Wama Adroka Maya au Fana au Baqa`
Ta’qid“Pada suatu hari Mesin Maya itu akan jebol, dan peradaban ummat manusia akan terjungkal seperti tronton menabrak bukit atau terperosok lubang besar mendadak”
Lha Sampeyan siapa? Lha saya siapa? Lha dia, mereka, kami, kita siapa? Kiai Sudrun, Abu Nawas, Sultan Harun, Saimon, Sapron, Brakodin, Sunan Kalijogo, Raja Agung Dua Tanduk, Muhammad dan Nurnya, Bodronoyo, Kapiworo, Yai Panco, Kolomunyeng, Sangkelat, Jumadil Kubro, Mbah Petruk, Kanzul Jannah, Jabroil, Makahala Hasarapala Hajarala, Allah subhanahu wata’ala, memangnya siapa?
Semua itu nyata kah? Maya? Fana? Baka?
Buka dan pandang telapak tanganmu, guratan garis-gemarisnya, bayangan darah di balik kulitnya, nyatakah ia, atau maya, fana, baka? Berkacalah sehabis mandi pagi, tatap cerminan wajahmu, mayakah, nyatakah, fanakah, atau baqa`?
Masyarakat penduduk bumi tiba-tiba berpapasan dengan makhluk jadi-jadian yang dinamakan cyberspace, yang lantas disimplifikasikan menjadi ruang maya, semesta maya, atau dunia maya: integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan computer, yang meliputi sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol; yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi — komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain, yang tersebar di seluruh penjuru kehidupan dunia.
Berapa jarak antara cyber dengan maya? Seberapa jauh lompatan makna dan nilai antara keduanya? Apakah lompatan itu merupakan peristiwa penyederhanaan, ataukah sebenarnya lompatan ilmu, pengetahuan dan peradaban?
Pada kulit ari hologram simulasi sunnati-khalqillah, yang diregulasi dengan syariat baku-Nya, penduduk seperdelapan khatulistiwa menyepakati suatu konotasi bahwa segala urusan internet disebut dunia maya. Sementara sandal dan sepatu di kaki mereka, kain pel di rumah mereka, motor dan pesawat mereka, sambal mercon kuliner di mulut mereka, disebut dunia nyata.
Kalau mereka berkomunikasi, menyebar kebaikan, berdagang atau merekayasa kejahatan dan penipuan-penipuan melalui internet, mereka namakan cyber-communication, cyber-crime. Kalau mau nyata, kencan copy-darat di warung Mbah Cemplung. Kedua-duanya nyata, tetapi kenyataan yang pertama disebut maya.
Mereka menyimpulkan bahwa internet yang menguasai hidup mereka dari Sidang Kabinet hingga jongkok di WC itu sebagai kenyataan yang maya, yang hanya seakan-akan ada. Sesuatu yang disimpulkan tidak benar-benar ada, diperlakukan sebagai benar-benar ada, bahkan mengikat hidup mereka siang dan malam, sampai pun mengimami shalat tidak bersedia meninggalkan gadgetnya.
Sesuatu yang sangat terjadi, yang benar-benar berlangsung, yang sungguh-sungguh mereka lakukan dan alami, mereka sebut seakan-akan ada. Kemudian yang seakan-akan ada itu mereka pertuhankan, mereka sembah, mereka shalati, mereka sujudi dari terbitnya matahari hingga terbitnya kembali matahari.
Ibarat roti bernama maya. Roti dimakan dikenyam dikulum-kulum, kemudian disimpulkan dan dinamakan itu Roti Maya. Sudah benar-benar makan, sudah terlanjur makan, tapi status dan maknanya seakan-akan makan.
Maka letak ke-maya-annya tidak pada rotinya, tidak pada makannya, tapi pada cara pandangnya, pada pola pikirnya, pada kerja mesin ilmunya, yang pada akhirnya dijadikan ideologi dan teologinya.
Padahal mesin maya itu sudah mereka pergunakan untuk menggarap segala arus informasi dan komunikasi di antara sesama manusia. Untuk menyempurnakan keunggulan, kekuasaan dan kemenangan suatu kelompok manusia atas kelompok lainnya.
Mesin yang dianggap seakan-akan itu sudah mereka dayagunakan untuk menentukan siapa Presiden dan anggota Parlemen, untuk memperdaya khalayak antara bumi bulat dengan bumi datar, memanipulasi organisasi Bangsa-bangsa, mempertengkarkan madzhab-madzhab, menyebarkan tipu muslihat tentang demokrasi, rasisme, diskriminasi, Agama suku dan ideologi-ideologi yang benar-benar maya.
Bahkan memperalat potensi-potensi “keTuhanan” untuk kepentingan itu.
Pada suatu hari Mesin Maya itu akan jebol, dan peradaban ummat manusia akan terjungkal seperti tronton menabrak bukit atau terperosok lubang besar mendadak.
Dalam posisi di mana manusia justru semakin awam dan kabur pandangannya tentang beda atau jarak antara nyata, maya, gugontuhon, fana, baka….