Al-Qur`an untuk Kuli Pasar
Aku mendengarkan dari corong Masjid sebelah: “Di akhir zaman ini banyak aliran-aliran sesat akibat menafsirkan Al-Qur`an tanpa ilmu yang memadai. Oleh karena itu berhati-hatilah dengan pengajian yang hanya mengajarkan Al-Qur`an melalui terjemahan. Carilah pengajian yang menggunakan Kitab-Kitab Tafsir yang diakui, seperti Tafqir Qurtuby, Thobary, Ibnu Katsir, Jalalain. Pengajian Tafsir itu pengajarnya harus mengerti Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, Ma’ani, Badi’, Ushulul Fiqh, Ilmu Hadits, pendapat para Sahabat dan Ulama”.
Informasi dan peringatan itu sangat bermanfaat untuk menjagaku agar tidak berpendapat apapun tentang Al-Qur`an. Tetapi ada yang bertanya: kalau aku tidak boleh berpendapat tentang Al-Qur`an, bolehkah aku berpendapat tentang Tafsirnya? Bolehkah aku berpendapat tentang pengajian dan pengisinya? Bolehkah aku memastikan pendapatku apakah pengajian yang akan kuhadiri nanti diisi oleh pengajar yang hanya mengungkapkan terjemahan Al-Qur`an ataukah Al-Qur`annya langsung?
Bagaimana cara orang Islam rata-rata seperti aku ini mampu menilai apakah isi pengajian itu memenuhi syarat Tafsir atau tidak? Bagaimana mungkin aku mampu berpendapat apakah uraiannya benar atau salah? Sedangkan untuk itu aku sendiri harus mengukurnya berdasarkan pendapatku sendiri langsung terhadap Al-Qur`an, padahal kapasitasku tidak memenuhi syarat untuk berpendapat tentang isi Al-Qur`an?
Wahai Kanjeng Nabi, kenapa Allah menitipkan Al-Qur`an kepadamu hanya untuk para Ulama, Muslim ilmuwan, Sarjana, Ulul-Albab, Ulul-Abshar, Ulun-Nuha dan kaum terpelajar lainnya dan tidak untuk keawamanku, untuk saudara-saudaraku tukang becak, penjual sayur di pasar, karyawan hotel, pelayan restoran, pemulung, penarik ojek, kuli pelabuhan, buruh tani, penderes kelapa, dan saudara-saudaraku kaum awam lainnya?