplin, kurang belajar, kurang bisa berhitung, kurang membaca atau membaca tapi tak paham isinya, kurang bisa menalar, kurang bisa berpikir tingkat tinggi dan berpikir kritis. Dengan kondisi yang ada sekarang ini, berbagai tuntutan ditujukan kepada anak-anak, dan anak-anak kitalah yang akhirnya berpuasa.

***

Banyak kali Mbah Nun di Maiyahan melibatkan anak-anak untuk ikut naik ke panggung, salah satunya di Tanjungtirto, Berbah, Sleman. Pada foto headline dengan judul Belajar Kepada Autentisistas Anak-anak. “Allah masih memberikan harapan dan itu ditanamkan-Nya dalam diri anak-anak bangsa ini. Ratusan kali dalam maiyahan, kita bisa belajar pada mereka.” Memang, bangsa ini masih diberi harapan oleh Allah melalui anak-anak.

Kadang tak tega melihat anak-anak yang setiap hari mengikuti jadwal harian yang diatur oleh orang dewasa. Namun, mengamati mereka setiap hari, membuat saya menyadari bahwa, mereka tetaplah anak-anak, dengan kepungan modernisasi dan kecanggihan teknologi. Saya merasa heran, perilaku mereka dan permainan-permainan yang mereka mainkan, tetap saja di setiap zaman, sama seperti zaman dahulu kala saat saya anak-anak, saat tak ada gadget segencar sekarang.

Saat di sekolah, saya melihat anak-anak tetap bisa memainkan permainan tradisional tanpa alat, baik laki-laki maupun perempuan. Saya juga melihat anak-anak SD bermain sama seperti permainan saya waktu masa kecil dahulu. Kejar-kejaran, maling-malingan, dan dokter-dokteran, tanpa ada yang mengajari, dan berbagai permainan lain yang sudah maupun belum sempat saya lihat. Mereka memang terkepung modernisasi, namun bukan berarti kehilangan kemampuan menjadi anak-anak. Dan kadang saya tersenyum sendiri melihat tingkah polah anak-anak yang mulai memasuki remaja, mulai tertarik dengan lawan jenis, cara-cara “poyok-poyokan” antar mereka sungguh sangat lucu, tak beda dari waktu ke waktu.

Hal ini melangkapi kenyataan dalam foto headlines tersebut. “Mereka tetap memiliki kontinuasi dari leluhur, dan ini membangkitkan optimisme masa depan bangsa dan Negara. Mereka generasi yang benar-benar baru”.

Di balik itu semua, ada satu hal yang mereka tak merasa melakukannya, yaitu berpuasa. Mereka memang anak-anak yang berpuasa, dan mereka bepuasa demi hal yang bukan keinginan mereka.

Mojokerto, Oktober 2017

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib