CakNun.com

Aktivasi “NSI”

Indra Agusta
Waktu baca ± 2 menit

Mbah Nun pernah bercerita bahwa salah satu cerita terkenal beliau baca adalah Nagasasra Sabuk Inten karya SH. Mintardja. Cerita tersebut berkisah soal seorang perwira Demak yang mencari keris Pusaka yang dicuri oleh sekelompok penjahat.

Lebih lanjut saya lebih tertarik pada sosok misterius bernama Pasingsingan Sepuh, sosok yang dalam cerita itu sebagai seorang Panembahan yang berusia lanjut, namun memegang sejarah. Dia pula yang mengantar Mas Karebet kembali ke Keraton Demak setelah melawan Kebo yang mengamuk.

Yang semakin menarik Pasingsingan sepuh ini menyepi di bukit Karang Tumaritis jauh dari hiruk pikuk perburuan keris pusaka, di kejauhan mencermati berbagai ragam tingkah jalma, juga pola zaman.

Padepokan Karang Tumaritis Maiyah

Melihat maiyah memang seperti padepokannya Ki Pasingsingan, terasa sangat menyejukan bila kita mencoba keluar mengamati kondisi negeri yang mulai terasa panas lagi karena pertarungan kekuasaan.

Simbah yang begitu tenang ndheder satriya-satriya di dalam padepokan namun tak lupa selalu mengasah anak-anaknya untuk bertaqwa, waspada.

Sebaiknya kalian masuki 2018 dengan mulai belajar bertaqwa. Taqwa itu artinya: waspada. –Daur II-258Kami Ini Lebih Pribumi

Satriya-satriya ini jumlahnya semakin banyak tiap tahun. Hampir setiap malam panas hujan mereka tetap duduk khusyuk mengasah batin, ngangsu kawruh di Maiyah.

Aktivasi “NSI”

Disebutkan dalam cerita tersebut bahwa siapa yang mampu mempunyai keris Nagasasra Sabuk Inten akan menjadi Ratu di tanah Jawa. Lalu perburuan Keris pusaka itu ramai di seantero nagari. Hari-hari ini kita disibukkan oleh perburuan Kursi pilkada, pilgub, pilpres atau apapun semua orang berambisi mengelabui, menguasai, mempengaruhi demi ambisi pribadi.

Namun Ki Pasingsingan sepuh yang memegang Keris tersebut, bahkan kemudian terpaksa konangan aslinya yang bernama R. Buntara adik Brawijaya V tahu betul bahwa sebenarnya pusaka bukanlah untuk mencapai ambisi material, ambisi kekuasaan, ataupun ambisi mengeruk bumi dan laut untuk kepentingan individu. Keris adalah Pusaka, lambang kedalaman ilmu, kedalaman batin juga sebagai simbol dengan berbagai kandungan filosofi dan khazanah di tiap bagiannya.

Demikian di Maiyah oleh Mbah Nun kita diajarkan membedakan Keris, Pedang, dan Pacul. Dan dalam pemikiran saya, semua yang dipelajari di Maiyah ini Ilmu Keris, karena sama sekali bukan untuk mengambil kekuasaan maupun mencari keuntungan materi.

Maiyah menggali Keris dari semua ilmu, lalu dititipkan ke satriya-satriya. Kalau pun tidak ada gunanya untuk nagari, minimal ilmunya bermanfaat untuk lingkungan padepokan, karena nagari juga sudah merasa baik-baik saja dengan segala pembangunan dan perebutan kursinya.

Lalu diam-diam para Satriya otomatis mengaktivasi NSI (Nagasasra Sabuk Inten) di dalam batinnya, kalbunya yang bening, bahwa bukan sekadar ambisi mencapai karir, jabatan seperti yang gonjang-ganjing di luar sana. Tapi lebih mendalam bahwa Aktivasi Keris ini akan siap membangun Nagari jika diminta dan diperlukan. Membangun bangsa yang punya Identitas dan berdaulat, bukan hanya sekedar National Single Identity. Kalau Nagari tidak meminta, satriya-satriya ini juga tidak berhenti mengaktivasi Keris di dalam Padepokannya, memberi manfaat untuk masyarakat di sekeliling Padepokan.

Sragen, 1 November 2017

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Bebrayan Maiyah dan Jemparing Masa Depan

Bebrayan Maiyah dan Jemparing Masa Depan

Maiyah memegang teguh suatu prinsip bebrayan horisontal, suatu pilihan watak dan akhlak untuk tidak “usil” kepada siapapun saja, sebesar apapun masalahnya.

Indra Agusta
Indra Agusta