Al-Qur`an Sebagai Metode
Di dalam perjalanan hidup ini, sejak kita lahir, lalu sedikit demi sedikit meningkat kesadaran kita, hingga kelak maut menjemput, kita dihadapkan pada tiga jenis ayat atau realitas. Ayat kauniyah (hamparan alam semesta), ayat anfusihim (realitas diri manusia—perilaku, sejarah, dan kediriannya), dan ayat qauliyah (kalam/teks Kitab Suci).
Bagaimanakah hubungan ketiganya? Mungkin bermacam-macam. Di antaranya, pernah ada yang berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah substansi, sedangkan metode (mendekatinya) adalah Ilmu Barat. Tetapi dalam sebuah diskusi, pernah saya mendengar Mbah Nun menawarkan konsep yang berbeda untuk memahami ketiga “komponen” kehidupan itu. Bagi Mbah Nun, yang lebih pas adalah alam semesta dan diri manusia berposisi sebagai substansi, dan metode membaca atau memahami keduanya adalah melalui Al-Qur`an.
Al-Qur`an menyajikan wawasan dan perspektif mengenai realitas alam semesta (kejadian, hukum alam, peristiwa yang pernah terjadi pada alam, dll) dan realitas diri manusia itu sendiri (mulai dari penciptaan, sejarah, perilaku, kecenderungan, dll). Jadi, pola jalinan yang dilontarkan antara ketiga jenis ayat tersebut adalah: dua sebagai substansi, satu sebagai metode.
Ambil contoh memahami diri manusia. ‘Memahami diri manusia’ di sini perlu dirasakan sebagai sebuah cakupan yang luas. Bukan sebatas pengetahuan-pasif tentang apa dan siapa manusia, melainkan ‘bagaimana’ semestinya atau ‘bagaimana’ cara manusia. Maka, upaya mendapatkan jawaban atas pertanyaan atau kebutuhan tertentu dari manusia pada hakikatnya adalah juga sebentuk ‘memahami diri manusia’.
Dalam menapaki sejarah sosialnya, manusia membutuhkan rumusan tata bermasyarakat dan berkepemimpinan. Ini realitas ayat anfusihim manusia. Untuk menjawab kebutuhan mengetahui bagaimana kepemimpinan dibangun atau prinsip-prinsip yang bisa mendasarinya, dia bisa segera mencari atau menggali prinsip-prinsip, rumus, dan ilmunya di dalam al-Qur`an.
Yang kerap didalami dan dikemukakan oleh Mbah Nun sendiri dalam soal ini adalah surat al-Hasyr 22-24. Atau surat an-Naas 1-3. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ayat-ayat tadi dapat digunakan untuk membaca fenomena atau kejadian kepemimpinan yang berlangsung. Sahabat-sahabatku tentu sudah sering melihat contoh penjabarannya oleh Mbah Nun mengenai hal itu. Dari bagaimana kepemimpinan yang sejati dan efektif dibangun hingga perlu diutamakannya pengayoman dalam kepempinan.
Apakah dengan begitu teori-teori kepempimpinan lain yang diartikulasikan ilmu-ilmu politik tidak diperlukan? Sebentar. Fokus dulu ke ini: kita sedang menempatkan Al-Qur`an sebagai metode. Penempatan semacam itu di antaranya karena berangkat dari asumsi utama bahwa Al-Qur`an diturunkan kepada manusia sebagai petunjuk bagi mereka (hudan linnaas). Sehingga sebenarnya terdapat legitimasi logis untuk menempatkan Al-Qur`an sebagai metode.
Masalahnya selama ini kita terserap terus dalam kesibukan menjadikan Al-Qur`an sebagai objek materiil yang dikaji melalui pendekatan beragam dan terus berkembang, dan diam-diam tak sempat punya bayangan buat menjadikan Al-Qur`an sebagai metode, sebagai pendekatan, bukan sebagai objek materiil belaka. Suatu langkah yang mungkin perlu dicoba sebenarnya. Pengkajian tetap berjalan, tetapi seyogianya tak berhenti di situ. Di depannya ada keperluan kita menempatkan Al-Qur`an sebagai metode, metode hidup, cara baca atas realitas hidup.
Dalam banyak tulisan maupun pembahasan Sinau Bareng, ekspresi Al-Qur`an sebagai metode sangat sering muncul dari penjelasan-penjelasan Mbah Nun. Penjelasan-penjelasan itu hadir pada saat sebuah pertanyaan atau persoalan coba direspons, atau tiba-tiba sampai pada suatu keadaan yang tau-tau rasanya pas dengan suatu ayat. Dan teman-teman selain paham, juga melihat asyik juga mengasyiki Al-Qur`an sebagai metode yang selama ini telah mereka lihat mempraktik dalam uraian-uraian Mbah Nun. Nah sekarang Mbah Nun tak ingin sendirian, kita semua juga diajak mengasyiki Al-Qur`an.
Kaliurang, 12 November 2017