Yang Sejodo dan Yang Separo
Tahqiq“…Markesot secara arif memaksudkan hendaknya kehidupan diperjalankan oleh Allah di putaran Daur, semacam putaran atau siklus, di mana ia rela untuk ‘disembelih’ oleh zaman..…”
Sesudah menendang Saimon, Markesot memejamkan mata sangat lama, entah melamun entah merenung dalam kesedihan yang nuansa dan energinya menekan semua yang ada di ruangan itu.
Ternyata Markesot merangkai kalimat-kalimat yang judulnya muncul sendiri di tengah proses: “Doa Mohon Kutukan”. Markesot sudah berkata lantang kepada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan perlawanan terhadap semacam kawaskitan leluhur, atau lazim disebut ramalan. Tentang berlangsungnya zaman Kalabendu, di mana Si Bung memperanakkan Lembu Peteng bernama Joko Linglung, yang ‘ditakdirkan’ bersinggasana sebagai ‘Petruk Dadi Ratu’.
Ia menjual Negeri dan rakyatnya secara sangat semena-mena sehingga sangat menyengsarakan rakyat yang seharusnya ia ayomi dengan Payung Martabat dan di pijakan tanah Keadilan. Dendam dan permusuhan menyempurna sampai terjadi Perang Saudara yang mengerikan, di mana bangsanya akan “tinggal separo” dan dua bangsa penjajah menjadi “tinggal sejodoh”.
Yang sejodoh inilah yang akan menghuni masa depan, karena perjodohan membukakan populasi. Sejodoh tidak harus satu lelaki dan satu perempuan. Bisa sejuta, bisa seratus juta, yang terdiri atas jodoh-jodoh antara lelaki dengan perempuan. Sementara yang “tinggal separo”, ia bisa secara kejam berarti tinggal badan atas atau badan bawah. Atau tinggal lelaki saja, atau perempuan saja. Sehingga kalau ingin terlibat ke masa depan, para separo ini harus menyerahkan dirinya kepada Bangsa Sejodoh.
Sangat mengerikan dan penuh kesengsaraan batin membayangkan masa depan semacam itu. Dan Markesot bukanlah pecinta peperangan. Maka ia mentumbalkan dirinya, jika Tuhan memperkenankan, dengan menyatakan kepada Allah pengorbanan dirinya melalui “Doa Mohon Kutukan”. Markesot secara arif memaksudkan hendaknya kehidupan diperjalankan oleh Allah di putaran Daur, semacam putaran atau siklus, di mana ia rela untuk ‘disembelih’ oleh zaman.
Akan tetapi ketika lewat tengah malam, di keremangan ruang yang sempit namun serasa seluas bentangan angkasa itu terdengar gemeremang para makhluk membaca firman-firman Allah. Kiai Sudrun yang memulainya dan semua mengikutinya. Sundusin mengamati bahwa yang dibaca oleh Kiai Sudrun adalah bagian dari Al Qur`an yang titik-titik refleksinya adalah pada angka 3, 0, dan 9.
Diawali Surah 30 ayat 9: “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat yang diderita oleh orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka dan telah mengolah bumi serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka Rasul-Rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.”
Sambil tetap memejamkan mata Markesot menjawab: “Puluhan tahun lamanya hamba telah selalu berkeliling melakukan perjalanan, wahai Allah, untuk membeber kecemerlangan para Leluhur kepada mereka yang hidup hari ini. Hamba ribuan kali mencoba meyakinkan mereka bahwa ada yang sangat salah pada yang kita lakukan sebagai Bangsa. Salah pegangan, salah tiang pancang, salah gandholan, salah cita-cita, salah harapan, salah pandangan ke masa depan…”
Kiai Sudrun berpindah ke Surah 3 ayat 9: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk menyadari hukum sebab akibat pada hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji”
Markesot menjawab lagi. “Hamba pun telah Engkau perjalankan untuk mengumpulkan manusia dari bagian ke bagian lain di Bumi, mengajak mereka berjalan dan berlompatan di setiap rentang antara sebab dengan akibat. Dengan tujuan agar kami semua melatih diri menyongsong hari yang tak ada keraguan padanya itu”
Kemudian Kiai Sudrun membacakan Surah Al-Kahfi di mana Allah mengisahkan sekumpulan pemuda yang Ia tidurkan 309 tahun di dalam gua. “Ingatlah tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami”.
Markesot menjawab: “Maiyah nama Gua tempat kami menyembunyikan diri dari udara dunia yang dikuasai racun dan dipenuhi sihir. Kami tidak pernah sanggup menghitung berapa jumlah kami semua yang berlindung kepada-Mu di dalam Gua, sebagaimana Engkau membiarkan teka-teki jumlah Ashabul Kahfi. Aku sendiri hanyalah kaki Raqim, seekor anjing yang menyamarkan para penghuni Gua dari ancaman kejahatan lahir batin di luar Gua. Ya Allah, mata uang kami tidak laku di luar sana. Tetapi kalau untuk membersihkan kehidupan di luar Gua itu harus dibayarkan sesuatu, perkenankanlah aku membayarkan diriku kepada-Mu…Wahai Allah asal muasal dan muara jiwa ragaku, apakah doaku ini dosaku?“.*****