Waktu Adalah Milik-Ku

“Kata Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brama, Kala dan Uma, sampai hari ini masih dipakai oleh masyarakat Jawa, entah dijadikan nama orang, nama kelompok, perusahaan dan macam-macam lagi. Sebagian mereka mungkin peduli pada epistemologi kata-kata itu, tetapi kebanyakan tidak punya waktu untuk mengurusi sangkan-paran-nya”
Saimon benar-benar tidak tahu bahwa Markesot sudah tertidur lelap, sehingga tak berhenti ia bicara.
“Sebagian orang Jawa slentang-slenting pernah mendengar kata-kata itu sebagai nama para Dewa dan Dewi. Itu pun manusia Jawa modern tidak pernah punya minat untuk mengejar apa gerangan yang dimaksud Dewa dan Dewi itu. Kebanyakan mereka malah seenaknya mengambil kata itu berdasarnya estetika bunyinya belaka. Malah dipakai dalam terapan yang seenaknya tanpa memperhatikan bahwa hidup ini memiliki lapisan-lapisan derajat dan martabat”
“Ampun bener manusia ini. Sri dipakai untuk kata depan nama putrinya. Begitu saja tanpa berpikir dan mencari apa-apa yang menjadi konteks atau nuansanya. Indra dipakai sebagai singkatan Indonesia Raya, jadi bukan benar-benar Indra. Manusia punya kebiasaan aneh, dulunya suka ayam, sekarang merasa cukup dengan rasa ayam, sedangkan ayam yang sebenarnya tidak dipedulikan”
“Kata Brama malah dipakai sebagai judul dan tokoh Sandiwara khayalan yang tidak diperhitungkan sama sekali ruang dan waktunya dalam Sejarah. Dan jutaan penggemar Sandiwara khayal itu mengagumi tokoh Brama melebihi kekaguman mereka kepada Nabi dan Rasul. Manusia Jawa mungkin kelelahan menjalani peradaban yang sangat panjang dan lama sejak nenek moyang mereka. Sehingga yang ada di tangan kesadaran mereka tinggal kata dan huruf”
“Batara Kala yang di belakangnya terdapat konsep luar biasa tentang ijtihad waktu, hanya diwarisi sebagai kosakata. Para penyair sangat menjunjung dan menyukai kata Kala, kala itu… manakala aku bersanding… di kala engkau merenungi rindu… para pemeleset melantunkan Kala Ilahi, Kalamualaikum, sampai-sampai Negaranya kala melulu, gara-gara memilih Wakil Presiden bernama kala… jadinya semua bernyanyi sejaaak duluuuu kalaaaaa….”
***
“Padahal Kala itu bagian ketujuh dari Siklus Delapan hari-hari pemahaman manusia Jawa. Hastawara. Berpedoman kepada perabaan dan penelitian panjang tentang Padewan, tentang alam kuasa Dewa, beda-beda kekuatan dan jenis kekuasaan dari atas terhadap putaran delapan-delapannya hari.”
“Dewa dan Dewi di situ jangan lantas dicari dengan pertanyaan siapa sebenarnya mereka? Gara-gara bersekolah terlalu lama maka karena Tuhan memperkenalkan 99 sifatnya lantas diam-diam menggagas bahwa Tuhan berjumlah 99. Yang Maha Pengasih berbeda dengan Yang Maha Menghukum. Tuhan Yang Maha Penyayang bukan Tuhan Yang Maha Pengadzab. Tuhan Yang Maha Pemurah tidak sama dengan Tuhan Yang Maha Menghalangi Rejeki. Berhentilah sekolah kapan seseorang menyadari bahwa ia terperosok ke lembah pemahaman seperti itu”
“Alam pikiran demokrasi dan egalitarianisme yang menguasai manusia Jawa modern, membuat mereka lupa memelihara kesadaran batas bahwa yang dimaksudkan dengan hak yang sama antara semua manusia dan makhluk adalah sekadar pada urusan-urusan tertentu.”
“Tidak mentang-mentang semua manusia itu sama haknya, maka lelaki dan wanita pun sama. Padahal sangat jelas lelaki bukan wanita dan wanita tidak sama dengan lelaki. Tidak penting siapa yang lebih tinggi atau rendah di antara keduanya. Yang utama adalah bahwa setiap konteks dan maqamat berbeda-beda proporsi sama dan tak samanya.”
“Lelaki dan wanita sama-sama memiliki keistimewaan, kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi itu tidak berarti keistimewaan mereka sama, kelebihan dan kekurangan mereka juga sama. Wanita istimewa karena ia wanita, bukan wanita istimewa karena ia tidak berbeda dengan lelaki. Walhasil manusia dikepung kebingungan untuk memahami dirinya sendiri. Bangsa Jawa yang semula sudah menemukan pola pemahaman untuk mengurangi kebingungan itu, sekarang berbondong-bondong ikut dalam barisan kebingungan global.”
“Tidak mentang-mentang semua makhluk memiliki hak yang sama, lantas rusa sama dengan anjing, gajah sama dengan jerapah, burung tidak berbeda dengan ayam, ular adalah juga kambing, dan lalat itu pun kuda sebagaimana kuda itu pun harimau.”
***
Saimon tertawa terpingkal-pingkal, padahal yang membuat ia tertawa adalah kalimat-kalimatnya sendiri. Namanya juga Jin. Omong sendiri, ditertawakan sendiri. Kasihan. Karena manusia tidak bisa mendengarkan suara mereka. Sementara Markesot malah tidur, meskipun Saimon merasa bahwa Markesot sedang mendengarkannya dengan penuh perhatian.
“Bagaimana ini nasib anak-anak Jawa, generasi terbaru Bangsa mereka. Makin bengong saja tersandera di tengah ruang dan waktu yang mereka hanya memahaminya sebagai kehampaan dan kesenyapan.
“Hanya mengenal Siklus Tujuah Harian, sedikit Siklus Lima Harian, tak pernah mendengar Siklus Enam Harian, sayup-sayup bagai mimpi kalau ada yang bercerita tentang Siklus Delapan Harian. Bagaimana mungkin ada di memori mereka Padangon atau Sangawara, Siklus Sembilan Harian: Dangu, Jagur, Gigis, Kerangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung dan Dadi?”
“Di antara sekian juta pengajar di Sekolah Bangsa Jawa sekarang ini bahkan sangat sedikit pernah mendengar Sembilan kata itu. Jangankan lagi memasuki ta’lim, tafhim, ta’rif, terlebih lagi aplikasi ta`dib. Terminologi apa gerangan yang menggambar komposisi antara Batu dengan Harimau, Matahari kok dengan Ulat, Rembulan dengan Air, juga Api dan Kayu?”
“Ini komposisi dan aransemen waktu model Sa’ah, ‘Ashr, Waqt dan Mawaqit, Hin, Yaum, Ajal dan Muajjal, atau apa? Betapa Tuhan menyayangi nenek moyang Bangsa Jawa sehingga diperkenankan menembus lapisan-lapisan dan gugusan-gugusan maupun lipatan-lipatan waktu. Sedang anak cucu dari manusia-manusia dahsyat itu sekarang konsentrasi waktunya adalah hari-hari Libur panjang….”
“Bahkan generasi baru Bangsa Jawa yang pinunjul itu sekarang berpikir sangat praktis: perhitungan waktu melalui putaran matahari adalah Barat, sedangkan yang pakai rembulan adalah Timur. Wahai para Ulul-abshar Ulul-albab dan Ulun-nuha dari masyarakat Jin dan manusia, berhimpunlah untuk menjadi Guru di sekolah-sekolah Jawa”
“Sejak jauh sebelum batas waktu yang disebut Masehi, bangsa Jawa sudah memakai putaran Matahari sebagai satuan waktu. Tahun Saka adalah penanggalan Matahari. Baru kemarin sore, di tahun ke-1633 sesudah Nabi Isa dikenal, pada Bulan Juli tanggal 8, bertepatan dengan tahun 1555 Saka atau 1 Muharram 1043 Hijriyah, Sultan Agung Hanyakrakusuma Raja Mataram Islam mengubah satuan waktunya ke perhitungan Rembulan”
Saimon agar mengeras volume suaranya. “Kalau itu semua sekadar berakibat mereka tidak mampu mempertahankan kebaradaan Negara Nusantara Katulistiwa, tak apalah, itu bisa dianggap soal teknis. Tapi rasakan geramnya Allah: “Anak-anak Adam menghardik waktu, dan Aku adalah Pemilik waktu, di genggaman kuasa-Ku segala siang dan malam….”