CakNun.com

Amuk, Alter Ego dari Martabat yang Terinjak

Indra Agusta
Waktu baca ± 3 menit

Mungkin Markesot sudah memuncak frustrasinya. Keadaan sudah semakin darurat, tapi kok sampai hari ini tidak ada instruksi apa-apa ke Markesot.

Perintah? Perintah untuk apa? Untuk mengatasi keadaan? Untuk mengamuk? Untuk triwikrama? Untuk menggalang massa dan memaksakan Revolusi? Untuk menggulingkan Pemerintahan?

Atau untuk seperti dulu melaksanakan Ilmu Sirep kepada Raja agar ia legowo untuk lengser? Untuk menggedor pintu-pintu, gedung-gedung, kantor-kantor dan Istana, membentak, menggeram, berteriak, memekik, dan merombak secara hampir total semua tatanan ini dari kekacauan yang makin menjadi-jadi?

Daur 53Begini Ini Indonesia? Begini Ini Negara?

Triwikrama

Triwikrama, dalam tradisi Hindu adalah perubahan rupa (nitisnya) dewa Wisnu menjadi Brahala raksasa besar, meskipun Dewa Wisnu sendiri ditugaskan Tuhan untuk memelihara jagat, penyayang, dan pelindung alam semesta. Namun inilah sisi lain Wisnu yang adem itu.

Dalam lakon Baratayudha, sebelum peperangan terjadi dikisahkanlah ketika Prabu Kresna menjadi Duta di negeri Astina, bertemu dengan kurawa supaya tidak terjadi peperangan dan supaya sama-sama legowo. Namun saran itu ditolak oleh Prabu Duryudana, dan marahlah Kresna, ber-Triwikrama menjadi raksasa yang nggegirisi (sangat menakutkan).

Dalam pewayangan, hal ini terjadi pula pada Prabu Puntadewa. Ketika Prabu Pandu dan Madrim dimasukkan ke neraka, adik-adiknya berjuang untuk men-surgakan orang tuanya, namun oleh dewa juga dimasukan ke Kawah Candradimuka. Sesaat setelah menyadari keadaan, akhirnya Puntadewa marah dan berubah menjadi Raksasa, dan mengobrak abrik kayangan karena dia merasa apa yang dilakukan adik-adiknya sudah benar.

Ini Triwikrama, ketika martabat seseorang sudah disalahi seseorang yang halus seperti apapun dalam sekejap bisa berubah menjadi Raksasa yang kejam dan berbahaya. Begitu di cerita wayang Purwa, lalu bagaimana di Arcapada tempat kita tinggal?

Amuk

Dalam khazanah bahasa, tersebutlah kata yang asli dari nusantara: Amuk. Kata inilah mungkin yang paling pas penggunaannya untuk mengganti triwikrama. Dari beberapa sumber memang dijelaskan bahwa kata ini asli peradaban Nusantara, yang otomatis masyarakat mempunyai software amuk ini di dalam tubuh mereka.

Dalam kamus bahasa Kawi karangan Poerwadarminta tahun 1939, Amuk berarti Nempuh ngawut tanpa peduli apa-apa. Dalam kamus University of Cambride. Amok: to be out of control and act in a wild or dangerous manner (benar-benar di luar kontrol, liar, dan berbahaya)

Kontradiksi

Jika melihat di dunia wayang ada Prabu Puntadewa yang halus, sabar bisa menjadi raksasa. Bukankah sama jika kita mengamati pola perkembangan masyarakat kita.

Budaya Carok di Madura adalah bukti amok telah menjadi software kita, sesabar apapun kalau istri diselingkuhi oleh orang lain ya carok sampai mati. Atau sejarah lain di peristiwa Sampit melawan Madura, warga Dayak yang tidak terima karena pelabuhannya menjadi pelabuhan Madura II, harga diri yang diinjak inilah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan.

Amuk ini bukan barang baru dari sejak dulu ketika utusan Kublai Khan bertemu Prabu Kertanegara di Singasari. Hanya berdiri sejajar dengan raja saja kupingnya diputus dengan pedang. Sekilas ini kejam, tapi sebenarnya ini adalah harga diri Raja yang terinjak-injak ketika harus tunduk pada kekuasaan Mongolia waktu itu.

Lalu dalam sejarah peperangan melawan Belanda, di Bali ada peristiwa Puputan Bali tahun 1906. Bagaimana sebuah peperangan terjadi, dan mati di peperangan sebagai kehormatan.

Amuk ini juga terjadi terus sepanjang sejarah rakyat Indonesia, berbagai peristiwa besar ketika harga dirinya terinjak-injak, aksi mahasiswa dari tahun 60’an sampai 98, sampai rakyat pun ikut marah ketika ketimpangan-ketimpangan sosial terjadi di tahun-tahun tersebut.

Di sisi lain, amuk ini juga terjadi dan menjadi sentimen yang memilukan, ketika kita mendengar bentrok antar supporter sepakbola, bentrok antar perguruan persilatan. Dan pemerintah sekarang mulai membentur-benturkan satu dengan yang lain demi kelanggengan pemerintahan mereka. Ini berbahaya jika mereka salah langkah akan menjadi Amuk yang tidak bisa diatasi untuk hari – hari mendatang. (Baca: Bangsa Yatim Piatu).

Bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak.

Ada sisi-sisi lain Indonesia yang mereka tidak sadar ini sangat berbahaya. Ketidakadilan yang mereka tanamkan bisa mengubah Puntadewa, atau Kresna yang sangat sabar dan santun menjadi raksasa yang nggegirisi dan ngedhap-edhapi.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Tadabbur Pola-pola Daur Sejarah

Tadabbur Pola-pola Daur Sejarah

Ketika membaca Daur II-206 – Tiga Bencana Besar, saya mendapat pengetahuan yang benar-benar baru tentang sosok pemuda Wali Kubro.

Nurhasan Wirayuda
Nurhasan W.