Agama Pembalasan
Terhadap kritik “koyok Islam-islamo”, Markesot tertawa agak pahit. “Masyarakat kita ini sudah dilanda penyakit identitas, papan nama, simbol dan indikator”, katanya, “kalau mendengar ayam berkokok, nomor satu nikmatilah keindahan bunyi kokok itu, merdekakan dirimu bahwa yang berkokok adalah ayam, lupakan dulu identitas gendernya bahwa ia ayam jantan, kemudian bebaskan diri dari persangkaan bahwa kokok itu dipekikkan atas dasar ideologi, agenda politik, pencitraan sosial, atau apapun. Langkah pertama, nikmati dan syukuri keindahan ide Tuhan bahwa ada formula bunyi atau fenomena musikal yang kita kenal sebagai kokok ayam”.
Cak Sot bilang ini bukan soal Islam atau apapun papan nama yang biasa disematkan orang yang mengurung diri dalam kotak identitas itu. Ini soal pembelajaran dan latihan cara berjalan, meneliti ketepatan jalan. Kita pastikan arah perjalanan hidup kita adalah Fi Sabilillah. Kemudian kita utamakan meletakkan kendaraan jasad kita di Syariatul-Ilah. Lantas pastikan menemukan getaran Thariqatu-Hubbillah. Dan akhirnya waspada terhadap presisi as-Shirat al-Mustaqim ilallah. Sampai tua renta sekarang ini aku masih gemetar-gemetar, mata sering kabur terhadap presisi itu. Aku tidak pernah menyalah-nyalahkan orang yang mungkin kutemukan tidak mengurusi presisi as-Shirat al-Mustaqim, sehingga sangat rasional dan faktual untuk disebut sesat. Aku seperti tidak cukup waktu untuk memastikan presisi arah hidupku sendiri”
Setelah terdiam sejenak, Cak Sot bergeremang seperti untuk didengarnya sendiri. “Aku ngeri ditimpa pembalasan oleh Allah. Agama menurut Allah adalah Pembalasan. Dan demi Langit yang ada padanya jalan-jalan. Kalian sungguh sedang dirunding perbedaan pendapat. Dipalingkan darimu Rasul dan AlQur`an. Terkutuklah para pendusta. Yakni orang-orang yang terbenam dalam kebodohan dan kelalaian. Mereka bertanya: Kapan Hari Pembalasan itu?” [1] (Adz-Dzariyat: 7-12).