CakNun.com
Daur 174

Wali Klingsi

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Salah satu hal yang diincar untuk dikonfirmasikan kepada Kiai Sudrun oleh Markesot ya bab adzab ini.

Tapi sekali lagi biarlah urusan Markesot dengan Kiai Sudrun nanti belakangan saja. Biarkan Markesot sudah menghilang. Mungkin juga sudah menemukan Kiai Sudrun. Biarkan saja. Sekadar Markesot saja pun sudah terasa seperti adzab yang memecah kepala, jangan pula ditambah dengan level adzab yang lebih tinggi.

Lebih baik jangan pernah ketemu dengan Kiai Sudrun sepanjang hidup. Sebab dia tahu persis jumlah detail uangmu yang di dompet, di saku celana, di almari rumah, di bank, bahkan di balik kendit istrimu. Dan begitu ketemu, dia langsung minta duit. Dia pula yang menentukan jumlahnya. Kalau misalnya sejak sebelumnya sudah kita siapkan uang khusus untuk Kiai Sudrun, dia pasti menolak. Dia akan tunjuk uang yang jumlahnya lebih besar yang kita simpan.

Dulu Neneknya Markesot diantar Markesot bertamu ke rumah Kiai Sudrun untuk menanyakan apa benar suaminya, yakni Kakek sambung Markesot, selingkuh dengan Jin. Nenek Markesot memang luar biasa pencemburu. Kalau pergi malam-malam dengan suaminya, lantas di dekat kuburan ada Kuntilanak atau Sundel Bolong, si Nenek ribut bukan karena takut ketemu hantu, tapi sibuk mengawasi jangan-jangan suaminya ada main dengan hantu itu.

***

Pada kunjungan sebelumnya si Nenek pernah menyiapkan sejumlah uang untuk Kiai Sudrun, tapi ditolak dan Kiai Sudrun menyebut sejumlah uang sambil menuding arah dada Nenek. Ternyata memang Nenek bawa uang lumayan banyak diletakkan di dalam BH-nya, disisihkan sekadarnya untuk Sudrun. Akhirnya semua uang Nenek dikasihkan ke Kiai Sudrun.

Kalau tidak karena curiga suaminya gendhakan dengan Jin perempuan, si Nenek tidak cenderung untuk menemui Kiai Sudrun lagi. Tapi apa boleh buat. Namun demikian karena pengalaman uang dalam BH dulu, si nenek kali ini agak salah tingkah begitu memasuki halaman rumah Kiai Sudrun. Spontan Nenek belok ke Musholla di depan sebelah kiri rumah Kiai Sudrun. Ia berwudlu, kemudian melakukan shalat.

Tiba-tiba ketika si Nenek ruku` membungkukkan badan, tubuhnya disorong ke depan oleh Kiai Sudrun sambil berteriak — “Gak njaluk gaaaak!”. Saya tidak minta duitmu. Tidak. Begitu terjemahannya. Si Nenek terjerembab ke depan. Untung beliau petani tangguh yang badannya kuat dan sehat. Si nenek bangun terbata-bata sambil mendengar Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh dan berlari masuk rumahnya.

***

Sebaiknya disebar suatu travel warning ke teman-teman dan siapa saja yang mungkin bisa dikasih tahu. Sekarang ini sedang susah-susahnya cari duit, jangan pula ketanggor Kiai Sudrun untuk ia rampas uang kita.

Kalau umpamanya ada yang terpaksa seperti Nenek Markesot tadi butuh ketemu Kiai Sudrun, datang saja sendiri. Jangan ajak teman, apalagi saudara atau famili. Nanti Kiai Sudrun bisa-bisa nyangoni bahan dan sumber konflik untuk pertengkaran sepulang kita dari rumahnya.

Bayangkan kita diantar seorang kawan bertamu ke rumah Kiai Sudrun. Belum dipersilakan duduk, Kiai Sudrun sudah menuding-nuding kawan kita:

“Harga lembunya sepuluh juta kok kamu bilang ke Bapakmu laku hanya tujuh juta?”

Pernah ada Sekretaris Desa diajak temannya, Kiai Sudrun mendampratnya:

“Uang bantuan desa kok malah kamu belikan semen dan kayu untuk ndandani rumahmu”

Temannya Sapron dulu juga dimarah-marahi seolah-olah Kiai Sudrun itu Pakdenya:

“Saya tidak suka sama kamu. Kamu ini pemarah. Temanmu di SMP sekarang jadi Bupati, sementara kamu tukang becak. Kenapa marah? Seharusnya Bupati itu yang frustrasi dan uring-uringan. Karena dia dicampakkan oleh Tuhan di kubangan yang banyak najisnya. Sedangkan kamu disayang Tuhan. Dilindungi dari malapetaka dunia. Kaki dan tanganmu disuruh menjalani ibadah tingkat tinggi tiap hari. Kok malah jadi pemarah”

***

Sapron mengantarkan kakaknya sakit parah, perutnya mlembung besar, tersiksa luar biasa, sangat susah buang air besar. Badannya menyusut cepat. Beberapa kali ke dokter tidak ada yang bisa memastikan dia sakit apa. Mungkin karena ketika itu dokter belum punya alat teropong untuk melihat apa isi perutnya. Akhirnya menghadap ke Kiai Sudrun.

Begitu melihat si pasien yang kurus pucat dengan wajah penuh derita, Kiai Sudrun malah tertawa terbahak-bahak. Keras dan lama sekali tidak berhenti tertawanya. Sapron disuruh membeli obat urus-urus. Kakaknya disuruh makan dulu sekuatnya kemudian minum serbuk itu.

Dalam waktu tak ada satu jam kakak Sapron berlari mau ke belakang. Tidak bisa menahan ingin buang air besar. Sapron memapahnya dan mengantarkannya ke pakiwan. Sebentar kemudian Sapron ganti yang menderita. Ia mau mengucapkan kalimah-kalimah thayibah tapi pekewuh lha wong di dalam pakiwan. Mau tertawa juga ia tahan karena mungkin akan menyakiti hati kakaknya.

Dari perut kakak Sapron pletok-pletok satu persatu keluar butiran-butiran klingsi, biji asam. Sapron dengan sabar dan telaten menemani perjuangan kakaknya, sambil diam-diam menghitung. 63 biji semua jumlahnya yang kost selama ini di dalam usus kakaknya.

Lega hati mereka berdua. Kakak Sapron mulai tulus senyumnya. Bergegas Sapron menuntun kakaknya untuk bersegera melaporkan keadaannya kepada Kiai Sudrun serta menghaturkan beribu terima kasih. Tetapi sebelum masuk ke rumah, Kiai Sudrun sudah berdiri metenteng di depan pintu. Bertolak pinggang sambil masih tertawa-tawa kecil. Rupanya sudah memanggil dua becak pula.

“Ayo!”, perintah Kiai Sudrun, “pergi ke toko kita. Tolong belikan saya mobil”

***

Mau pingsan Sapron rasanya. Apa maksudnya membelikan mobil?

“Mobil satu saja cukup”, teriak Sudrun dari atas becak. Sapron dan kakaknya di becak lainnya.

Sapron tidak bisa menjawab. Gimana ini maksudnya.

“Cukup satu mobil saja”, Kiai Sudrun mengulang, “tidak perlu 63 mobil. Klingsi kan murah harganya”

Sapron berkeringat dingin, badannya gemetar. “Urusan klingsi saja kok imbalannya mobil”, Sapron menggerundal sendiri, “Dasar Wali Klingsi”

Beli mobil pakai duit berapa Mbah, bukan sekadar pakai uang Mbah-nya siapa. Sapron frustrasi berat, sementara Kiai Sudrun nyanyi-nyanyi tertawa-tawa seperti anak belum masuk Sekolah Dasar.

Alhasil becak meluncur beberapa kilometer, diarahkan oleh Kiai Sudrun. Berhenti di depan sebuah toko. Kiai Sudrun turun dan menyuruh mereka berdua pun turun.

Sapron matanya kabur, pikirannya rusak, hatinya hilang. Setelah masuk toko mengikuti Kiai Sudrun baru pelan-pelan ia sadar bahwa ini adalah toko mainan anak-anak.

Kiai Sudrun berjalan mantap seolah-olah ia pemilik saham mayoritas toko itu. Ia tidak melihat-lihat keliling, melainkan menuju ke suatu pojok yang sepertinya ia sudah tahu persis, bahkan seolah-olah ini semua adalah miliknya. Kiai Sudrun mengambil sebuah truk kecil terbuat dari kayu.

Sapron terpana. Gusti Pengeran. Mobil-mobilan, truk-trukan. Belum sempat mengatur nafas Kiai Sudrun nerocos terus, “Terima kasih atas hadiah ulang tahun saya ke 67. Seharusnya hari ini saya masuk Gua, tapi demi klingsi, saya nunggu kedatangan kalian”

Kemudian Kiai Sudrun menemui pelayan toko, minta tali, diikatkan ke bagian depan truknya. Lantas ia berlari keluar toko menyusur trotoar, menghambur menyeret truknya sambil berteriak-teriak riang gembira.

***

Kelak, beberapa puluh tahun kemudian, ketika Sapron menceritakan pengalamannya itu kepada Markesot, seluruhnya sampai detail, Markesot terhenyak kaget.

“Gua?”, kata Markesot, “Al-Kahfi. Ayat 67? ‘Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku’….”

Lainnya

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik