Al-Qur`an Sembarang Orang
Aku mengangan-angankan wajah Muhammad. Aku membayangkan gerak-gerik dan suaranya. Tetapi yang ada di depan pandangan mataku adalah huruf-huruf yang berderet-deret berangkai-rangkai di lembaran-lembaran Mushaf Al-Qur`an.
Sesering mungkin dan semampu-mampuku kubaca Al-Qur`an dengan menikmati kerinduanku kepada Muhammad. Bibirku bergerak membaca kalimat-kalimat Al-Qur`an, tapi bersamaan dengan itu sangat sering terdengar dari ruang dalam diriku sendiri lelaguan “Shallallahu ‘ala Muhammad, shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Allah memberitahukan dan kurasakan sendiri bahwa Ia meletakkan hati dan akal pada diriku. Bolehkah hati dan akal pikiranku bertemu dan bersilaturahmi langsung dengan ayat-ayat Al-Qur`an? Bolehkah aku bergaul secara otentik dengan Al-Qur`an? Karena Al-Qur`an bukan hanya kata, tapi juga makna, maka adakah kemungkinan aku memperoleh langsung maknanya? Karena untuk memperoleh makna aku harus berupaya memahami, maka bolehkah aku berusaha memahami Al-Qur`an? Dan karena untuk memahaminya seringkali aku perlu menafsirkan, berhakkah aku menafsirkannya?
Dikabarkan bahwa menafsirkan Al-Qur`an tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Tidak semua orang berhak menafsirkannya. Sedangkan aku ini sembarang orang, aku hanya bagian dari semua orang, bukan orang khusus yang bukan sembarang orang. Aku bukan Ulama. Padahal “Al-Qur`an ini tak ada keraguan padanya: petunjuk bagi yang bertakwa”. [1] (Al-Baqarah: 2). Bagaimana ini. Aku tidak bersekolah, apalagi kuliah tafsir. Mungkinkah aku memperoleh petunjuk? Bagaimana aku tahu memperoleh petunjuk atau tidak, kecuali dengan rasa hati dan kesadaran akal?