Allah Kok Ditolong
Junit juga tertawa. Dan rupanya agak serius dengan yang sedang mengalir dalam pikirannya. Sehingga berkepanjangan tertawanya.
“Kenapa, Nit?”, tanya Pakde Sundusin.
Junit tidak segera menjawab. Setelah berusaha menghentikan tawanya, ia omong tapi tidak seperti sedang menjawab pertanyaan.
“Besi. Besi. Hanya besi. Sekedar satu kata: besi…”, katanya.
Semua mengarahkan matanya ke Junit.
“Besi. Keperkasaan. Kebijaksanaan. Kasih sayang. Ke-alim-an. Perang Dunia yang mengerikan, juga perang-perang sporadis yang diselenggarakan di sejumlah region pusat harta benda dunia, alat utamanya adalah besi. Gedung-gedung pencakar langit, satelit-satelit, tapi juga ring jantung.Tapi yang paling menarik adalah kalimat “padahal Allah tidak dilihatnya”.
Seger tidak sependapat. “Saya lebih tertarik pada kalimat “supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan Rasul-rasul-Nya”
“Saya ingin mendengar alasan kalian masing-masing”, kata Pakde Sundusin.
Seger yang duluan menjawab. “Allah menghamparkan kekayaan di alam semesta, menyebar emas permata yang disembunyikan di sela sel-sel bebatuan. Menumbuhkan berlaut-laut pepohonan. Menggelar tikar keindahan berupa tanah yang subur di muka bumi. Allah menumpahkan rahmat, rezeki, barokah dan hidayah. Yang agung, yang besar, yang kecil, yang lembut, yang debu, yang sedemikian lembutnya sehingga tidak kasat mata. Kemudian memberikan password: besi. Ternyata urusannya adalah “agar Allah mengetahui apakah mereka menolong-Nya dan Rasul-Rasul-Nya”. Meskipun yang dimaksud adalah menolong Agama-Nya, sebenarnya tetaplah pekewuh dan malu mendengar kalimat di mana manusia menolong Allah. Manusia kok menolong Allah. Allah kok ditolong…”.