CakNun.com

Tujuh Jam Laylan Minal Makassar Ilal Mandar

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit
Bintang Prima
Bintang Prima. Foto: Adin.

Jika siang hari tadi Mas Gandhie sudah tiba duluan di Bandara Sultan Hasanuddin ini dari Jakarta, maka malam ini dari arah berbeda juga telah datang dua vokalis putri KiaiKanjeng: Mbak Nia dan Mbak Yuli. Mereka berdua terbang dari Surabaya menuju Makassar untuk bergabung dengan rombongan Rihlah Cammanallah. Pesawat yang ditumpanginya dari Surabaya tentu juga Rihlah “Air” yang lain.

Sesudah proses pemindahan alat ke bagasi bus selesai, rombongan segera menuju bis besar bernama Bintang Prima. Bis inilah yang akan mengantarkan Cak Nun dan KiaiKanjeng menuju Majene selama kurang lebih tujuh jam perjalanan. Mas Aslam dan kawan-kawan mengawal perjalanan malam hari ini. Tetapi sebelum meninggalkan Makassar rombongan akan mencari rumah makan terlebih dahulu buat makan malam.

Bis berhenti di rumah makan Sop Pangkep, sekian menit setelah melewati kampus UNHAS Makassar. Di sinilah sebuah ruangan kecil memanjang di lantai 2 telah menunggu. Di atas mejanya telah tersaji menu ikan bandeng pangkep dan sop. Lengkapnya adalah Bandeng bakar dan ikan bandeng Pallumara. Sedangkan sop-nya adalah sop kondro atau sop saudara.

Alhamdulillah, menikmati hidangan adalah bagian dari ‘wa la tansa nashibaka minad dun-ya’. Berposisi sekadar tidak lupa, bukan tujuan utama. Sop Saudara ini cukup kuat rasanya. Maklum bumbunya terkomposisi atas banyak unsur, di antaranya daun serei, bawang putih, merica, ketumbar, dan lada putih. Ikan bandengnya pun besar-besar. Yang telah disajikan di atas setiap piring kecil berwarna hijau itu adalah ukuran separuh ikan bandeng unggulan itu. Tentu saja ikan bandeng ini berasal dari Pangkep, yang sudah terkenal kualitas  bandeng, udang, dan kepitingnya di dunia.

Ternyata rumah makan ini adalah milik seorang haji asli Pangkep dan pada saat Safinatun Najah 2011 silam, Cak Nun beserta rombongan Maiyah dijamu di rumahnya di Pangkep dalam perjalanan menuju Mandar saat itu. Di rumah itu pula, tak hanya dihidang ikan-ikan laut Pangkep dengan dua petugas bakarnya yang selalu standby, tetapi juga Cak Nun diminta memberikan wejangan dan doa. Botol-botol air mereka serahkan di depan Cak Nun dan minta didoakan.

Sedianya saat makan malam ini, Cak Nun dan rombongan Rihlah Cammanallah ini akan bertemu dan silaturahmi dengan Pak Nadja (Nadjamuddin), salah seorang tokoh sepuh Muhammadiyyah Makassar, yang sudah lama bersahabat dengan Cak Nun. Di Makassar ini, Cak Nun punya cukup banyak sahabat dengan ragam latar belakang dan hampir semuanya adalah pentolan. Persahabatan yang sudah terbangun lama sejak Cak Nun muda mementaskan drama-dramanya maupun intensif berdiskusi, menemani para aktivis di kota ini.

Suatu hari, dua puluhan tahun lebih sejak saat itu, di sebuah kantor lembaga pemerintahan pusat di Jakarta, Cak Nun datang karena memenuhi undangan kawan lamanya. Sore sebelum acara, Cak Nun ketemuan dengan kawan lamanya yang sedang memegang suatu jabatan agak penting itu, berbincang laiknya dua kawan. Kemudian seorang tokoh muda yang sedang naik daun dan berpendar-pendar di layar politik nasional datang dan bergabung. Tetapi ia tak berani duduk dekat kedua orang kawan yang lagi asik ngobrol. Ia mengambil tempat di pojok walau tak jauh. Ia tidak berani melibatkan diri dalam obrolan. Ia lebih banyak diam, dan ndiluk. Anak muda yang sekaligus tokoh muda dan “vokalis” itu berasal dari Makassar. Si tokoh muda  sepertinya mengerti siapa sosok Cak Nun. Tak lain adalah guru dan sahabat dekat dari senior-senior dia, bahkan gurunya. Dari senior-seniornya, dia pasti mendengar dan melihat banyak hal tentang Cak Nun. Apalagi kalau dia juga mengerti hubungan Cak Nun dengan Mandar Sulawesi Barat dalam konteks genealogi Mandar di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi dan semesta spiritual di sini.

***

Pak Nadja belum bisa meninggalkan rumah karena baru saja pulih dari sakit dan butuh waktu untuk pemulihan kondisi. Melalui WA, Beliau menyampaikan pesan, “Mas Zaki, mohon maaf tdk sempat gabung jemput CN dan KK di Bandara krn masih recovery habis kena DBD. Salam jabat eratku pd CN dkk. Selamat dlm perjalanan ke Mandar sampai kembali ke Yogya, Aamiin. (NadjaM)”.

Sop Kondro
Sop Kondro. Foto: Adin.

Perjalanan tujuh jam ini akan mengurut kota atau daerah di jalur trans Sulawesi: Makassar, Pangkep, Maros, Barru, Pare-Pare, Polewali, dan Majene. Sebagian besar perjalanan ini menyisir pinggir laut, yang bila di siang hari akan tampak hamparan warna biru air lautnya. Sejak meninggalkan Makassar, pemandangan lebih banyak gelapnya. Hanya di beberapa titik masih tampak warung atau toko yang buka. Selebihnya rumah-rumah yang sudah tertutup, ruko-ruko juga demikian. Mobil-mobil di beberapa tempat terparkir istirahat. Colt-colt angkot pun demikian keadaannya.

Para penumpang bis Bintang Prima ini mulai tidur. Di luar kaca bis, memasuki kawasan daerah-daerah, bukan lagi pusat kecamatan atau kabupaten, tampak rumah-rumah panggung dari kayu, di antara rumah-rumah dinding tembok pada umumnya, juga semuanya sudah tertutup. Sepi. Hanya sebuah lampu menerangi teras atau bagian depan rumah-rumah itu. Para penghuninya mungkin sedang asik nonton tivi atau telah istirahat.

Mereka tentu tidak tahu, sebuah bis yang di depan-nya tertempel tulisan: Rombongan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kyai Kanjeng di Jazirah Mandar, tengah melintas di depan rumah-rumah mereka di antara bis-bis atau kendaraan lain yang juga lewat di jalan panjang trans Sulawesi ini. Aslinya juga tidak perlu dibuat tulisan demikian, sebab lebih asik tidak diketahui, dan untungnya ini malam hari, dan gelap. Di kegelapan malam seperti ini, terasa sekali bahwa hidup adalah Laylan, malam hari, seperti halnya Rasulullah mengalami israk dan mikraj di malam hari. Dalam peristiwa Isra Mikraj itu sepertinya Allah menitipkan makna khusus akan ‘malam hari’. Tujuh jam adalah juga durasi rata-rata Maiyahan reguler seperti Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta, dan Bangbang Wetan. Dan semuanya berlangsung di malam hari. Malam hari adalah gelap, dan karena gelap, siapapun yang menapaki kegelapan justru punya kans untuk mendapatkan terang.

Oh, bagaimana dengan Bunda Cammana? Tadi saat makan malam, Cak Nun dapat kabar bahwa Mas Khalid salah satu senior JM Mandar bertandang di rumah Bunda Cammana. Ia kirimkan foto beliau, dan dari foto itu Bunda tampak masih segar dan sehat selalu. Adakah malam ini Beliau tidak bisa tidur dengan jenak dan sering-sering terbangun karena hatinya diliputi rasa senang akan kedatangan tamu Rihlah Cammanallah ini? Bunda tidurlah malam ini dengan pulas, kami akan datang.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta