Alangkah Pentingnya Kloso!
Teman-teman yang saya hormati, malam ini (11/10) kita bertemu dalam Diskusi Sewelasan untuk berbincang dan ngobrol seputar buku “Demokrasi Tolol Versi Saridin” yang ditulis oleh Cak Nun yang dulu diterbitkan oleh Penerbit Zaituna pada 1996, dan pernah pula diterbitkan kembali dengan judul Folklore Madura oleh Progress pada pertengahan 2000-an.
Diskusi Buku kita malam ini, hemat saya, tidak sedang meng-endorse apapun terhadap buku Cak Nun ini layaknya kepada buku baru yang fresh from the oven kebul-kebul keluar dari dapur penerbit. Toh andaikan buku baru, buku beliau sudah swa-endorse berkat kredibilitas beliau sendiri sebagai penulis dan tokoh. Saya pun rasanya tak perlu mengulang hal yang sudah cukup jelas semisal buku-buku Cak Nun yang di-publish kembali menunjukkan masih relevan dan masih asik buat dibaca saat ini padahal usianya sudah melewati dua dekade lebih.
Lantas apa, Kak?
Saya ingin mengajak teman-teman menikmati diskusi dengan pendekatan belajar atau sinau kepada buku Demokrasi Tolol Versi Saridin ini. Tentunya, tersedia banyak dimensi yang dapat dipelajari di situ. Salah satunya saya akan belajar penulisan kreatif. Ya, maaf, karena saya pribadi masih merasa jauh dari mampu menulis. Benar-benar jujur saya katakan.
Seperti diantarkan dalam kata pengantar, buku ini “bajunya” adalah humor. Di dalamnya, Cak Nun mengajak kita tersenyum menyaksikan berbagai kejadian lucu, unik, khas, atau langka. Oh ya, sebagian judul dalam buku ini memang diambil dari Majalah HumOr. Majalah zaman dulu. Jadi, wajar jika Anda akan berjumpa dengan kisah yang membuat Anda tertawa, senyum lebar, atau tiba-tiba wajah Anda memancarkan suatu kesegaran.
Konon kabarnya bercerita lucu itu tidak gampang. Menyampaikan humor tidak selalu dapat dilakukan setiap orang. Perlu talenta khusus. Perlu momentum yang pas. Apalagi jika menyampaikan humor itu lewat tulisan. Tantangan utama tentu adalah tanda tanya bisa nggak ya humor itu tersampaikan. Muncul semacam beban jangan-jangan yang kita tulis malah bikin orang bingung atau sense of humor-nya tidak tertangkap. Maka menulis humor pun butuh alur yang diperhitungkan dengan baik, agar semua bisa lucu, segar, dan enak pada waktunya. Eh…
Ada satu hal yang saya lihat pada tulisan-tulisan Cak Nun pada buku Saridin ini. Setiap akan mengantarkan pembaca pada titik inti humornya selalu digunakan sampiran (istilah dalam pelajaran bikin pantun) atau bisa pula disebut kloso (alas, tikar) di mana kloso tersebut bukan sekadar kloso. Kloso itu sendiri ternyata berisi muatan yang padat. Kloso yang menyajikan “informasi”. Mungkin tak selalu disadari oleh pembaca yang memang sejak awal sudah tahu akan menggapai cerita lucu dalam buku ini.
Sampiran atau kloso ini, menurut saya, membedakan tulisan dalam buku ini dengan tulisan-tulisan humor lainnya. Menariknya, antara kloso—yang sarat muatan—itu tetap enak dan nyambung dengan kejadian humoristis yang hendak disampaikan. Dalam pandangan saya, ini skill menulis yang istimewa. Anda boleh mencatat ini terlebih dahulu sebagai satu cara, gaya, atau metode tersendiri dalam menulis humor. Ini sumbangan creative writing tingkat advance dari Cak Nun, walaupun mungkin beliau tak menyadarinya atau memaksudkannya demikian sedari semula.
“Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.” (Hal. 27, pada judul tulisan Demokrasi Tolol versi Saridin).
“Banyak kisah dan mitos tentang kehebatan para Wali atau Kiai yang menyangkut ada atau tak adanya mereka, hadir atau tak hadirnya mereka, alias diseksistens atau eksistens mereka di suatu tempat dan waktu tertentu. …Di pesantren tertentu, sudah jamak adanya berita bahwa Pak Kiai tidak bisa menemui tamu karena sedang Jum’atan di Mekkah. Seorang Imam bahkan diyakini ummatnya memberikan khutbah Jum’at di tiga masjid sekaligus pada suatu siang. Wali lainnya mengaji di biliknya, dan pada saat yang bersamaan sedang memberikan pengajian di kabupaten sebelah.” (Hal. 15, pada judul Nasib Gus Dur).
“Kisah-kisah dari Madura serta berbagai khasanah humor lainnya sering menunjukkan, bahwa dalam hubungan relijius, manusia memiliki dua kecenderungan sikap kepada Tuhan. Yang satu serius, lainnya, maaf, cenderung santai dan penuh hunor–meskipun yang terakhir ini tidak harus berarti negatif.” (Hal. 87, pada judul Metode Ritus Abu Nawas).
Tiga petikan di atas dari buku berisi 28 esai nan segar ini hanyalah sedikit contoh dari kloso yang sebenarnya lebih panjang dari petikan yang mengantar pembaca untuk sampai pada inti cerita. Petikan itu sekadar untuk menunjukkan bahwa kloso yang dipakai Cak Nun sangat padat. Padat wawasan antropologis, sosiologis, dan alam pikir keagamaan. Pada judul-judul lainnya pasti akan beda lagi nuansa kepadatan kloso-nya.
Kalau kita mau menulis, apalagi menulis kisah yang dimaksudkan menghadirkan humor, tawa, kesegaran, dan kegembiraan, kita perlu belajar membangun kloso yang cerdas dan memikat. Buku Demokrasi Tolol Versi Saridin ini dapat kita jadikan literatur pembelajarannya.
Kita bisa bandingkan dengan misalnya buku humor klasik Mati Ketawa Cara Rusia. Hampir semuanya disajikan pendek dan langsung pada intinya. Lucu memang isinya. Tetapi, dari buku bertokoh-tema Saridin dan Madura ini, kita mendapatkan contoh lain dalam menulis hal ihwal atawa cerita-cerita yang segar. Kesegaran yang bahkan tingkatnya lebih tinggi dari humor-humor kebanyakan. Buku Cak Nun ini pendek kata sebuah bentuk crafting tulisan yang khas dan memikat.
Pendek kata, untuk menuju suatu momentum inti cerita, perlu kloso, pengantar, dan bingkai yang kuat dan indah. Dan ternyata, prinsip demikian ini berlaku juga dalam kita berbicara atau bercerita secara lisan, dalam suatu public speaking misalnya. Kita buku kloso dalam menyampaikan pesan, dan mungkin dalam hal lain dalam hidup. Alangkah pentingnya kloso.
Yogyakarta, 11 Oktober 2017.