Tumbal Nasab
Untung di tempat sepi dan sangat jauh dari perkampungan manusia, sehingga tak ada masalah Markesot tertawa-tawa sendiri. Sebab tak hanya tertawa: terpingkal-pingkal, terkadang terkekeh-kekeh, dan lama sekali durasinya.
Ia mentertawakan pertanyaannya kepada Tuhan: “Apakah itu suara-Mu wahai Sang Hyang Sangkan Paran yang hamba senantiasa rindukan dengan seluruh kekerdilan hamba sepanjang perjalananku?”
Dan terpingkal-pingkal oleh jawaban atau kesimpulannya sendiri: ternyata tidak ada jawaban apapun yang ia dengar atau rasakan.
Kemudian ia mendongakkan wajahnya ke langit, sejenak kemudian bertolak pinggang dan melihat ke bawah, seakan-akan ia sedang menghadap makhluk kerdil kecil di hadapannya. Markesot berteriak, dengan suara lantang dan muatan nada geram, seakan-akan ia mendengar suara Tuhan dan menirukannya:
“Wahai si kerdil Markesot, mungkinkah ada suara selain suara-Ku?”
Markesot terkekeh-kekeh lagi.
“Bagaimana mungkin kau setua ini tidak berpikir bahwa mustahil ada segala ada kecuali Aku”
Markesot terguncang-guncang tubuhnya.
“Bagaimana mungkin ada terompet berbunyi dan diyakini bahwa terompet itu sendiri yang berbunyi? Bagaimana mungkin daun-daun bergesekan, angin menimpa mereka, batu membentur batu, api meledakkan benda-benda, burung-burung mengeluarkan udara dari tenggorokannya, yang disangka itu semua adalah suara yang bukan suara dari-Ku?”
Markesot menjadi lemas kedua tangannya menjurai ke bawah, ditali oleh gravitasi.
“Berapa abad para makhlukku yang kerdil-kerdil ini memerlukan waktu untuk sampai pada latar kesadaran bahwa tidak ada siapapun yang makan kecuali Aku memberinya makan. Bahwa tidak ada sesiapapun yang bergerak kecuali Aku meminjamkan gerak-Ku. Bahwa tidak ada yang ada serta ada yang tidak ada, kecuali Aku bermain-main ada dan tiada”
Tubuh Markesot bagaikan lumpuh tanpa tulang. Perlahan ia terjerembab ke bumi seperti sarung terjatuh dari jemuran. Tapi masih juga terdengar suara tertawa Markesot meskipun sangat lirih.
Ia dimarahi oleh Markesot yang lain yang biasanya lebih banyak diam. “Betapa dungunya kamu menanyakan apakah itu suara Tuhan. Betapa bodohnya kamu mengatur-atur Tuhan agar bersuara karena kamu meminta-Nya bersuara, itu pun dengan jenis suara yang kamu bisa mendengarnya. Alangkah dongoknya kamu merancang datangnya keajaiban Tuhan seolah-olah sedang mengatur ikat pinggang cambuknya melingkari punggung”
“Ah, ya jangan gitu-gitu amat lah….”, Markesot menjawab dirinya sendiri, “Boleh dong bermanja, memohon kemesraan barang secipratan, sekali-sekali saja….”
***
Antara Markesot yang satu dengan Markesot-Markesot lainnya di dalam diri Markesot memang selalu berlangsung perhubungan kasih sayang, tapi juga saling mengingatkan. Saling melindungi, tapi juga saling memaki, bahkan terkadang sampai tingkat menghina.
Ilmu Penghinaan Markesot sangat diterapkan kepada dirinya sendiri, sehingga tak tersisa lagi yang bisa dipakai untuk menghina orang lain. Bahkan kepada orang lain Markesot menyayangi sangat berlebihan, sementara kepada dirinya sendiri malah cenderung menindas.
Peluang eksistensi dan kejayaan hidup Markesot ditindas oleh Markesot sendiri. Ia memenjarakan dirinya di dalam batasan-batasan hidup yang sangat ketat. Ia tidak mengejar harta benda, kekuasaan, kemasyhuran, peluang-peluang sosial dan berbagai kemungkinan sukses keduniaan yang lain. Bahkan kalau semua peluang itu mendatanginya, Markesot hampir selalu berlari menghindar.
Sebenarnya mungkin ada baiknya dibukakan sedikit rahasia, agar semua orang yang terlanjur mengenal Markesot, tidak tertimbun oleh dosa-dosa karena menyalahpahaminya.
Markesot itu putra seorang tokoh besar. Tidak perlu diperjelas tokoh apa. Yang pasti sangat besar dan luas jasanya kepada kemanusiaan dan dialektika kasih sayang sosial di wilayah-wilayah yang dirambahnya. Sedemikian besar dan berjasa Bapaknya Markesot itu sehingga Markesot tidak berani menjadi siapapun, bahkan bersembunyi dari dirinya sendiri.
Terkadang Markesot memberi alasan kepada dirinya sendiri, “Jangan sampai kebesaran Bapakku tersaingi atau ditandingi oleh anaknya. Harus saya jaga kebesaran beliau, jangan sampai terusik oleh faktor apapun”
Tetapi diam-diam salah seorang Markesot sengaja mengganggu Markesot lainnya dengan mengejek, “Alasan utamanya bukan itu. Markesot takut menjadi dirinya sendiri itu semata-mata karena mengerti bahwa ia tidak memiliki kebesaran sebagaimana yang dimiliki Bapaknya”
Kadang-kadang memang terjadi perbantahan dan perdebatan antara sekian Markesot di dalam diri Markesot tentang hal itu.
Ada semacam premis takdir bahwa manusia yang memperoleh keistimewaan tingkat puncak dari Tuhan, biasanya tidak diberi anak, terutama lelaki. Putra-putra Kanjeng Nabi, misalnya Qosim, diambil Tuhan pada usia 2 tahun. Abdullah juga diambil ketika balita. Bahkan Ibrahim tak sampai 2 tahun usianya.
Kasihan mereka kalau dibiarkan hidup sampai besar, akan tersiksa oleh kehebatan Bapaknya, yang mereka tak akan pernah sanggup menandingi. Padahal masyarakat pasti punya naluri untuk menuntut mereka berkualitas hidup seperti Bapaknya.
Apalagi Bapak mereka itu Nabi, dan mereka bukan. Lebih parah lagi karena Kanjeng Nabi adalah Nabi Terakhir, sehingga tak mungkin putra-putra beliau punya peluang untuk menjadi Nabi.
Sedangkan Zainab, Ruqayyah dan Ummi Kultsum, yang toh bukan putra, bukan lelaki, itupun disayang Allah tidak boleh mengalami berbagai macam kemungkinan keadaan yang mungkin bisa sangat mengerikan sepeninggal Bapak mereka.
Hanya Fathimah az-Zahra`, seolah-olah menjadi “tumbal nasab”, bertugas untuk meneruskan akselerasi nasab Bapaknya. Dunia dan sejarah ummat manusia tidak mungkin dibiarkan berlangsung tanpa pengawalan para keturunan Kanjeng Nabi.
Ini bukan masalah kekuasaan suatu keluarga. Bukan soal trah dan darah. Tetapi sejarah harus punya satuan rohani di dalam mengingat dan melestarikan suatu nilai, yang diperlukan oleh seluruh ummat manusia. Sejarah membutuhkan semacam simbolisme atau pusaka batin. Meskipun sudah pasti di tengah jalan akan ada dan terjadi variabel-variabel di mana sejumlah orang keturunan Nabi tidak diakui oleh orang banyak. Sementara sangat banyak bukan keturunan Nabi mengaku sebagai keturunan Nabi, berbekal aksesori-aksesori budaya, dari olahan bentuk badan, jenis pakaian, modal sejumlah alat-alat bunyi yang menyuarakan Kitab Suci atau kisah-kisah mutiara Nabi.
***
Salah seorang Markesot nyeletuk: “Tetapi premis itu patah dan batal oleh kenyataan sejarah bahwa manusia emas Daud dianugerahi putra berlian Sulaiman, atau mutiara Ibrahim berputra intan Ismail dan Ishaq”
Markesot lainnya, “Saya juga tahu dong. Kan premisnya tidak hanya satu”