CakNun.com
Daur 133

Untuk Anak-cucu dan Jape-methe

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Tidak ada manfaatnya memperdebatkan apakah Markesot itu gila atau waras. Hahahaha…kalau glundhung-pringis pastilah selalu pringisan tertawa. Tetapi hantu kaki-tiga yang karakternya sangat serius pun jadi tertawa: Astaga…makhluk-makhluk yang mengira dirinya waras, padahal mereka semakin tidak waras, mempertanyakan waras-gilanya Markesot?

Wahai logika hancur. Wahai kemanusiaan kikis. Wahai akal dari Tuhan yang didayagunakan untuk mengakali. Wahai sistem tipudaya. Wahai regulasi perampokan. Wahai budaya birokrasi pengutilan. Wahai peradaban kemunafikan. Wahai semut dan harimau pun punya kepemimpinan, dan ummat manusia kekasih Sang Pencipta melecehkannya. Wahai kumpulan makhluk rendah diri. Wahai para khalifah tanpa martabat, tak punya harga diri, tak ngerti muru’ah. Kalian meyakini diri kalian waras?

Hanya demi sopan santun saja Markesot membatasi tertawanya melihat makhluk-makhluk GR di salah satu lingkup seputaran Katulistiwa yang heboh dan gaduh. Makhluk-makhluk kesayangan Tuhan yang menyangka diri mereka waras, hidup di Negeri yang waras, menjalani budaya, hukum dan politik waras, bangga sedang mengemis “gemah ripah loh jinawi” dari Kerajaan Ya’juj dan Ma’juj, demi mewarisi dan membebani penganiayaan ke masa depan, yang anak-cucu mereka tak kan sanggup menanggung hutang-hutang dari kakek-neneknya sendiri.

Wahai inilah Markesot, seekor makhluk purba, jangan sebut seorang. Wahai inilah aku makhluk asing, hadir sebagai tamu liar yang tak diundang di bumi. Dulu kutitipkan pernyataan ini melalui seseorang untuk menyebarkannya:

“kalau memang tak bisa
kau temukan wilayahku
biarlah aku yang terus berusaha
mengetuk pintu rumahmu

kalau tak bersedia engkau
menatap wajahku
biarlah para kekasih rahasia Allah
yang mengusap-usap kepalaku”

Sebagaimana sia-sia warga Patangpuluhan itu mencari kebenaran tentang siapa nama Bapak dan Ibunya Nabi Khidlir, beliau masih sugeng atau sudah meninggal, tinggi badannya berapa, apa benar orang sakti dari kelamnya rahasia ini memutar Masjid Hagia Sophia, mengubah arahnya menjadi menghadap Kiblat, hanya dengan menempelkan telapak tangannya di salah satu tiang Masjid, kemudian menggeser seluruh bangunan raksasa itu.

Apa benar Nabi Idris sengaja ninggal sandalnya di dekat pintu sorga bagian dalam. Apa benar babi tercipta dari gajah dan tikus tercipta dari babi pada saat Nabi Nuh kerja keras menakhodai kapal agung penyelamat peradaban kaumnya yang beriman. Apa benar Iblis bergerilya memasuki sorga melewati mulut naga yang menguap di depan pintu sorga, kemudian menelusuri lorong tubuh panjang naga itu, kemudian keluar bersama tinjanya, dan ekor naga itu berada di dalam sorga. Dengan begitu ia bisa mensubversi pemindahan Adam dari sorga ke tempat yang seharusnya, yakni bumi.

Mungkin ada yang lebih jauh lagi menanyakan apa hubungan Markesot dengan tinja naga, dengan gajah babi tikus, dengan kerudung Nabi Khidir dan terompah Nabi Idris, demi Tuhan seru sekalian alam itu adalah pertanyaan yang paling bodoh dan sia-sia. Mahasiswa-alam Patangpuluhan dulu pernah memperdebatkan sebenarnya yang benar itu Zulaikha sangat mencintai Nabi Yusuf ataukah Nabi Yusuf yang sangat naksir Zulaikha.

Perdebatan itu terhenti oleh Markesot. “Saya tidak punya data tentang cinta. Yang saya pelajari hanya pisau yang dipegang oleh abdi-dalem Kerajaan yang tak sengaja mengiris tangannya sendiri, karena takjub terpesona menatap betapa gantengnya wajah Nabi Yusuf. Pisau itu saya simpan dan ada di tangan saya”

Kemudian Markesot mengambil tasnya. Memasukkan tangan kanannya ke dalam tas itu. Ia keluarkan lagi dalam keadaan tergenggam.

“Kalian pejamkan mata”, kata Markesot, “hati kalian masing-masing memohon ampun keada Tuhan. Supaya jiwa kalian bersih, dan mripat kalian diperkenankan Tuhan untuk mampu melihat pisau ini”

Kemudian sesudah teman-temannya diziinkan Markesot membuka matanya, Markesot pelan-pelan membuka genggaman tangannya. Di telapak tangan itu ada gambar pisau kecil, hasil goresan fulpen murahan.

“Ini pisaunya di tangan saya”, kata Markesot.

***

Berhentilah mempelajari pisau di tangan abdi-dalem Keraton di jaman hidupnya Nabi Yusuf. Ini keadaan masih njarem dan semakin tidak waras. Jangan mengharapkan apapun dengan pedoman seolah-olah ini zaman waras.

Sumbangan nasional njarem itu membuat Markesot merasakan kembali kegagalan hidupnya. Jelasnya: kegagalan subversi Markesot di bumi. Tulisan demi tulisan yang dibacakan itu seperti mengejek dan menjelentrehkan hamparan dan daftar kegagalan Markesot. Bagaimana tidak. Mungkin gagal tidak di jagat Patangpuluhan, melainkan gagal di dunia dan Negeri Katulistiwa.

Tulisan-tulisan itu tidak ada masalah bagi Universitas Patangpuluhan. Tetapi itu kegagalan besar bagi masyarakat dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa.

Itulah sebabnya sejak awal Markesot menekankan: “Tuliskan sesuatu, apa saja, tanpa syarat dan batas, untuk anak cucumu dan sesama Jape-Methe, sesama pembelajar di Kosmos Patangpuluhan. Sekali lagi, tulisanmu itu untuk anak cucumu entah sampai turunan keberapa, serta untuk Jape-Methe”.

Sebagian temannya bertanya, “Jape-Methe itu apa, Cak Sot?”

Markesot menjawab, “Mungkin kalian pikun atau dulu lalai selama sesrawungan di Patangpuluhan. Jape-Methe itu bocahe dhewe. Kalian selama di Patangpuluhan kan orang kampung, bukan orang kota. Orang kampung di Patangpuluhan membaca “b” menjadi huruf apa, “c” “h” “d” “w” berubah jadi huruf apa. Itu kan password peradaban kampung kalian sendiri dulu. Jape-methe adalah sesama kita di jagat raya kita. Sesama teman di lingkup Patangpuluhan”

“O iya ya, saya lupa….”, kata si pikun.

“Kamu singkat saja Jape-Methe menjadi jm. Kelak, jm akan punya kepanjangan yang bukan Jape-Methe”

“Apa itu?”

“Saya bilang kelak. Kok ditanyakan sekarang”

“Baik, Boss. Tapi saya nanya kenapa tidak J dan M huruf besar?”

“Tidak usah ‘j’ dan ‘m’ besar. Kecil saja. Jawabannya ada enam ribu enam ratus enam puluh enam. Tapi ambil satu saja. Misanya karena kita tidak besar dan hanya kagum kepada Kebesaran Tunggal, yakni yang ada pada Tuhan sendiri”

“Biasanya kalau singkatan ditulis huruf besar semua, Cak Sot”

“Biasanya siapa? Biasanya pada atau bagi siapa? Untuk sejumlah hal kita sudah bermurah hati untuk mengakomodasi dan menyesuaikan diri dengan dunia dan bangsa Negeri Katulistiwa. Tetapi untuk hal-hal tertentu setiap kita boleh memilih kata, bahasa, idiom, cara berpikir, metoda analisis dan pola-pola pandang berdasar kedaulatanmu masing-masing. Jadi tak harus JM. Bisa jm saja”

“Tapi nanti orang tidak paham bahwa itu dua huruf singkatan dari dua kata?”

“Orang siapa? Orang di dunia? Orang dari Bangsa Katulistiwa? Itu semua wasiat untuk anak cucumu sendiri dan kepada sesama jm. Orang di dunia dan di Negeri Katulistiwa tidak harus paham, bahkan tidak perlu membaca wasiat itu. Kalian pikir mereka pernah benar-benar apa yang mereka katakan, yang mereka baca dan dengar?”

“Kalau anak cucuku dan Jape-Methe juga tidak paham bagaimana?”

“Berarti bukan anak cucumu dan bukan jm. Berarti mereka belum manusia merdeka. Belum manusia berdaulat”

“Merdeka dan berdaulat dari apa?”

“Belum memerdekakan diri dari dari kebiasaan ummat manusia dan bangsa Negeri Katulistiwa, dalam hal cara berpikir, pola konsumsi komunikasi, teknik penyerapan serta pengambilan keputusan tentang hulu hilir pangkal tujuan hidup”

“Jawaban Sampeyan bisa agak lebih sederhana, Cak Sot?”

“Belum merdeka dari tradisi kesempitan. Belum merdeka dari naluri berhubungan dengan sesuatu hanya untuk peka terhadap keuntungan yang diambil. Belum merdeka dari subyektivisme yang merugikan diri sendiri…”

“Masih mewah bahasa Sampeyan, Boss”

“Belum merdeka dari kebiasaan masuk kebun hanya berpikir memetik buahnya, tidak ingat biji buahnya, proses ketumbuhan pohonnya, perkawinan akarnya dengan tanah, keterkaitan tanah dengan seluruh sifat bumi, ketergantungan bumi terhadap sunnah alam semesta dan kehendak Penciptanya”

“Sedikit agak lebih sederhana, Cak Sot”

Lainnya

Belajar Manusia Kepada Sastra

Belajar Manusia Kepada Sastra

Sastra Generasi Millenial

Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik