CakNun.com

Al-Qur`an, Pengajian Maiyah, dan Masyarakat (3)

Bagian 3 dari 4. Diterbitkan dalam buku "Agama, Kitab Suci, dan Masyarakat", 2013.
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 8 menit

Menghadirkan “Islam” di hadapan umat Nonmuslim

Pada tanggal 6-20 Oktober 2008, Cak Nun beserta kelompok musik KiaiKanjeng mendapat undangan dari Protestantse Kerk Nederland (PKN) atau Persatuan Gereja Protestan Belanda untuk mengadakan tur atau lawatan di sembilan kota di Belanda: Den Haag, Amsterdam, Deventer, Nijmegen, Leeuwarden, Zwolle, Hilversum, Rotterdam, dan Etten-Leur. Sesuai jadwal, di sana Cak Nun bertemu dengan kalangan masyarakat nonmuslim, yakni Kristen, Katolik, dan Yahudi, di samping juga menemui komunitas Muslim di Belanda. Rangkaian tur ini bertajuk “Voices & Visions: An Indonesian Muslim Poet Sings a-Multifaceted Society.”

Setting internasional, khususnya di Belanda, saat itu kurang cukup mendukung karena dunia baru saja dihebohkan oleh video yang dibuat oleh Geert Wilders yang berjudul “Fitna” dengan durasi 17 menit yang isinya menginterpretasikan Al-Qur`an secara semena-mena dan mempresentasikan Islam dengan penuh kebencian dan prasangka buruk. Tentu saja undangan ini tidak semata-mata untuk keperluan kunjungan budaya, tetapi juga dalam semangat membangun mutual-understanding di antara masyarakat muslim dengan masyarakat non-muslim.

Latar belakang tersebut juga diakui dan dikemukakan oleh Pendeta Aart Verburg dari PKN yang mendampingi Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan menjadi penerjemah selama acara di sana. Aart Verburg mengatakan,

…dan situasi di Belanda makin tegang antara orang Kristen dan Muslim, …waktu itu sudah ada unsur film Wilders dan sudah tersebar isu bahwa akan ada film Wilders itu dan akan mengakibatkan ketegangan yang tidak enak. Dan kami berpikir perlu ada inisiatif untuk membuat hubungan orang Kristen dan Islam jadi lebih enak. Ternyata mereka sudah kenal dengan Emha dan KiaiKanjeng, apakah kita tidak bisa memanfaatkan unsur budaya untuk mengusahakan hubungan yang lebih akrab lagi. Kebetulan pada tahun itu diumumkan bahwa tahun 2008 adalah tahun komunikasi lintas budaya se-Eropa, dan kalau gereja mau, gereja juga bisa mengajukan proposal untuk ikut serta dalam mengadakan tahun komunikasi lintas budaya, terus teman-teman di Indonesia bilang sebaiknya KiaiKanjeng diundang, karena itu ada unsur budayanya, religiusitasnya juga ada, dan bagi gereja itu penting, karena kita tak boleh memisahkan ini pure budaya ini pure agama ini…. karena itu semua bagian dari manusia. [8]

Menariknya, dalam acara pertama di Gereja Juliana, selain mempersembahkan musik-musik yang mendekatkan hati satu sama lain dari semua yang hadir dengan latar belakang agama dan budaya yang beragam, oleh panitia Cak Nun justru diminta membaca Al-Qur`an. Cak Nun pun langsung membaca surat an-Nur ayat 35, salah satu ayat yang disukainya dan kerap dibacakan di beberapa kesempatan Maiyahan sekaligus menjadi ayat yang sarat inspirasi dan pengetahuan baginya. Al-Qur`an pun terlantun di dalam gereja itu.

Masih dalam rangkaian tur Belanda itu, Cak Nun juga menghadiri atau menjadi pembicara utama dalam sebuah seminar mengenai agama, dan telah menulis sebuah makalah ringkas setebal 6 halaman yang diberi judul “Islamic 10 Popular Idioms.”[9] Dalam makalah itu Cak Nun menguraikan 10 istilah di dalam Islam yakni Islam, Dien, Iman, Tafsir, Jihad, Syariah, Ibadah, Allahu Akbar, Khilafah, dan Syahid. Sebagian besar dari istilah-istilah ini merupakan kosakata yang mewarnai diskursus hubungan Barat-Islam yang tidak selalu terbangun dalam suatu persepsi yang baik. Jihad, Syariah, dan Khilafah adalah beberapa istilah yang telah terkontaminasi oleh citra yang mengerikan bagi publik Barat.

Tidak ada pretensi pada diri Cak Nun untuk mengubah atau merasa memiliki kemampuan mengubah persepsi masyarakat Barat menyangkut konsep-konsep di dalam Islam itu, bahkan kesulitan itu diakuinya sendiri ketika press conference di KBRI di Den Haag Belanda. Maka Cak Nun memilih memosisikan diri sebagai ‘belajar menjadi manusia, yang belajar memahami dirinya kembali, dan memahami ancaman-anacaman terhadap kemanusiaan’.[10] Melalui pengambilan sikap seperti ini, pembangunan hubungan antara hati yang satu dengan hati yang lebih dimungkinkan, sehingga sebuah dialog kemudian dapat dilakukan. Dalam cara yang demikian pula kemudian, Cak Nun lantas mencoba menguraikan “Islamic 10 Popular Idioms” sebagai upaya menyumbangkan pemahaman alternatif bagi masyarakat nonmuslim.[11] Dua penjelasan alternatif itu agaknya layak dikutip di sini sepenuhnya: jihad dan syahid.

Tentang jihad, Cak Nun menulis:

Secara etimologis Jihad memiliki “famili kata”: Ijtihad dan Mujahadah. Jihad secara literer berarti berjuang atau berusaha. Seorang Bapak atau Ibu yang bekerja untuk menghidupi keluarganya, adalah Jihad. Para aktivis, cendekiawan, buruh, pejabat Negara, pengusaha, seniman dan siapa saja yang bekerja untuk kebaikan dan keindahan sosial, disebut Mujahid, atau Pelaku Jihad.

Aktivitas intelektual yang mendasari dan mengolah perilaku Jihad disebut Ijtihad. Para peneliti, eksplorator ilmu, inovator, penemu, para penerjemah ilmu ke teknologi, juga para penyebar hasil inovasi yang semuanya menggunakan aktivitas akal pikiran, disebut Mujtahid atau Pelaku Ijtihad. Sedangkan segala aktivitas yang modal utamanya menggunakan spiritualitas, hatinurani dan estetika, disebut Mujahadah.

Dunia internasional mengenal kata “Jihad” dalam konotasi eksklusif: perang, bom bunuh diri, dst. Jihad sesungguhnya adalah milik setiap orang, karena secara universal bermakna “perjuangan”. Hanya saja paradoks interpretasi terhadap apa yang diperjuangan, siapa yang harus dilawan, apa yang harus dipertahankan dan seterusnya, melahirkan dua kemungkinan. Pertama, benturan kecil maupun peperangan besar. Kedua, penyempitan dan kesalahpahaman terhadap makna orisinal “Jihad”.

Kata “Jihad” lazim diucapkan dalam satu idiomatik dengan kata “Sabilillah”. “Jihad fi Sabilillah” diartikan berjuang di jalan Tuhan. Yang dilakukan oleh nelayan yang bertaruh nyawa di tengah gelombang laut dalam rangka mencari penghidupan bagi keluarganya adalah “Jihad fi Sabilillah”. Sangat menyedihkan bahwa terdapat kenyataan sejarah di mana “Jihad fi Sabilillah” dipersempit maknanya menjadi berperang membela golongan Muslim. [12]

Kemudian mengenai syahid, Cak Nun menulis:

Berbagai peristiwa kematian yang sebabnya adalah kemuliaan di hadapan Tuhan, manusia yang mati itu lazim disebut “Syahid”. Ada sejumlah kriteria “Syahid”, namun ia lebih merupakan “nilai” disbanding “norma”, sehingga terdapat multi-interpretasi atas idiom tersebut. Sedemikian cair dan dinamisnya makna “Syahid” sehingga setiap orang yang meninggal didoakan “Semoga dan insya-Allah mati syahid”.

Orang mati ketika melakukan ibadah, ketika melakukan pekerjaan suci, disebut “Mati Syahid”. Tetapi makna ibadah dan kesucian sedemikian luasnya. Sopir Bus yang melakukan perjalanan ribuan kilometer untuk menghidupi anak istrinya adalah pekerjaan suci dan ibadah.

Akan tetapi kata “Syahid” selama ini memang popular diperuntukkan bagi Muslim yang mati dalam peperangan “membela Islam”. Sehingga muncul “inisiatif untuk mati Syahid”, misalnya dengan melakukan sesuatu yang pada pandangan orang lain disebut bunuh diri.

“Syahid” bermakna juga “orang yang menyaksikan”. Mungkin maksudnya adalah suatu kemuliaan jika manusia meninggal pada peristiwa di mana ia “menyaksikan” nilai yang tertinggi dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, yakni kemuliaan ibadah. Tetapi “Kemuliaan” ini juga berbeda-beda orang memahaminya.

Mungkin lebih aman bagi semua pihak jika manusia berkonsentrasi pada pencarian kemuliaan hidup, bukan “bersangka-sangka” terhadap posisi “Syahid”nya. Kemuliaan lebih mudah dipahami oleh ilmu dan kebijaksanaan manusia, dibanding “Syahid” yang hanya Tuhan mengerti persis maknanya.

Selain 10 istilah di atas, diuraikan juga olehnya satu istilah lagi, yaitu ‘kafir’. Kosakata ini juga merupakan salah satu kosakata yang mengerikan bagi publik Barat. Ada delapan jenis kafir yang dikemukakan dari wacana Islam: kafir inkar, kafir ’inad, kafir fusuq, kafir nifaq, kafir ni’mah, kafir harbi, kafir mu’ahad, dan kafir dzimmi. Tiga jenis kafir yang terakhir ini berkaitan dengan hubungan antar agama. Tentang tiga jenis kafir terakhir ini, Cak Nun menuturkan:

Kafir Harbi: orang di luar Islam yang dengan sengaja memusuhi Islam. Di sini Tuhan memberi dua kemungkinan: Orang yang barangnya dicuri 100 Euro maka ia berhak untuk mengambil 100 Euro dari yang dicuri. Kalau saya diperlakukan jelek maka saya berhak memperlakukan hal yang sama seperti dia. Tapi the second option kata Tuhan ”tapi kalau engkau ingin tinggi, ingin mulia di hadapan-Ku maka maafkanlah. Jadi Tuhan tidak memaksa untuk memaafkan tapi menawarkan kemuliaan kalau mau memaafkan. Kemudian, kafir mu’ahad. Ini mungkin seperti kumpulan kita pada malam hari ini. Jadi orang yang bukan Islam tapi berada dalam perjanjian untuk hidup bersama dengan baik sebagaimana dulu terjadi di Madinah. Maka di antara orang Islam dan orang non-Islam maka ada kewajiban untuk saling melindungi dan saling menyelamatkan. Kemudian, kafir dzimmi. Diandaikan ada negara yang penguasanya adalah muslim, ada kewajiban bagi penguasa muslim untuk melindungi apa yang disebut kafir dzimmi, untuk menjamin keselamatan mereka. Siapapun yang berada dalam kekuasaan umat Islam, dengan agama apapun, dia punya hak untuk dilindungi oleh pemerintahan Islam.”

Setelah menguraikan delapan jenis kafir ini, Cak Nun kemudian meminta kepada semua yang hadir untuk tidak terdramatisasi oleh kosakata seperti “kafir” dan “jihad” yang telah bias dipahami. Lebih lanjut, Cak Nun menegaskan, seandainya kafir itu kafir maka sesungguhnya yang paling berhak menyebutnya hanyalah Tuhan.

Kiranya tidak mudah berbicara tentang konsep-konsep Islam itu di hadapan publik Barat yang boleh jadi sudah terkena bias-bias dalam memahami Islam, belum lagi kemungkinan adanya salah paham yang muncul dari komunitas Islam sendiri yang barangkali merasa kurang sreg dengan performance Cak Nun dan KiaiKanjeng di komunitas non-Muslim di Barat yang mungkin dipandangnya terlalu jauh meninggalkan koridor agama atau mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil, tetapi Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan pemahaman “radikal” dan dengan semangat menghormati sesama umat manusia tetap hadir di sana justru untuk mencoba menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam keyakinan Cak Nun, tidak ada batasan baginya untuk bertemu dengan siapa saja, sebab yang terpenting adalah apa yang dibawa kepada orang lain tersebut.

Maka, dalam pertemuan atau penampilan internasional dengan audiens non-muslim atau yang berbeda latar belakang budayanya, Cak Nun lebih mendahulukan persembahan lagu yang tidak lain adalah lagu mereka sendiri, misalnya lagu dari negeri Belanda, sehingga dapat mempertautkan hati satu sama lain. Mereka akan tersentuh hatinya melihat orang yang lain kebangsaannya menyanyikan lagu mereka. Baru kemudian Cak Nun dan KiaiKanjeng mempersembahkan lagu-lagu yang dibawa dari Tanah Air misalnya lagu dari daerah-daerah Nusantara atau lagu-lagu dari khazanah musik Islam, misalnya lagu Ummi Kultsum, sebagai suatu cara untuk memperkenalkan budaya Nusantara atau budaya Islam di hadapan mereka. Ada batas yang dipegang oleh Cak Nun dalam hal ini, bahwa lagu (yakni nada-nada) sesungguhnya bersifat universal dan tidak dimonopoli oleh suatu agama atau kelompok budaya tertentu. Yang dapat menjadi milik suatu golongan adalah liriknya, karena di dalam liriklah terdapat ungkapan keyakinan yang berbeda dengan kelompok lainnya dan karenanya tidak bisa dicampuradukkan. Lagu yang liriknya berasal dari khazanah agama Islam yang dibawakan dengan nada-nada yang biasanya didengar pada lagu-lagu nonmuslim pun biasanya hanya dibawakan pada momentum-momentum tertentu misalnya acara yang memang pengundang atau audiensnya nonmuslim, atau plural, sebagai suatu bentuk sapaan, penghormatan, atau cara mengakrabkan satu sama lain, dan bukan merupakan lagu yang harus menjadi mainstream. Ia bersifat menghangatkan komunikasi sosial.

Dari catatan-catatan yang ada, publik Belanda yang mengikuti acara-acara Cak Nun dan KiaiKanjeng selama lawatan di sana secara umum sangat senang, terkesan, dan mendapatkan persembahan yang lain daripada yang lain. Gambaran mereka mengenai Indonesia juga menjadi lebih kaya, dan terutama sekali mereka dapat memperoleh pemahaman alternatif mengenai Islam sebagaimana yang dihadirkan oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng.

Hal yang sama juga ditemukan pada kunjungan Cak Nun dan KiaiKanjeng di negara-negara Barat lainnya pada tahun-tahun sebelumnya: di Italia, Australia, Jerman, Finlandia, Inggris, Skotlandia, dan negara-negara lainnya.[13] Bahkan, saat beracara di Roma Italia kebetulan berbarengan dengan saat Paus Johannes Paulus II meninggal dunia, Cak Nun dan KiaiKanjeng mendapat kehormatan untuk tetap bisa beracara pada hari itu sebagaimana sudah terjadwal di tengah semua kegiatan budaya atau hiburan dilarang digelar demi menghormati kepergian sang Paus. Lantas sebagai bentuk penghormatan sesama manusia, Cak Nun menulis puisi dan sebuah aransemen musik untuk Paus Johannes Paulus II.[14]

Demikian halnya dengan acara-acara serupa di tanah air, di mana tak jarang Cak Nun diminta untuk beracara di lingkungan mereka dalam bingkai toleransi antar umat beragama, seperti di Gereja Pugeran Yogyakarta atau Gereja Pringgading Semarang. Bahkan kerap di forum pengajian bulanan Mocopat Syafaat, beberapa tamu dari Barat datang ke forum tersebut untuk ikut “mengaji” dan mengenal salah satu wajah Islam di Indonesia. Mereka di antaranya datang dari program sekolah Pascasarjana CRCS UGM. Biasanya, mereka langsung diajak naik ke panggung dan diberi kesempatan untuk berdialog dengan para jamaah, dan sesekali diiringi dengan musik, serta dipandu langsung oleh Cak Nun.

Acara Mocopat Syafaat sendiri, dan juga beberapa acara lain di seputaran DIY, sejak dua tahun terakhir ini ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta Yogyakarta (ADiTV) kendati secara tunda dan diringkas dalam durasi 2,5 jam, telah ikut mendekatkan acara ini kepada masyarakat luas. Bahkan ada beberapa orang nonmuslim yang juga setia menyimak tayangan Maiyahan di ADiTV karena mereka memandang bahwa acara seperti ini cukup langka dengan muatan-muatan yang mencerahkan pikiran mereka mengenai bagaimana seyogyanya hidup beragama, bertetangga, saling menghormati satu sama lain, serta nilai-nilai edukasi lainnya yang terkandung di dalam acara tersebut.

Catatan kaki:

[8] Interview dengan Pak Aart, dokumentasi transkrip Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib.

[9] Emha Ainun Nadjib, “Islamic 10 Popular Idioms”, dokumentasi Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib, 2008.

[10] Press Conference KBRI Den Haag, dokumentasi transkrip Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib, 2008.

[11] Di antaranya dikemukakan pada saat pementasan di Gereja Yerussalem Zwolle, 14 Oktober 2008.

[12] Untuk perbandingan bagaimana kosakata dan konsep Jihad dipahami secara berbeda, dapat dibaca tulisan Bruce Lawrence berjudul “Osama Bin Laden: Qur’an as Mandate for Jihad” dalam Bruce Lawrence, The Qur’an: A Biography, Grove Press, New York, 2006.

[13] Untuk sekilas menyimak perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng selama tur di Eropa, dapat dibaca buku Ian L. Betts, Jalan Sunyi Emha, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.

[14] Tentang penghormatan untuk wafatnya Paus Johannes Paulus II ini serta tentang pikiran-pikiran Cak Nun mengenai pluralisme atau pengalaman pribadinya dalam konteks hubungan antar agama, dapat dibaca buku tipis Cak Nun berjudul Kafir Liberal, Progress, Yogyakarta, 2005.

Lainnya

Topik