CakNun.com

Ziarah Hibbiyah Cak Nun kepada Imam Lapeo

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 5 menit

Seperti pernah dikatakan Cak Nun, kekhususan bumi Mandar adalah kekuatan spiritual yang melingkupinya. Suasana itulah yang mewarnai kedatangan Cak Nun kali ini ke Polewali Mandar. Acara pengajian bersama Cak Nun tadi malam 22 Agustus 2016 dalam rangka Haul Imam Lapeo ke-64 ini diberi tajuk “Hibbiyah”. Yang memberi nama adalah langsung dari salah seorang cucu Imam Lapeo yang tinggal di Saudi Arabia.

Bukan sekadar cinta. Tetapi Hibbiyah berarti kesatuan cinta spiritual yang mendalam. Yakni kesatuan cinta mendalam antara Imam Lapeo dan Cak Nun. Keduanya bukan dua pihak lagi, melainkan satu. Sekurang-kurangnya itulah yang dirasakan oleh cucu-cucu Imam Lapeo. Alam berpikir dan rasa spiritual itu juga tampak ketika Ahmad Syaikhu, cucu Imam Lapeo, mengatakan dalam sambutannya saat Pengajian dan Ziarah Hibbiyah dimulai, bahwa kalau yang mengundang Cak Nun adalah keluarga Imam Lapeo tentu akan sulit, tetapi karena yang mengundang adalah Imam Lapeo sendiri pasti akan mudah seperti ini.

Malam Pembacaan Do’a, Yasinan, dan Tahlil, dan dibawahnya tertera Pengajian dan Ziarah Hibbiyah Emha Ainun Nadjib.
Foto: Gandhie.

Tiba di kompleks Masjid Nurut Taubah Lapeo atau lazim disebut Masjid Imam Lapeo beberapa saat selepas shalat isya, Cak Nun disambut segenap panitia dan kemudian diajak terlebih dahulu mengunjungi ibu Hj. Marhumah, salah seorang putri Imam Lapeo, yang tinggal di seberang Masjid Imam. Selain menyampaikan penghormatan kepada Ibu Marhumah, dalam silaturahmi beberapa saat ini, seperti biasa setiap kali masuk di rumah di Mandar, Cak Nun diminta memberikan doa.

Setelah silaturahmi dengan Ibu Marhumah, didampingi keluarga Imam Lapeo dan teman-teman Teater Flamboyan Cak Nun segera bergerak menuju maqbaroh atau makam Imam Lapeo untuk berdoa. Makam Imam Lapeo terletak di sisi masjid sebelah depan tak jauh dari jalan raya. Malam ini di kompleks depan masjid itu telah didirikan tenda memanjang untuk menampung jamaah yang hadir.

Pengajian Masyarakat Hibbiyah

Acara pengajian bersama Cak Nun ini dimulai usai shalat isya berjamaah dan mengambil tempat di serambi Masjid Imam Lapeo. Tak ada panggung atau level tentunya di situ, melainkan alas kain karpet yang memanjang untuk Cak Nun, keluarga, dan kelompok majelis Dzikir dan Shalawat An-Nahdhiyyah. Selebihnya terpampang backdrop besar bertuliskan Malam Pembacaan Do’a, Yasinan, dan Tahlil, dan dibawahnya tertera Pengajian dan Ziarah Hibbiyah Emha Ainun Nadjib.

Di backdrop itu pula terpasang wajah KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo di sisi kiri dan Cak Nun di sisi kanan. Seakan menggambarkan hubungan hibbiyah di antara keduanya, sekalipun keduanya belum pernah bertemu secara fisik langsung karena hidup pada zaman yang berbeda. Dalam sebuah literatur yang ditulis oleh H. Ahmad Asdy (2009), diterangkan bahwa Cak Nun pernah menyebut Imam Lapeo dengan Sunan Lapeo.

Imam Lapeo lahir pada 1839 di Pambusuang Mandar dan meninggal pada 1952 dalam usia 114 tahun. Setahun setelah wafat Imam Lapeo, Cak Nun baru dilahirkan  pada 1953 dan hingga kini masih menapak tugas ke berbagai wilayah. Masjid Nurut Taubah sendiri ini didirikan Imam Lapeo pada 1909 dan selalu ramai sedari dulu. Selain masjid ini, Imam Lapeo juga pernah mendirikan sebanyak tujuh belas masjid di wilayah kerajaan Mamuju. Haul ke-64 Imam Lapeo ini untuk kali pertama diadakan di kompleks makam dan Masjid Nurut Taubah atas inisiasi anak, cucu, dan cicit Imam Lapeo.

Karena yang mengundang adalah Imam Lapeo langsung, biarlah Imam Lapeo yang menyampaikan terima kasih kepada Cak Nun,
Foto: Gandhie.

Acara diawali dengan serangkaian shalawatan yang dibawakan kelompok An-Nahdhiyyah Polewali yang duduk sebaris di depan. Mereka membawakan shalawat-shalawat ini dengan menggunakan rebana atau terbang. Mereka terus melantunkan shalawat hingga acara segera dimulai ketika Cak Nun telah tiba di situ usai ziarah dan berdoa di makam Imam Lapeo. “Karena yang mengundang adalah Imam Lapeo langsung, biarlah Imam Lapeo yang menyampaikan terima kasih kepada Cak Nun,” ujar Ahmad Syaikhu lebih lanjut dalam sambutannya.

Dalam kesempatan muwajahah dengan masyarakat Polewali di Masjid Imam Lapeo ini, sesudah mengungkapkan perasaan dan rasa syukur bisa hadir di tanah Lapeo, terlebih dahulu Cak Nun menguraikan kesadaran Nur Muhammad (Cahaya Terpuji). Dari situ kemudian Cak Nun menggambarkan fenomena listrik di mana ada yang namanya gardu listrik. Dan bahwa Imam Lapeo adalah “gardu listrik” yang menyebarkan cahaya kepada masyarakat Mandar dan kepada segenap penjuru dunia.

Serangkai dengan penjelasan itu, Surat an-Nur ayat 35 kemudian dibaca oleh Cak Nun.  Jamaah diajak menyelami kandungan dan perspektif dalam memahami kalimat, kata, konsep, dan tafsir yang ada di balik ayat tersebut sebagaimana selama ini dijelaskan dalam berbagai forum Maiyahan. Ayat yang tak hanya dipakai Cak Nun untuk memetakan struktur diri manusia, tetapi juga melukiskan buah dari kebaikan yang terus-menerus dilakukan akan membawa pada kondisi di mana sesuatu (ouput, manfaat, hasil, berkah, jalan keluar, pertolongan, dan lain-lainl) akan berlangsung meskipun tampak secara logis tidak memungkinkan. Ayat itu dengan indah menyebut fenomena tersebut sebagai ‘cahaya’ yang terus menyala meskipun tidak disulut api.

Ziarah Hibbiyah Cak Nun kepada Imam Lapeo
Foto: Gandhie.

Segenap anak, cucu, dan cicit Imam Lapeo termasuk Ibu Marhumah yang duduk di depan menemani Cak Nun menyimak apa-apa yang disampaikan Cak Nun. Demikian pula dengan jamaah yang memenuhi serambi Masjid dan halaman luar pagar. Mereka antusias datang untuk menghormati jasa-jasa dan perjuangan Imam Lapeo serta medengarkan apa-apa yang diuraikan Cak Nun, sosok yang memiliki pandangan khusus mengenai ulama dan pendahulu mereka yang tengah diperingati ini.

Dari arasy spiritual mengenai cahaya, lalu Cak Nun mengajak seluruh hadirin untuk bersama-sama melantunkan La Ilaha Illallah dengan nada sebagaimana selama ini dibawakan bersama KiaiKanjeng. Setelah itu Cak Nun meminta dan mengajak kelompok shalawat an-Nahdhiyyah yang tadi mengawali acara untuk bersama-sama jamaah melantunkan shalawat, di antaranya shalawat Badar.

Nilai Mandar dalam Tugas Sulbar

Seperti berlangsung di mana-mana di belahan dunia saat ini, arus pendangkalan, perancuan, dan penyempitan berpikir mengancam umat Islam. Karena itu pembenahan, responsi, dan penempatan pemahaman yang akurat diperlukan. Merespons pertanyaan yang diajukan salah seorang jamaah, Cak Nun memaparkan pengertian dan konteks-konteks bid’ah, konsep dasar ibadah mahdhoh dan muamalah, serta semesta kreativitas manusia.

Pemaparan berbasis wilayah, pilah, dan konteks ini kemudian membawa lebih jauh berbagai cara pandang serupa seperti beda antara negara dan pemerintah, kepala keluarga dan kepala pemerintahan, raja dan patih, serta pemahaman mengenai mana peristiwa rohani dan mana bukan. Dalam konteks sejarah Mandar di masa kini, Cak Nun menggambarkan ada Mandar dan ada Sulbar. Sulbar adalah produk Indonesia, sedangkan Mandar adalah entitas yang jauh lebih dulu dari keduanya. Karenanya perlu dipilah kapan berposisi sebagai orang Mandar, kapan sebagai orang Sulbar. “Alangkah baik bila Bupati di sini menggunakan nilai Mandar dalam menjalankan tugas Sulbar-nya,” ungkap Cak Nun.

Ziarah Hibbiyah Cak Nun kepada Imam Lapeo
Foto: Gandhie.

Pada bagian akhir pertemuan ini, Cak Nun mengajak jamaah untuk masuk dan memuncaki kesadaran dengan penegasan bahwa manusia sesungguhnya adalah makhluk yang hidup abadi sebagaimana Allah sendiri melukiskannya dengan Kholidina fiha Abada. Dan proyeksi hidup abadi itu dapat teraksentuasi pada nilai-nilai kehidupan yang esensial, melihat sesuatu dengan kacamata nilai yang sejati, rohani, dan substansial. Cak Nun memberikan contoh bagaimana masyarakat dalam meletakkan stratifikasi masyarakat yang semua mengerucut pada pertimbangan kekayaan, bukan menempatkan spiritualitas, ilmu, dan keshalehan pada peringkat teratas. Dan secara tak langsung, hibbiyah yang berlangsung antara Imam Lapeo dan Cak Nun adalah salah satu contoh bentuk hidup abadi. Tak hanya itu, seluruh jamaah dan masyarakat yang datang khusyuk dan istiqamah juga merasakan hibbiyah itu serta masuk ke dalam semesta hidup abadi.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version