Yang Lebih Berkuasa dari Penguasa Dunia
Ta’qid“Pemimpin Indonesia dipilih oleh sindikat-sindikat internasional, yang memegang dominasi modal, jaringan media, mikrofon ilmu dan strategi, di mana rakyat Indonesia disihir saja untuk seakan-akan memilih sendiri siapa pemimpinnya?”
Hal kuda-kuda Sapu jagat, Tarmihim, Sundusin beserta satu dua teman lagi tetap sepakat untuk mengincar pertemuan dan menciptakan momentum agar bisa mengemukakannya kepada Markesot. Tetapi ketika berjumpa, kekhawatiran mereka tentang cuci gudang dan keranjang sampah, benar-benar terjadi. Markesot malah omong panjang tentang pidato Presiden.
“Kalau seorang, misalnya Presiden, berpidato, ada baiknya jangan berhenti hanya pada mendengarkan apa yang dikatakannya. Ada berpuluh-puluh hal yang bisa diperhatikan di permukaan, di balik, atau di sekitar pidatonya itu.”
“Sejak dulu kepala berputar-putar, kemarin lusa retak-retak, kemarin pecah, sekarang ini tampaknya akan benar-benar remuk…”, Sundusin berbisik kepada Tarmihim.
Markesot meneruskan. “Kalau Presiden Pidato, mestinya ditujukan kepada rakyatnya. Tapi bisa juga bukan rakyat tujuannya. Mungkin kepada musuh politiknya. Mungkin kepada sejumlah Menterinya. Mungkin kepada segolongan pengusaha. Mungkin kepada golongan atau kelompok yang ini dan bukan yang itu. Mungkin sasarannya adalah dunia internasional. Mungkin Negera tertentu. Mungkin blok atau gang Negara-negara tertentu. Bahkan bisa juga sasarannya adalah isterinya sendiri.”
“Kepala kita seperti bawang digerus campur lombok di atas cobek”, ganti Tarmihim berbisik.
Markesot tidak berhenti. “Baiklah, rakyat. Tapi rakyat yang mana. Atau musuh politik. Musuh yang mana. Dalam urusan apa. Mungkin kumpulan pengusaha atau kekuatan-kekuatan lain dalam peta kekuasaan Negara. Tapi pengusaha yang mana dan kekuatan yang berkaitan dengan apa. Mungkin kepada golongan masyarakat tertentu. Atau ummat pemeluk Agama tertentu. Tapi golongan yang mana. Ummat dalam konteks atau urgensi apa. Atau tokoh tertentu. Atau Negera adikuasa tertentu. Atau Negara tetangga dekat. Tapi yang mana? Latar belakang persoalannya apa? Tujuan atau targetnya apa?”
“Itu pidato sekali jadi, sekali pancing dapat ikan, ataukah suatu tahap dari suatu rangkaian strategi dan irama? Presiden yang berpidato itu sedang menjelaskan sesuatu diam-diam, ataukah sedang menawarkan sesuatu secara samar, atau mungkin juga mengungkapkan pertanda ia menyetujui atau menolak sesuatu, kepada sasaran tertentu?”
“Semakin sempit daya tembus orang yang mendengarkan pidato itu, posisinya berbanding terbalik dengan tingkat kekuasaan pihak yang berpidato. Semakin sesisi, sesudut atau seserpih cara dan jarak pandang orang yang mendengarkan, semakin dikuasai ia oleh yang berpidato. Sedangkan andaikan seluruh muatan, motivasi, pamrih, tujuan, sasaran dan keseluruhan entitas konteks pada diri Presiden itu tercermin apa adanya oleh kata-kata pidatonya – itu pun tidak dijamin orang yang mendengarkannya akan memperoleh keluarannya setakaran dengan masukannya.”
“Demikian juga kalau tokoh-tokoh lainnya, yang sekarang disebut dan diidam-idamkan sebagai public-figure, ilmuwan, seniman, artis, Ustadz, Kiai, Ulama, cendekiawan, aktivis, atau apapun dan siapapun. Komunikasi yang mereka sampaikan mungkin hanya sebagian kecil dan bersifat parsial yang sampai ke komunikan. Sesungguhnya kebudayaan komunikasi, perhubungan timbal-balik dalam setiap peradaban, sejarah silaturahmi — sangat rendah memuat kebenaran di antara hulu dengan hilirnya”
“Ini bukan pelajaran politik, diplomasi atau strategi apapun. Ini sekadar pembelajaran kecil untuk masing-masing diri. Kalau engkau berkata sesuatu, siapa pendengar yang kau maksudkan? Kalau engkau mengungkapkan kalimat-kalimat, siapa audiens sasaranmu? Kalau engkau menampakkan wajahmu, kalau engkau menampilkan karyamu, kalau engkau mengekspresikan perilakumu, kalau engkau memamerkan karyamu, kalau engkau membangun dan membeber panggung kariermu, prestasimu, inovasimu, keistimewaan produksimu, keunikan kreativitasmu — untuk siapa sebenarnya itu semua engkau tujukan?”
“Kalau engkau meng-ada, dari keluargamu ke medan sosial masyarakatmu, ke panggung nasional Negaramu, sesungguhnya siapa yang engkau dambakan untuk melihat, mendengarkan, memperhatikan, mengapresiasi atau mungkin memuji dan mengagumi? Kalau engkau menjalankan suatu kegiatan, membawa dirimu tampil di panggung sejarah, siapa audiens utama yang menjadi sasaran tindakanmu?”
“Sebagai manusia biasa saja pun, sebagai sekadar rakyat awam pun, pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itu harus bisa kamu jawab. Apalagi kalau kamu sudah tokoh masyarakat, sudah sekolah sampai sangat tinggi gelarmu, sudah menjadi cendekiawan ilmuwan intelektual, terlebih lagi Ulama Negarawan pemimpin yang di genggamanmu ada berpuluh-puluh juta orang. Jangan pula bertanya tentang bagaimana seharusnya seorang Presiden…”
“Tingkat komplikasi masalah Indonesia mengharuskan rakyatnya untuk mencari dan memilih seorang Kepala Negara yang multipotensi. Harus memenuhi syarat dari kriteria Bumi saja maupun skala Langit-Bumi. Pemimpin Indonesia harus berkaliber pemimpin dunia. Pemimpin Indonesia tidak cukup hanya seorang yang pandai dan profesional. Tidak sekadar seorang manajer kekuasaan, pengelolaan sosial, perekonomian dan kebudayaan. Tidak cukup sekadar seseorang yang dipilih oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia tidak bisa diandalkan untuk memilih, hal-hal yang kecil-kecil saja pun semakin salah-salah. Apalagi memilih Presiden. Harus ada yang lebih berkuasa dibanding rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin Indonesia…”
“Kalian pasti bertanya: bukankah yang berlangsung memang demikian? Pemimpin Indonesia dipilih oleh sindikat-sindikat internasional, yang memegang dominasi modal, jaringan media, mikrofon ilmu dan strategi, di mana rakyat Indonesia disihir saja untuk seakan-akan memilih sendiri siapa pemimpinnya?”
“Benar sekali demikian. Maka pemimpin Indonesia harus dipilih terutama oleh yang lebih berkuasa dari yang menguasai dunia….”