CakNun.com

Ulang Tahun Pertama Likuran Kebumen

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Sesudah beberapa waktu sebelumnya bertandang ke Tasikmalaya dan Cilacap, 21 Mei 2016 lalu Isim Harianto berkunjung ke Kebumen untuk menghadiri ulang tahun ke-1 “Likuran” Paseduluran Maiyah Kebumen. Acara berlangsung di Aula Balai Desa Karanganyar Kebumen yang berada tepat di selatan Alun-alun Karanganyar.

Likuran adalah forum rutin di mana para penggiat dan jamaah Maiyah yang berdomisili di kabupaten Kebumen berkumpul, berdiskusi, dan mengolah potensi, dan coba merespons kondisi. Likuran juga sekaligus dimanfaatkan oleh teman-teman Jamaah Maiyah Kebumen untuk bersilaturahmi dengan pelbagai pihak di masyarakat Kebumen, khususnya kalangan remaja dan muda dengan beragam latar belakang.

Milad Likuran
Milad Likuran

Selain para penggiat Maiyah Kebumen sendiri, ulang tahun pertama Likuran dihadiri kurang lebih sepuluh perwakilan berbagai komunitas kepemudaan di Kabupaten Kebumen. Ada komunitas kesenian tradisional, pecinta sejarah, pondok pesantren, kelompok penyuka grup band, grup motor, organisasi kemahasiswaan, dan elemen kepemudaan lain. Pun perwakilan pemerintahan setempat juga hadir.

Dalam acara ulang tahun itu, atas kegiatan-kegiatannya, Likuran mendapatkan ucapan dan apresiasi. “Kalau pemuda dan remaja kita semua aktif dan kreatif membuat kegiatan seperti ini, saya yakin berbagai bentuk kenakalan dan kriminalitas pemuda di masyarakat akan berkurang bahkan hilang,” ujar Kapolsek Karanganyar.

Sementara itu wakil dari pemerintah Kecamatan menuturkan, “Saya kenal Cak Nun dari Youtube, dan saya dengar ada kumpulan grup belajar yang sering dinamai Maiyah, tapi saya baru tahu ternyata di kecamatan Karanganyar Kebumen ada kelompok itu. Saya sangat senang dan berharap kegiatan semacam ini terus ada dan diperluas lagi.”

Rasa dan suasana paseduluran selalu mewarnai pertemuan-pertemuan Maiyah. Vibrasi yang sama juga terasa dalam acara ulang tahun Likuran ini. Para wakil komunitas yang diberi kesempatan berbicara secara senada membenarkan dan menyampaikan hal yang sama, yaitu anugerah terindah malam itu adalah paseduluran. Dan karena dasarnya adalah paseduluran, maka yang muncul menjadi indah dan menyenangkan.

Salah satunya tampak pada apa yang disampaikan Pak Sigit, seorang tokoh masyarakat Katolik di sana. Ia mengatakan, “Dengan ikut acara ini dan menyimak apa yang tadi disampaikan mas Harianto, saya sedikit dapat merasakan indahnya agama, dan yang lebih penting saya semakin yakin Islam mampu membawa kerahmatan bagi Indonesia. Meskipun saya tidak akan pernah berencana untuk pindah agama, masuk Islam”. Kontan apa yang dikemukakan Pak Sigit mendapatkan aplaus persaudaraan dari semua hadirin.

Malam itu Likuran Paseduluran Maiyah Kebumen menganggit tema “Dolanan Nyawiji”. Diskusi dipandu oleh Mas Ichsan. Selain Mas Harianto, narasumber-narasumber lain juga turut menggayengkan diskusi, salah satunya adalah Rafi, pemuda asli Kebumen yang sedang intens menggali dan mempelajari sejarah leluhur melalui komunitas mandiri dan swadaya.

Milad Likuran
Milad Likuran

Dolanan Nyawiji sendiri adalah frasa kata kunci yang malam itu menjadi titik keberangkatan untuk melingkar menyelami berbagai hal dan menghasilkan beragam pendapat dari para jamaah. Namun, seperti disampaikan Mas Ichsan, apapun saja poin, penekanan, dan perolehan wawasan dalam hidup ini kalau bisa paseduluran menjadi bagian yang selalu melekat dan tak terpisah. Bahwa ilmu dan pengetahuan sebaiknya bergandengan dengan dan dalam paseduluran. Di situlah manfaat dan keberkahan akan muncul. Paseduluran adalah wujud dari kebersamaan. Dan itulah arti nyawiji, yaitu menjadi satu, satu saudara, itulah Maiyah.

Tak hanya melalui diskusi yang berlangsung, ilmu, keindahan, dan rasa kebersamaan itu juga diperoleh lewat penampilan grup musik gamelan Likuran yang coba menghadirkan nomor-nomor musik KiaiKanjeng sebagai bentuk cinta dan ta’dhim kepada KiaiKanjeng. Ada pula “repro” gaya pembacaan puisi rusak-rusakan penyair Mustofa W Hasyim oleh Mas Karyanto.

Sementara itu, Mas Harianto mengantarkan pemahaman mendasar dari Maiyah, bahwa Islam bukanlah sekadar kata benda, bukan status atau identitas, tetapi Islam adalah kata kerja. Sehingga inti peribadatannya adalah menebar kebaikan dan memaksimalkan kebajikan dalam hidup bermasyarakat. “Itu semata-mata karena kita memaknai iman sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Muhamaad Saw, yaitu sanggup memberi rasa aman bagi sesama. Aman jiwanya atau nyawanya, aman hartanya dan aman harga diri, kehormatan atau martabatnya,” kata Mas Harianto.

Milad Likuran
Milad Likuran

Pukul 02.00 dinihari, acara resmi diakhiri. Tetapi para muda dan hadirin yang duduk berkebersamaan itu tak ingin melepas nikmat keindahan malam itu, yang berbarengan dengan malam Nishfu Sya’ban. Rasa eman berpisah itulah ciri lain dari Maiyahan-maiyahan yang selama ini berlangsung, baik yang bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng maupun Maiyahan-maiyahan di simpul-simpul Jamaah Maiyah.

Akhirnya mereka melanjutkan diri dengan ngobrol-ngobrol di lingkaran-lingkaran kecil di sudut-sudut aula hingga adzan subuh berkumandang, dan segera setelah shalat Subuh mereka bergegas, bersalaman, dan meninggalkan lokasi acara. Berpisah membawa rasa kangen untuk berkumpul kembali bulan depan.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version