CakNun.com
Daur 169

TKI-1

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Semakin kita mengafir-ngafirkan Markesot, semakin ia menertawakan kita. Kalau kita cari-cari contoh untuk memuji kemusliman dia, semakin ia demonstrasikan tindakan-tindakan yang membatalkan pemusliman kita atasnya.

Semakin kita menafsir-nafsirkan Markesot, semakin parah ia berlaku dan berkata sesuatu yang semakin susah ditafsirkan. Semakin kita mempelajari Markesot, semakin pelik ia untuk dipelajari.

Semakin kita menyimpul-nyimpulkan Markesot, semakin ia balik kecenderungannya sehingga menjauhkan kita dari kebenaran. Kalau kita menyimpulkan Markesot sangat sehat, ia berlaku sakit. Kalau kita simpulkan ia sakit, ia overacting menunjukkan tingkat kesehatan melebihi orang lain.

Kalau kita simpulkan ia pandai, ia menyirami kita dengan kebodohan. Kalau kita simpulkan ia bodoh, ia lemparkan kita ke kegelapan untuk membuktikan bahwa kita tidak mampu memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan itu.

Kalau tetap ngeyel dan bermaksud mengikuti jejak perjalanan Markesot mencari Kiai Sudrun, mudah-mudahan di tengah jalan dicegat oleh Pangeran Sabranglangit dan diperingatkan:

“Kalau berjalan untuk mempelajari, balik sekarang. Kalau sekadar belajar dari, silakan terus”

Coba dulu belajar dari lirik lagu yang sering direngeng-rengengkan oleh Markesot dengan sangat buruk secara estetik-musikal. Daripada menambah tumpukan masalah di kepala, mending ditadabburi saja. Itu pun tanpa berharap jauh-jauh bahwa hasilnya adalah tambahan iman dan kedekatan kepada Tuhan.

Cukuplah sesudah mendengar syair itu muncul kegembiraan. Kalau tidak kegembiraan ya paling tidak terbit ketenangan. Kalau ketenangan masih terlalu mewah, minimal hadir situasi jiwa yang tidak terlalu galau, atau agak sedikit lebih menjauh dari keputusasaan.

Kalau harus menafsirkan syair lagu Markesot itu, assalamu’alaikum sajalah, pamit dan salam mesra untuk Markesot. Tiga huruf Qur`an Alim dan Lam dan Mim saja tidak ada ahli yang paling tinggi ilmunya sanggup menafsirkannya. Semua angkat tangan dan menyatakan “hanya Allah yang mengetahui maknanya”.

Iya lah. Wong Allah sendiri yang bikin susunan tiga huruf itu. Mosok Iblis punya kemungkinan untuk mencuri maknanya, sebagimana Iblis suka nyuri-nyuri nengok-nengok lembaran-lembaran Lauhul Mahfudh.

Iblis masih lumayan bisa mbalap waktu, melampaui rentangannya, juga mampu memadatkan ruang dan meringkas keluasannya, sehingga bagaikan Maling Cluring ngindhik buku besar Lauhul Mahfudh.

Lha manusia zaman sekarang memanjat pohon kelapa saja kakinya kram-krom-kram-krom krom-kram-krom-kram. Gitu kok sok memusuhi Iblis dan Setan. Mulutnya memekik-mekik anti Iblis dan Setan, padahal Iblis bertahta di dalam jiwanya dan Setan mengalir di darahnya.

***

Beberapa kalimat lirik lagu Markesot saja akan bisa menyebabkan perkelahian antara beberapa orang yang mendengarkannya. Itu kalau mereka berpretensi untuk menafsirkannya, memahami peta batin dan rangkaian muatan nilainya.

Silakan kalau mau bertengkar. Dengarkan lagunya yang menggelikan, baca kembali di memori otak kalimat-kalimatnya. Perlombakan kemampuan untuk menggambar rangkumannya. Pertandingkan kecerdasan untuk menemukan alurnya, kronologi muatannya, puzzling muatan-muatannya, konsistensi tematik dan disiplin kontekstualisasinya.

Kalau pertengkaran menjadi perkelahian kemudian ada rencana untuk memuncakinya dengan bunuh-bunuhan, maka datanglah ke Markesot dengan cara pandang akademis yang diperoleh dari Sekolahan. Satu kata dari mulut Markesot bisa menjadi landasan untuk bertengkar. Itu baru satu kata. Belum satu kalimat. Belum lagi seluruh alam pikiran dan semesta batinnya. Belum lagi jagat kehidupan Markesot.

Jangankan lagi Qur`an. Supaya hidup selamat, bertadabburlah. Di dalam tadabbur, mungkin diperlukan sedikit tafsir. Tapi kalau sudah coba menafsirkan, hendaklah dibatasi yang diperoleh itu adalah kebenaran penafsiran, belum tentu sama dengan kebenaran yang ditafsirkan.

Kalau ingin menyebarkan kerusakan di muka bumi, berkelilinglah memaksakan hasil penafsiranmu sebagai kebenaran mutlak di depan siapa saja. Terapkan hasil penafsiranmu sama dan sejajar dengan kebenaran Qur`an. Jangan biarkan ada orang yang berbeda dari kamu. Karena kamu merasa bahwa kalau berbeda dari kamu berarti menentang Qur`an. Kalau menentang Qur`an berarti mendurhakai Tuhan. Dan kalau mendurhakai Tuhan berarti masuk neraka.

Kalau ingin merusak silaturahmi sosial di bebrayan masyarakat, kalau ingin ummatmu terpecah belah, kalau ingin bangsamu saling menghancurkan satu sama lain, datanglah kepada mereka untuk memaksakan hasil-hasil penafsiranmu. Paksa setiap orang untuk meyakini bahwa setiap produk tafsirmu adalah kebenaran sejati sebagaimana firman Tuhan.

Tapi kalau takut bertengkar, tidak berani berkelahi dan ngeri untuk bunuh-membunuh, maka berdaulatlah kepada Markesot.

***

Lho kok berdaulat kepada Markesot.

Ya. Kan sudah disentuh soal itu berulang-ulang. Tapi mungkin tetap saja tidak benar-benar diperhatikan. Berdaulat kepada Markesot sebagai bagian dari pembelajaran kedaulatan. Setelah itu satu persatu dan semua yang lain, kecuali kepada yang justru berdaulat atasmu. Tuhan namanya.

Berdaulat kepada Markesot itu ekstremnya “bunuh Markesot di dalam dirimu”. Silakan mendengarkan omongannya, tapi jangan melakukan apapun karena mengikutinya. Silakan menghayati hidupnya dan menggali segala sesuatu darinya, tetapi jangan melangkah ke manapun dan untuk apapun kalau dasarnya adalah mematuhinya. Bodoh, memalukan dan menggelikan kalau ada orang kok taatnya kepada Markesot. Si Sarpon itu, umpamanya, bukan taat, tapi setia.

Berdasarkan susastra dan retorika ayat di Kitab Suci, yang mutlak harus ditaati, pantas, tepat dan mumpuni untuk dipatuhi, hanya Tuhan dan Utusan-Nya. Yang lain, Wali, Maulana, Syeikh, Mursyid, Ulama, Kiai, Panembahan, Begawan, Brahma, Santo Santa dan sebagainya, relatif posisinya untuk ditaati atau tidak.

Kalaupun di antara beliau-beliau itu ada yang ditaati, sebenarnya itu jalur ketaatan saja. Pangkal subjek yang sejatinya ditaati ya Tuhan dan Utusan-Nya itu. Bahkanpun kedua orang tua, perintah Tuhan kepada anak-anak adalah “berbuat baik” saja. Apalagi ustadz, tak ada kaitan apapun dengan ketaatan.

Lebih-lebih presiden atau menteri-menteri dan para pejabat, mereka justru wajib taat kepada undang-undang negara. Mereka digaji untuk itu. undang-undang adalah tulang punggung kedaulatan rakyat. Hakikinya presiden dengan seluruh jajaran kepemerintahannya berposisi wajib taat kepada rakyat. Sebab rakyat yang pegang sertifikat hakiki kepemilikan Tanah Air yang di atasnya didirikan bangunan negara.

Presiden adalah buruhnya negara, bukan kepala negara. Kalau presiden adalah kepala pemerintahan: masih masuk akal dan proporsional. Kalau pakai istilah sekarang, presiden adalah TKI-1, tenaga kerja Indonesia nomor urut satu. Bukankah Markesot sudah sejak lama menguraikan konteks ini, misalnya pemerintah bukan negara, pegawai negara bukan pegawai negeri, tidak ada bawahan patuh kepada atasan, karena yang atas maupun yang bawah berposisi sama untuk patuh kepada undang-undang?

***

Nah, berdaulat kepada Markesot adalah jangan ditelan mentah-mentah uraiannya tentang negara dan pemerintah ini. Jangan membabi-buta percaya dan ngikut dia. Ambil jarak intelektual dulu, siapkan kejujuran akal dan kebersihan hati. Ajak teman-teman pelan-pelan berdiskusi tentang itu.

Kalau menurut kalian itu salah, tak usah berjuang mengubahnya. Kalau itu benar, jangan tidak berjuang.

Lainnya

Topik