CakNun.com

Al-Qur`an, Pengajian Maiyah, dan Masyarakat (2)

Bagian 2 dari 4. Diterbitkan dalam buku "Agama, Kitab Suci, dan Masyarakat", 2013.
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 15 menit

Tulisan ini oleh penulisnya (Helmi Mustofa) telah diikutsertakan pada ‘Call for Paper’ (yang ditujukan kepada akademisi, praktisi, dan masyarakat umum) dengan tema Agama, Kitab Suci, dan Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2013. Dan dipilih untuk dimasukkan ke dalam buku “Agama, Kitab Suci, dan Masyarakat” oleh Program Studi Agama dan Filsafat & Lisafa di tahun yang sama. [Redaksi CakNun.com]

Prolog

Hasil atau buah dari relasi antara agama, kitab suci, dan masyarakat dapat mewujud dalam pelbagai bentuk sejalan dengan cara agama, kitab suci, dan masyarakat dipersepsikan oleh pemeluk agama itu sendiri. Suatu persepsi yang tidak akurat dapat menghasilkan pemahaman dan sikap yang tidak tepat pula, bahkan sikap yang mencederai kemanusiaan. Sementara di sisi lain diyakini bahwa agama mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Agama atau kitab suci kadangkala dipahami dan ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mendukung kepentingan suatu kelompok yang sangat gemar pada suatu kecenderungan seperti kekerasan, patriarkhi, merasa benar sendiri (truth claim), dan kecenderungan-kecenderungan lainnya. Tetapi, persepsi yang berbeda pula dapat membuahkan suatu gerakan yang positif di mana agama diyakini mendukung suatu etos kehidupan yang baik seperti etos dagang, etos persaudaraan kemanusiaan, dan etos budaya yang baik. Sebagai contoh, sebuah kelompok tarekat dengan pemahaman dan internalisasi keagamaan yang khas justru membawa mereka memiliki keaktifan di bidang ekonomi modern.[1]

Tulisan ini akan mendeskripsikan secara singkat bagaimana forum dan komunitas pengajian Maiyah—sebagai salah satu bagian dari komunitas masyarakat secara umum—mempelajari, memahami, menginterpretasi, dan mengimplementasikan (nilai-nilai) Al-Qur`an dan agama Islam, serta bagaimana pada saat bersamaan komunitas Maiyah menghadirkan “Islam” di kalangan umat Islam itu sendiri yang sangat ragam serta bagaimana komunitas ini menghadirkan “Islam” di hadapan umat nonmuslim.[2]

Seperti diketahui, isu menghadirkan (mempresentasikan atau merepresentasikan) suatu agama merupakan salah satu isu krusial di dalam pergaulan internasional. Pelbagai persoalan yang melibatkan stigma, prasangka, atau prejudice terhadap suatu agama terkait erat dengan konsep penghadiran. Hal yang sama juga dirasakan oleh Karen Armstrong ketika di dalam pengantar buku John L. Esposito ia mengatakan bahwa sejak peristiwa 11 September 2001 ia berada di garda depan dalam usaha menjelaskan Islam kepada Barat, dan bahwa tugas ini tidaklah mudah. Karen Armstrong menyinggung bahwa di samping jamaknya ketidaktahuan mengenai agama Islam di Eropa dan Amerika Serikat, juga ada keengganan yang telah berlangsung lama untuk memandang Islam dari sudut pandang yang lebih baik.[3] Demikian pula, John L. Esposito sendiri di bagian awal buku itu melukiskan kompleksitas persoalan mempresentasikan Islam di dunia Barat. Bagaimana agama itu dihadirkan kiranya sangat memengaruhi pandangan dan citra seseorang mengenai agama tersebut.

Kendatipun masih merupakan suatu pra-kajian, tulisan ini berangkat dari pemikiran bahwa dengan kiprah Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng khususnya beserta komunitas Maiyah pada umumnya yang telah berlangsung lama dan dengan persinggungannya di dalam masyarakat, baik bermacam-macam segmen dan lapisan masyarakat di Indonesia yang serta masyarakat global khususnya masyarakat nonmuslim, kiranya suatu penelitian lebih jauh tentang upaya dan kontribusinya di dalam menghadirkan Islam layak dikaji secara lebih komprehensif dan memadai.

Forum Pengajian Maiyah

Embrio atau cikal bakal pengajian Maiyah adalah pengajian Padhangmbulan yang sudah berlangsung sejak tahun 1993 di desa Menturo Sumobito Jombang Jawa Timur. Pada mulanya, pengajian ini dimaksudkan agar Emha Ainun Nadjib sebagai tokoh masyarakat bisa pulang kampung untuk bertemu keluarga secara rutin sekaligus untuk merespons banyaknya permintaan acara dari masyarakat terutama yang berada di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Maka, dalam suatu rembug keluarga pada tahun 1992, diputuskan Emha dan keluarga bertemu sebulan sekali pada waktu bulan purnama, dan pada tahap selanjutnya forum itu menjelma sebagai forum pengajian Padhangmbulan.

Siapapun saja boleh hadir di pengajian ini, apapun latar belakang sosial, budaya, dan pendidikannya. Sejak awal, yang paling baku dari format pengajian ini adalah duet Emha Ainun Nadjib dan Ahmad Fuad Effendy (kakak kandung Emha Ainun Nadjib). Cak Fuad—panggilan akrab Ahmad Fuad Effendy menyampaikan apa yang disebut sebagai tafsir tekstual, sementara Emha Ainun Nadjib menyampaikan tafsir kontekstualnya. Kombinasi ini berlangsung selama bertahun-tahun hingga Padhangmbulan mencapai usia ke-20 pada tahun 2013. Dapat dikatakan tafsir tekstual-kontekstual ini merupakan menu utama dari pengajian Padhangmbulan.

Apa yang dimaksud dengan tafsir tekstual adalah Cak Fuad membacakan beberapa ayat Al-Qur`an, kemudian menerangkan arti atau terjemahnya, seringkali pula dengan menguraikan makna kata-kata kunci di dalam ayat-ayat tersebut, untuk selanjutnya menyajikan tafsirnya dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir Al-Qur`an yang ada, dan kemudian Cak Fuad juga mencoba menyampaikan pemahamannya sendiri menyangkut ayat-ayat yang tengah dikaji tersebut.

Sementara itu, Cak Nun—panggilan akrab Emha Ainun Nadjib—menyampaikan tafsir kontekstual, yakni upaya-upaya memahami kondisi yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, baik itu peristiwa politik, sosial, budaya, dan keagaaman dengan meletakkan ayat-ayat yang dikaji sebagai sudut pandang, atau ditemukan kaitan-kaitan antara ayat-ayat tersebut dengan realitas sosial. Di sini, Al-Qur`an tidak diposisikan sebagai objek kajian, melainkan sebagai metodologi membaca realitas. Pada titik ini, terlihat kepiawaian yang sama dari Cak Nun dalam menganalisis realitas sosial sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisannya yang bertebaran di berbagai media cetak maupun dalam buku-bukunya.

Kombinasi Cak Fuad-Cak Nun merupakan pesona atau daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang berdatangan ke pengajian Padhangmbulan. Cak Fuad senantiasa berupaya menyampaikan pemahaman yang bersifat independen tetapi moderat dan dewasa. Sementara itu, di dalam merespons tafsir Cak Fuad, Cak Nun sangat luas menemukan hubungan-hubungan yang jarang dilihat oleh kebanyakan orang ditambah lagi dengan seringnya Cak Nun menyampaikan informasi atau pengetahuan yang sangat bernilai bagi masyarakat. Biasanya, informasi ini diselipkan dalam suatu pembahasan isu-isu sosial politik, baik dalam negeri maupun internasional. Dari sudut ini, tidak sedikit jamaah yang merasa bahwa forum pengajian padhangmbulan tak ubahnya suatu forum pendidikan politik.

Sudah barang tentu materi yang berlangsung di pengajian Padhangmbulan ini bukan semata-mata kajian tafsir Al-Qur`an, melainkan juga pelbagai persembahan lain semisal shalawatan dari beberapa kelompok yang datang dan mengontribusikan diri, dan tak jarang kelompok musik KiaiKanjeng juga hadir di sana. Cak Nun sendiri paling sering memimpin ribuan jamaah yang memadati pelataran rumahnya serta jalan-jalan di sekitarnya untuk bersama-sama membangun kekhusyukan dengan melantunkan shalawat, di samping tentunya ayat-ayat suci Al-Qur`an.

Namun demikian, bila dilihat secara lebih spesifik sebagai suatu diskursus tafsir Al-Qur`an, akan diperoleh suatu gambaran menarik mengenai pengajian Maiyah ini berawal dari adanya duet Cak Fuad-Cak Nun, duet tekstual-kontekstual, yang pada tahap perkembangan selanjutnya mengilhami lahirnya pemahaman-pemahaman baru, diskusi-diskusi yang menantang pemikiran, munculnya beberapa karya yang terkait dengan Al-Qur`an di forum pengajian Maiyah ini, serta yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana respons komunitas Maiyah terhadap isu atau peristiwa yang berlangsung di tengah masyarakat.

Bermula dari pengajian Padhangmbulan, kemudian sejalan dengan dinamika di dalam masyarakat maupun perkembangan internal di tubuh komunitas Cak Nun di mana makin banyak jamaah yang terkoneksi satu sama lain, maka kemudian lahir dan bermunculan forum-forum pengajian Padhangmbulan lainnya di pelbagai kota: Mocopat Syafaat (Yogyakarta), Gambang Syafaat (Semarang), Kenduri Cinta (Jakarta), Bangbang Wetan (Surabaya), Baradah (Sidoarjo), dan Paparandang Ate (Mandar), dan belum lama ini digelar Sekala Selampung (Lampung).

Di forum-forum pengajian Maiyah itu, berlangsung suatu proses interaksi, pemahaman, dan penafsiran terhadap Al-Qur`an, serta hal-hal yang terkait dengan wacana agama, kitab suci, dan masyarakat. Di bagian selanjutnya, akan diberikan contoh dua buah karya yang lahir dari pengajian Maiyah yaitu Buku “Maiyah di dalam Al-Qur`an” karya Cak Fuad dan buku “Qur`anic Explorer” karya salah seorang jamaah Maiyah bernama Yudi Rohmat. Sesudahnya, tulisan ini akan memasuki deskripsi tentang bagaimana pengajian Maiyah menghadirkan “Islam” di hadapan umat Islam yang beragam serta di hadapan masyarakat nonmuslim.

Buku “Maiyah di Dalam Al-Qur`an”

Pada saat berlangsung peringatan haflah Maiyah Nusantara di Menturo Sumobito Jombang pada 30 Desember 2009, Cak Fuad meluncurkan sebuah buku tipis berjudul “Maiyah di dalam Al-Qur`an”.[4] Gerakan Maiyah ini sangat mengilhami Cak Fuad untuk meneliti secara tematik seperti apakah kata ma’a (harfiah berarti bersama) yang merupakan akar kata Maiyah (kebersamaan) ada di dalam Al-Qur`an. Sebagai contoh terdapat ayat yang berbunyi Innallaha ma’ash shobirin (Allah bersama orang-orang yang sabar) dan ayat yang mengandung nilai penting bagi penghayatan hidup bagi komunitas Maiyah yaitu La takhof wala tahzan innalloha ma’ana. Dalam catatan Cak Fuad terdapat 161 ayat Al-Qur`an yang di dalamnya tersurat kata ma’a.

Dari penelitian itulah, berdasarkan pada kata ma’a yang dilekatkan pada nomina maupun pronomina, Cak Fuad menemukan tiga jenis pola kebersamaan (Maiyah). Pertama, Maiyah Allah dengan manusia. Dalam jenis ini terdapat tiga jenis Maiyah, yakni yang bersifat umum, khusus, dan Maiyah dalam situasi khusus. Kedua, Maiyah manusia dengan Allah. Ketiga, Maiyah manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk Allah lainnya, serta terakhir Maiyah Rasulullah dengan manusia. Cak Fuad juga menemukan nuansa-nuansa yang dikandung dalam ayat yang memuat kata ma’a. Di antaranya, Maiyah mengandung arti pertolongan, perlindungan, dan pengawasan seperti tercermin pada ayat “wa huwa ma’akum ainama kuntum (dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada).

Bagi jamaah Maiyah, kehadiran buku Cak Fuad ini selain menambah wawasan, juga memperkuat landasan atau basis ideologis bagi pergerakan Maiyah itu sendiri. Bahkan siapa pun saja, yang bermaksud memperoleh gagasan Qur`ani mengenai konsep kebersamaan untuk pelbagai aplikasi di dalam kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan organisasi atau komunitas dapat pula mengambil manfaat dari buku tipis setebal 80 halaman ini.

Sementara itu, dilihat dari konteks kajian ulumul Qur`an, seandainya selama ini belum ada penelitian yang secara khusus menaruh perhatian pada kata ma’a, maka dapat dikatakan buku Cak Fuad ini menyumbangkan kontribusi yang cukup menarik, yang bisa saja merangsang penelitian lebih jauh. Cak Fuad sendiri menegaskan bahwa buku ini masih berupa gambaran kasar dan sederhana, yang membutuhkan penyempurnaan dan pengembangan.

Buku “Qur`anic Explorer”

Dorongan untuk mempelajari Al-Qur`an cukup besar di kalangan jamaah Maiyah. Banyak di antara mereka yang memiliki latar belakang “biasa-biasa” saja alias bukan santri yang sudah sangat akrab sejak kecil dengan baca-tulis Al-Qur`an baik di pesantren maupun di tempat-tempat pembelajaran lainnya. Mereka mau dan berani datang ke pengajian Padhangmbulan atau pengajian Maiyah pada umumnya lantaran, seperti dikemukakan oleh Cak Nun, bahwa pengajian ini terbuka untuk siapapun saja, dan inilah yang membuat banyak masyarakat awam dengan penuh rasa ditampung mau duduk bersama mengikuti pengajian ini. Para petani, buruh, pegawai, orang-orang jalanan tanpa merasa dibatasi dan direndahkan datang ke pengajian Maiyah.

Tampaknya, atas latar belakang pembacaan sosiologis inilah, salah seorang jamaah Maiyah bernama Yudi Rohmat, menulis sebuah buku berjudul “Qur`anic Explorer: Kamus & Indeks Al-Qur’an”.[5] Tidak seperti kamus indeks Al-Qur`an lainnya, kamus ini disusun berdasarkan transliterasi ke dalam huruf Latin sehingga memudahkan masyarakat umum yang barangkali kurang mampu membaca bahasa Arab dapat menggunakan kamus ini tatkala mencari arti kata-kata yang ada di dalam Al-Qur`an. Seluruh kata di dalam Al-Qur`an sudah dikelompokkan berdasarkan akar katanya.

Dalam konteks ulumul Qur`an, seperti dikemukakan oleh Muhammad Nursamad Kamba (salah seorang guru di lingkungan Maiyah) dalam pengantar buku Yudi Rohmat ini, “Quranic Explorer memberikan kontribusi penting bagi pengenalan variabel-variabel kata maupun susunan kalimat yang digunakan Al-Qur`an dalam menyampaikan makna, karena dalam Al-Qur`an terkadang satu kata, satu kalimat mempunyai banyak makna, terkadang pula suatu makna diekspresikan melalui bermacam-macam kata atau bermacam susunan kalimat, sesuai dengan konteksnya.”

Buku ini diterbitkan oleh penerbit BeeMarketer Institute pada Agustus 2010 (setebal viii+374), dan seperti dinyatakan oleh Cak Fuad dalam pengantar buku ini, buku ini merupakan buah dari interaksi sang penulis dengan Al-Qur`an secara intens dan memakan waktu bertahun-tahun, sekaligus buku ini memberikan kontribusi bagi masyarakat muslim yang bermaksud “berinteraksi’ dengan Al-Qur`an. Beemarketer Institute sendiri merupakan penerbitan yang dimiliki oleh salah seorang penggerak Maiyah yang berdomisili di Jakarta.

Baik Buku Cak Fuad maupun buku Yudi Rohmat merupakan satu contoh diskursus menyangkut Al-Qur`an berlangsung di forum pengajian Maiyah. Keseluruhan wacana dan karakter pemahaman atas pesan dan kandungan Al-Qur`an di lingkungan Maiyah mempengaruhi bagaimana Cak Nun dan komunitas Maiyah menghadirkan “Islam”.

Catatan kaki:

[1] Lihat misalnya, Radjasa Mu’tasim dan Abdul Munir Mulkhan, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat Industri, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

[2]Penulis memahami posisinya sebagai “orang dalam” yang merupakan bagian dari apa yang sedang dikaji atau ditulisnya sehingga agak sulit mengambil jarak. Tetapi selain berupaya melukiskan secara sedeskriptif mungkin, beberapa metode penulisan seperti adanya kutipan langsung dari sumber-sumber yang diambil baik dari dalam maupun dari luar, kemudian disertakannya sejumlah referensi yang terkait langsung dengan pembahasan maupun literatur pembanding, diharapkan tulisan ini dapat berjarak dan memberi kesempatan pembaca untuk dapat membaca literatur yang disebut. Di samping itu, seperti dikatakan oleh Koentjaraningrat dalam salah satu tulisannya dalam buku Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (Editor), Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1982, bahwa dilemma antara kedekatan peneliti dengan objek yang ditelitinya hanya dapat dipecahkan dengan berbagi informasi antara peneliti-dalam dengan peneliti-luar, maka dengan sedikit menginterpretasi terhadap apa yang dikemukakan Koentjaraningrat, dalam tulisan ini penulis sebutkan tiga literatur dari orang-luar yang menulis atau menyinggung Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sekurang-kurangnya dapat dilihat frame, sudut pandang, perspektif, dan tema yang berbeda dalam memandang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Pertama, Erik Setiawan, Gamelan Langit: Dialog Komunikasi Transendental KiaiKanjeng, Prudent Media, Yogyakarta, 2013. Buku ini diangkat dari tesis S-2 di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran pada tahun 2011. Seperti disebut dalam pengantar buku ini, komunikasi transcendental merupakan bidang baru dalam disiplin komunikasi, dan penulis buku ini tertarik untuk meneliti dan melihat Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam bingkai komunikasi transendetal ini. Kedua, Anne K. Rasmussen, Women, the Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia, University of California Press, California, 2010. Dalam buku yang diangkat dari riset yang cukup panjang ini, Anne K. Rasmussen melihat dan meletakkan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam kontinum khazanah musik Islam di Indonesia. Ketiga, Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Mizan, Bandung, 2001. Dalam buku ini, Kuntowijoyo memetakan tiga strategi pergerakan Islam, yakni struktur, kultur, dan mobilitas sosial. Oleh Kuntowijoyo, Cak Nun ditempatkan dalam strategi kultural.

[3] John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan Dengan Barat, Penerjemah Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu SM, Mizan, Bandung, 2010, halaman 11.

[4] Ahmad Fuad Effendy, Maiyah di dalam Al-Qur’an, Misykat, Malang, 2009.

[5] Yudi Rohmat, Quranic Explorer: Kamus & Indeks Al-Qur’an, BeeMarketer Institute, Jakarta, 2010.

Menghadirkan “Islam” di kalangan Umat Islam Sendiri

Sebagai suatu majelis keilmuan, serta dengan keberadaan Cak Nun sebagai tokoh masyarakat yang memiliki bidang perhatian yang luas, sangat sering beliau diminta turun langsung ke dalam masyarakat untuk membantu mencari pemecahan atas masalah-masalah yang dihadapi. Belum lama ini, di Yogyakarta, komplek makam Kyai Ageng Prawiro Purbo yang terletak di Jalan Kusumanegara dirusak oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Sejumlah pihak pun menyampaikan keluhan kepada Cak Nun. Cak Nun kemudian menanggapi dengan mengadakan acara ziarah dan doa bersama di makam tersebut didampingi beberapa elemen masyarakat tak terkecuali dari lingkaran komunitas Maiyah. [6] Sebelum acara berlangsung, Cak Nun meminta terlebih dahulu kepada Cak Fuad untuk menyusun tulisan singkat mengenai syirik menurut Al-Qur`an. Tulisan ini kemudian di-share atau dibagi kepada yang hadir siang itu termasuk kepada media yang meliputnya.

Cak Fuad menulis artikel pendek yang diberi judul “Syirik”. Dengan nada arif, bijak, dan moderat Cak Fuad menulis di bawah judul itu sebuah kalimat: jangan gampang mengatakan ini syirik, jangan gampang mengatakan ini tidak syirik. Seperti menjadi kekuatan dan ciri penafsirannya, Cak Fuad menguraikan firman Allah surat an-Nisa: 48. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dosa (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”, dengan menekankan bahwa syirik itu dosa besar dan tidak bisa disepelekan, karena menurut Cak Fuad hendaknya siapa saja jangan mudah mengatakan ini syirik atau itu bukan syirik. Pun mereka yang dituduh syirik juga jangan bersikap reaktif dengan langsung menolak sebelum benar-benar menelitinya dengan sebaik-baiknya.

Dengan berpijak pada ayat di atas, sebagian orang mungkin dengan penuh semangat sangat mudah menuduh orang lain syirik, seakan tanpa pernah berpikir andaikan tuduhan itu salah di mata Tuhan, maka kira-kira apa yang akan menjadi hukuman atau konsekuensi yang akan menimpa dirinya. Tulisan Cak Fuad yang berjudul “Syirik” mengurai ayat tersebut dengan sekomprehensif mungkin. Bagi orang yang gegabah menyatakan orang lain syirik, dengan membaca tulisan Cak Fuad ini dihimbau untuk berhati-hati, apalagi syirik itu terutama terletak di dalam hati. Sementara, bagi yang lain, yang mungkin pernah dituduh, diharapkan tidak reaktif melainkan menelitinya dengan saksama, apakah benar telah terhindar dari syirik ataukah belum.

Pada ujungnya, semua pihak diajak saling berendah hati dan belajar, serta tidak mementingkan nafsu dan kesempitan berpikirnya sendiri. Khusus tentang tawasul (perantara dalam do’a), dalam tulisan tersebut, Cak Fuad menyebutkan bahwa baik yang membenarkan maupun yang menolak doktrin ini sama-sama memiliki dasar dan argumentasinya, sehingga seyogyanya saling menghormati atau kalau berdiskusi sebaiknya dengan sikap dingin dan penuh kedewasaan.

Persoalan-persoalan yang menyangkut tuduhan syirik, bid’ah, sesat, dan lain-lain seperti ini semakin gencar tahun-tahun belakangan ini oleh kelompok-kelompok Islam tertentu juga disodorkan umat kepada Cak Nun dalam pelbagai acara di desa-desa, di kampung-kampung, juga di kampus-kampus, mulai dari pelosok Purbalingga, Boyolali, Gunungkidul, Kartosuro, Lamongan, kampung-kampung di Yogyakarta, dan tempat-tempat lain. Banyak di antara masyarakat yang mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng meminta secara khusus agar Cak Nun menguraikan persoalan tersebut. Mereka mengeluhkan hal ini, karena di banyak tempat apa yang mereka lakukan kadangkala sudah menjurus kepada konflik horisontal. Mereka meminta Cak Nun menjelaskan dan menerangkannya di hadapan publik luas.

Pemahaman dasar di lingkungan Maiyah yang sudah lama diintroduksi oleh Cak Nun dan juga sudah banyak dikemukakan di forum-forum lain bersama masyarakat luas adalah dua konsep dasar: agama/religi dan religiusitas. Agama atau religi adalah sesuatu yang datangnya dari Allah melalui malaikat disampaikan kepada Rasulnya melalui kitab suci dan kemudian rasul tersebut menyampaikannya kepada umat manusia. Agama bersifat top-down (dari atas ke bawah). Dalam konteks agama Islam, ajaran agama secara pokok dan mendasar tercakup dalam rukun Iman dan rukun Islam.

Sementara itu, religiusitas adalah cara dan bentuk yang diupayakan manusia dalam mengungkapkan rasa ketuhanan (menyangkut kekuasaan dan kebesaran-Nya) atau kecintaan kepada sosok yang dicintai-Nya. Religiusitas bersifat bottom-up (dari bawah ke atas). Termasuk di dalam religiusitas adalah rasa, kearifan, munculan-munculan dari hati nurani yang diekspresikan dalam berbagai bentuk dan sarana seperti kesenian. Manusia memiliki keduanya.

Pemahaman dasar berikutnya adalah mengenai bid’ah dan bukan bid’ah. Dalam hal ini Cak Nun menyumbangkan pemahaman yang lebih sederhana, bahwa wilayah bid’ah terletak pada ibadah mahdloh, sedangkan apa-apa yang dilakukan di luar wilayah ibadah mahdloh tidak tergolong dalam bid’ah. Sebagai contoh sederhana, orang yang berjabatan tangan usai shalat tidaklah tergolong melakukan tindakan bid’ah karena hal itu dilakukan di luar shalat (ibadah mahdloh). Tidak bisa semata-mata melihat sesuatu sebagai bid’ah hanya karena tidak terdapat contohnya di masa Nabi.

Di acara Ngaji Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Kartosuro Sukoharjo 30 November 2013, Cak Nun lebih jelas mengatakan bahwa bid’ah itu baik yang baik, bid’ah itu jelek yang jelek, sebagaimana penerapan “ibadah” bisa baik dan bisa juga berkonteks tidak baik atau tidak sholeh. Umpamanya, di tengah orang-orang yang sedang bekerja bakti bersih-bersih desa, ada yang tidak mau ikut dan memilih wiridan di rumah. Tidak bisa dipastikan bahwa orang yang berwirid tadi akan tidak bagus nilainya di hadapan Allah, tetapi dalam dilema seperti itu, Cak Nun sendiri lebih memilih untuk ajur-ajer ikut serta bekerja bakti seraya berharap Allah memiliki kearifan-Nya sendiri dalam menilai orang yang mau kerja bakti.

Artinya, dalam hal bid’ah atau tidak, letak penilaiannya bukan pada baru atau tidaknya sesuatu hal atau tindakan, melainkan pada bagaimana sesuatu hal yang baru menyalahi atau tidak terhadap ajaran agama dengan metodologi penilaian yang tidak saja melibatkan mekanisme pengambilan hukum yang complicated, melainkan juga melibatkan cara berpikir ushul fikih.

Demikian juga mengenai hubungan agama dan budaya. Dalam banyak kesempatan Cak Nun telah menguraikan pandangannya mengenai pelbagai dimensi budaya, salah satunya seperti diungkapkan di acara Maiyahan di Masjid Sirojuddin Mancasan Lor Condongcatur Juli 2013, bahwa semesta budaya adalah semesta kekhalifahan yang telah diamanatkan oleh Allah kepada manusia dengan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan mandat kekhalifahan manusia mencipta sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya, baik menyangkut tata sosial politik, teknologi, maupun ekspresi-ekspresi kesenian.

Maka dalam perspektif ini, sebenarnya manusia tidak mungkin mengelak dari budaya justru karena dirinya adalah khalifatullah. Sedemikian rupa pemahaman Cak Nun, sehingga katakanlah orang tidak semuanya mau memahami budaya dalam pengertian tersebut, serta tidak semua mau melakukannya, Cak Nun berkomentar, “Budaya itu fardhu kifayah. Harus ada yang mengerjakannya, kalau tidak berarti seluruh komunitas tersebut menanggung dosa.”

Itu semua hanya mungkin dipahami jika kita melihat sedemikian gencarnya arus yang coba memberangus dan mencerabut orang dari bangunan tradisi dan budaya yang sudah mapan dan mereka miliki, baik arus itu (terutama sekali) datang dari gerakan-gerakan keagamaan maupun dari desakan-desakan globalisasi di dunia yang acapkali hendak melakukan standardisasi cita rasa dengan memandang rendah cita rasa yang mereka sebut “lokal”.

Terkait dengan serangan dari gerakan keagamaan yang mudah menyebut tradisi-tradisi Islam sebagai bid’ah dan syirik, selama ini Cak Nun memberikan penjelasan baik kepada jamaah Maiyah maupun pada masyarakat luas dalam beberapa jenis atau level penjelasan.

Pertama, dalam merespons masalah yang diajukan oleh masyarakat tersebut Cak Nun akan menyampaikan konsep-konsep dasar menyangkut agama, budaya, bid’ah-tidak bid’ah sebagaimana disinggung di atas, religi-religiusitas, ibadah mahdloh dan ibadah muamalah, yang disampaikan dengan cara yang sederhana, komunikatif, seringkali dengan humor-humor segar, dan tentu saja dengan disertai contoh-contoh musik dari KiaiKanjeng.

Kedua, Cak Nun memberikan pandangan bahwa dari sudut demokrasi atau kebebasan memilih pendapat, sebenarnya tidak boleh juga seseorang mengeluhkan pilihan pandangan orang lain. Persoalan memang terjadi ketika mereka melakukan pemaksaan. Jadi, menurut Cak Nun, yang harus menjadi perhatian adalah ketika mereka memaksakan pandangannya itu. Karenanya, Cak Nun juga sering menyampaikan kepada para lurah, bupati, atau pejabat pemerintahan lainnya dalam pelbagai forum Maiyahan, bahwa apapun saja yang membuat konflik sosial atau memicu ketidakharmonisan harus ditindak dengan tegas, termasuk kepada kelompok yang getol menuduh kelompok lainnya sebagai syirik.

Ketiga, Cak Nun akan memberikan analisis politiknya mengenai skenario politik internasional yang terkait dengan beberapa negara yang memang bermaksud melakukan pemecahbelahan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Umat akan dibikin congkrah (tidak akur) dengan cara seperti itu. Pemecahbelahan melalui jalur agama merupakan salah satu cara yang efektif dilakukan misalnya dengan menghembuskan virus tuduhan-tuduhan bid’ah, syirik, dan sesat terhadap kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Cak Nun menguraikan setting politik internasional Wahabiisme. [7]

Selain itu, dalam konteks penjelasan ketiga ini, Cak Nun juga menengarai bahwa gerakan ini memang tidak menghendaki adanya hubungan batin antara umat Islam dengan Nabi Muhammad. Kelompok shalawatan dipandang bid’ah. Situs-situs bersejarah yang terkait dengan perjuangan Nabi Muhammad dihanguskan. Kelak pada waktunya, generasi mendatang akan kehilangan jejak sejarah. Ujung dari usaha-usaha ini antara lain membuat masyarakat sempit pikirannya.

Karenanya, Cak Nun sering menyatakan di pelbagai kesempatan bahwa musuh kita saat ini adalah kesempitan berpikir: orang tidak lagi mengerti budaya, tidak mengerti canggihnya peradaban umat manusia, tidak mengerti betapa telah panjang sejarah peradaban dan kemajuan umat Islam, tidak mengerti keindahan, dan hilang kemanusiaannya.

Keempat, dalam menanggapi keluhan masyarakat itu, Cak Nun menyemangati mereka secara psikologis. “Jangan mudah tertekan oleh apapun, termasuk oleh tuduhan-tuduhan bid’ah atau syirik yang ditimpakan Anda, sepanjang Anda yakin dengan segala argumentasinya, Anda tenang saja. Anda memiliki Allah. Anda memiliki Rasulullah, jadi jangan cemas dan jangan tertekan,” demikian kerap Cak Nun mengatakan. Masalahnya, kata Cak Nun, “Kita sendiri kurang yakin sehingga mudah goyah juga.” Bahkan Cak Nun juga menyulut semangat mereka dengan menyatakan, “Tiga tahun lagi yang bikin congkrah-congkrah itu akan kalah.”

Kelima, kepada orang-orang yang suka mensyirikkan atau menyesatkan itu, Cak Nun hendak mengatakan, “Kalau Anda menuding-nuding orang, persoalannya bukan semata-mata benar tidaknya tuduhan itu, apalagi sejatinya yang tahu hanya Tuhan, tetapi bahwa ini adalah masalah sesrawungan atau hubungan antar manusia. Kalau anda menuding-nuding orang lain, itu berarti merendahkan martabat mereka dan menyakiti hati mereka. Padahal tidak dibenarkan oleh ajaran agama untuk merendahkan dan menyakiti hati orang. Bahkan kalau manusia yang normal, misalkan dia tanpa sengaja menyakiti orang lain maka dia sendiri sebenarnya yang akan merasakan sakit itu. Itulah manusia. Manusia yang sewajarnya adalah yang mengerti bahwa tindakan-tindakannya itu menyakiti hati orang lain atau tidak. Maka, hal yang pertama harus kembali dipelajari sebelum bicara macam-macam termasuk membid’ahkan orang adalah ‘menjadi manusia terlebih dahulu’. Itulah yang oleh Cak Nun disebut sebagai kehilangan kemanusiaannya.

Terkait dengan hubungan antara agama dan budaya, Cak Nun pernah memetakan kesadaran umat Islam terhadap tiga nilai penting dalam kehidupan yakni kebenaran, kebaikan, dan keindahan. “Terhadap kebenaran kita tidak ragu. Maksudnya, kita punya kesadaran bahwa kebenaran harus ditegakkan. Kepada kebaikan juga demikian. Bahwa kita harus melakukan kebaikan. Tetapi terhadap keindahan, sebagian dari kita masih ragu-ragu. Khawatir jika keindahan itu tidak boleh, rentan syirik, bertentangan dengan syariat dan lain sebagainya. Dan dalam kondisi demikian, dunia keindahan (termasuk kesenian) justru diwakili oleh produk dan kerja kesenian yang dangkal, artifisial, jauh dari kualitas dan martabat yang seharusnya turut dibangun dan direpresentasikan oleh kesenian sebagai bagian utama dari keindahan.”

Catatan kaki:

[6] Berita doa bersama ini dapat disimak di Harian Kedaulatan Rakyat, Senin, 14 Oktober 2013, halaman 2.

[7] Tentang sejarah Wahabbisme, dapat dibaca di antaranya, Hamid Algar, Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, Paramadina, Jakarta, 2008 dan Khaled Aboe El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Serambi Jakarta, 2006.

Lainnya

Topik