Allah di Zarrah
Apa hubungannya? Apa kaitan antara yang diceritakan oleh Mbah Sot itu dengan ayat yang dikutipnya? Bukankah itu petunjuk Allah tentang kiblat arah menghadapnya shalat, sesudah perubahan dari Masjidil Aqsha ke Ka’bah Mekkah?
Coba kutip selengkapnya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” [1] (Al-Baqarah: 177).
Kenapa orang selalu kehilangan kecenderungan untuk menemukan ruang dalam titik, sehingga selalu berpikir materiil bahwa hanya ada titik di dalam ruang. Kenapa orang tidak berkembang penglihatannya untuk menemukan keseluruhan pada setiap bagian, sehingga selalu beranggapan bagian-bagian selalu harus merupakan unsur dari ruang? Kenapa manusia tidak rajin belajar untuk menemukan semesta tatkala berdiri di depan pintunya. Menemukan besar dalam kecil, menemukan akhir di awal, menemukan kehadiran Allah di zarrah?
Apa yang tak terkandung dalam firman yang dikutip Mbah Sot itu? Rentang atau gradasi antara kuantitas dengan kualitas, antara materi dengan ruh, antara sangkan dengan paran, antara segala sesuatu yang mengalami perubahan-perubahan amat sangat lembut di dalam proses evolusi dan pemuaian. Baik pemuaian yang mencembung maupun yang mencekung? Bagaimana mungkin manusia ahsanu taqwim menyangka ayat itu hanya urusan menghadapkan wajah ke suatu arah?