Ya Imamal ‘Alamin
Saimon melihat Markesot bersila, wajahnya menunduk, mulutnya tertutup, napasnya semakin lama semakin tak terlihat melalui gerakan bergelombang dari dalam dada dan perutnya.
Saimon tersenyum. Markesot sudah tidak berada di situ. Sudah pergi entah ke mana. Sudah tidak berada di jasadnya yang bersila. Sudah keluar dari dinding kasat-indra tanpa merobeknya.
Markesot sedang berpuasa dari jasadnya. Meletakkan pancaindranya dalam diam, dan memasuki keheningan. Keheningan tidak berada di hutan, di tepi sungai, di bawah pohon. Juga tidak bisa ditampung oleh wadag-nya.
Nun di angkasa sangat jauh, menggelombang suara pepujian yang menyapakan cinta dan kemesraan.
“Shalawat dan salam kepadamu, wahai Duta Agung Sang Pencipta. Cinta dan kesetiaan kepadamu, wahai Penyebar Kabar Gembira ke seluruh alam semesta”
Nun di angkasa amat jauh. Yang mripat materiil manusia tak sanggup menjangkaunya. Apalagi mengukur jaraknya. Karena pada walayah itu bukan jarak namanya, pun bukan jarak sebagaimana yang dipahami oleh benda.
Tak ada pendaran udara atau sapuan angin yang membawa suara itu sehingga mungkin bisa didengar di bawah pohon tepian hutan dan sungai itu. Saimon pun tak bisa mendengarnya, namun ia dengan saksama mendengarkannya.
Taburan kabar gembira ke seluruh alam semesta. Merasuki hamparan tanah di seluruh permukaan Bumi. Menjadi benih. Bersemai menjadi tetumbuhan, tetanaman, pepohonan. Pendaran cinta yang menikahi Bumi hingga ke kedalamannya. Galih-galih unggulannya melingkar dan menyatu dengan khatulistiwa.
Tanah, air, udara, kayu, logam, satuan-satuan, persenyawaan, komposisi, ramuan, racikan, gabungan, harmoni, keseimbangan, putaran daurah, dan semua detail ciptaan, menyatu dalam siklus siang malam kebersamaan, mengolah kehamilan rahmat jika malam, dan kelopak-kelopaknya merekahkan sunnah-Nya sepanjang siang.
Matahari mengayominya dengan kehangatan yang terukur. Rembulan menyelimutinya dengan kesenyapan yang bermuatan cinta. Cahaya dan kegelapan bergiliran dan bekerja sama mengasuh Bumi beserta semua penghuninya.
“Terimalah cintaku wahai Panglima Perjuangan, berkenanlah atas kesetiaanku wahai Penolong Kebenaran”
Perjuangan untuk menjaga mizan, membangun penyeimbangan dan keseimbangan dalam hal apapun saja. Perjuangan untuk tidak mentidakkan apapun. Untuk tidak membuang apapun dari segala jenis makhluk-Nya. Karena Allah sudah memastikan secara kokoh bahwa Ia menciptakan apa saja kecuali kesia-siaan.
Maka makhluk-Nya Ia dorong, Ia tarik, Ia giring untuk mengembarai kebenaran di semua semestanya, agar menemukan kesadaran dan ketakjuban untuk men-tasbih-iNya dan mengucapkan “Wahai Allah, sungguh tak ada yang sia-sia ini semua Engkau ciptakan”.
Tak ada buangan. Tak ada sampah. Tak ada sisa. Tak ada apapun yang bathil. Tak ada mubadzir. Tak ada yang diciptakan oleh-Nya tersingkir. Segalanya diletakkan oleh Allah dalam Gelembung Daur raksasa, yang luasnya tak terukur oleh amat sedikitnya ilmu manusia.
Semua makhluk-Nya berputar mengikuti duriyah Daur itu. Bergerak dan digerakkan secara amat lembut. Menari gembira dengan dan di dalam gerakan yang sedemikian halusnya sehingga tak terasa. Semua, siapa dan apa saja, yang telah ridla, bergabung di dalam tarian itu, mengalami percepatan yang amat lamban, dan perlambanan yang sangat cepat.
Mereka tidak disifati oleh lambat atau cepat, mereka tidak berada dalam jauh atau dekat. Karena lambat dan cepat, serta jauh dan dekat, adalah bagian dari tarian cinta yang mereka terayun-ayun bagai mimpi di dalamnya.
“Bertasbih kepada-Nya semua yang di Langit maupun yang di Bumi”.
Sungguh Ia Maha Perkasa, Maha Akurat dan Maha Presisi.
Wahai siapa gerangan di antara manusia yang memecah-mecah kebenaran. Yang mewujudkan pecahan-pecahan itu menjadi padatan baru, yang dipertentangkan dengan padatan-padatan yang lain, padahal sebenarnya ia berasal dari satu keutuhan kebenaran?
Wahai siapa itu beberapa golongan manusia yang melukai hati Tuhan dengan membanting tempayan agung Cinta sehingga terkeping-keping? Kemudian kepingan mereka benturkan melawan kepingan yang lain. Pecahan mereka adu dengan pecahan yang lain. Serpihan dipertengkarkan dengan serpihan yang lain? Wahai siapa itu beberapa golongan di antara manusia yang mencederai kesetiaan di dalam satu-nya kebersamaan semesta?
“Terimalah cintaku wahai Panglima Perjuangan, berkenanlah atas kesetiaanku wahai Penolong Kebenaran”
Wahai Baginda Muhammad tolonglah kebenaran yang sedang terluka parah di Bumi. Bersama Jibril Baginda melintas-lintas di angkasa sangat tinggi. Ronda di seantero galaksi-galaksi. Mengayun-ayunkan langkah demi langkah cahaya. Kain jubah Baginda berkibar-kibar menyentuh planet-planet dan satelit.
Dan menangis bahagialah setiap yang disentuh oleh jubah Baginda. Wahai perkenankan jiwa rindu hamba terbang mengejar ujung paling belakang jubah Baginda. Tidak terutama untuk mencapai kegembiraan hati hamba pribadi, melainkan untuk menyentuhkan tangis airmata dan peluh darah, yang mengucur dari luka-luka kebenaran di Bumi yang hamba huni.
“Wahai Baginda yang bersama Jibril Al-Muhaimin diperjalankan melintasi jagat raya pada bagian yang paling indah dari segala keindahan
Wahai Baginda yang kanugrahan kawruh dan tuntunan, yang semua manusia hanya mampu tidur tatkala jejak kawruh itu melintasi wilayah mereka
Wahai Baginda yang berdiri menegakkan sembahyang, dan seluruh penduduk Langit bermakmum berbaris bershaf-shaf di belakang Baginda
Wahai Baginda Imam Sembahyang yang tiada tara, wahai Baginda pemuka Sujud yang keindahannya menghanguskan semua kata, wahai Baginda Sang Panglima, wahai Imamal ‘Alamin….”