Ahlul Gua Sirna
Tetapi kalau menurut Allah “Kami kisahkan kepadamu Muhammad cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”. [1] (Al-Kahfi: 13), Jitul tidak bisa menjamin pengetahuannya bahwa Kaum Muslimin sekarang ini adalah sebagaimana yang Allah kisahkan kepada Baginda Nabi.
Yakni beriman kepada Allah dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Tentu saja fakta batin demikian tidak bisa diobjektivisasikan di antara manusia. Berbeda dengan kalau Tuhan sendiri menyatakannya langsung di firman-Nya. Kasus seperti ini kembali kepada masing-masing manusia. Kecuali ada kerendah-hatian kolektif untuk mempersepsikan keadaan umum di kalangan Kaum Muslimin, kemudian menyepakati semacam pengakuan bersama bahwa rata-rata kita ini belum memenuhi syarat untuk disebut Kaum Beriman.
Beriman atau tak beriman, mendapat hidayah atau tidak, manusia hanya bisa bersentuhan dengan indikator-indikator eksplisitnya, itupun masih sangat bisa diperdebatkan, karena kemungkinannya tak terbatas dan berlipat-lipat. Manusia tidak mungkin menyimpulkannya di antara mereka, sejauh-jauhnya hanya masing-masing orang membaca kedalaman batin masing-masing, dicerminkan pada apa yang ia alami secara individu, sosial dan budaya.
“Akan tetapi menurut saya jelas”, kata Jitul.
“Apanya yang jelas…”, Junit bertanya.
Jitul tersenyum. “Ndak apa-apa ini saya omongkan pandangan saya?”
“Lho, semua yang saya catat beberapa tahun ini kan memang parade pandangan-pandangan. Kok masih tanya…”
“Ya Ger. Tapi catat saja. Jangan sampai didengar oleh para penghuni Gua yang sudah tujuh abad tidak keluar-keluar. Sejak dua tahun kosong menjelang abad 14, Sirna Ilang Kertaning Bhumi, para Ahlul Gua Sirna itu tak bangun-bangun…”.