Tingkatkan Kasih Sayang Kepada Rakyat Indonesia
Tiang bendera merah putih yang berada tepat di depan panggung itu bagi Cak Nun mengisyaratkan arti bahwa acara malam ini bukan milik satu agama tertentu, melainkan milik semua pemeluk agama, yaitu milik orang Indonesia. Bahwa titik berat acara ini adalah rumah besar NKRI. Untuk meneguhkan hal itu, Cak Nun mengajak semua hadirin berdiri bersama mengawali pertemuan ini dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu nasional Syukur.
Tiang bendera itu lambang bahwa kita harus menjaga martabat bangsa, nyawa bangsa, dan harta benda bangsa kita. “Jika pun NKRI belum tertata, Boyolali harus tertata dan seimbang. Boyolali tak boleh terganggu oleh apapun dari luar Boyolali,” pesan Cak Nun. Untuk mengantarkan pemahaman akan NKRI ini, Cak Nun kembali mengulas mengenai salah mongso sebagaimana diuraikan di alun-alun Tuban tadi malam. Alam tak pernah salah, dan bila salah mongso itu terjadi dan Allah yang membuatnya, tidak lantas kita bisa mengatakan Allah salah, tetapi Allah sedang memberikan hidayah atau petunjuk mengenai perilaku manusia. Ada yang salah pada manusia. Ada yang tak seimbang, tak tepat pada waktu atau posisinya, dan bahwa yang terjadi adalah kemiringan, ketidaktegakan, dan ketidakseimbangan.
Tema tepa selira ini ternyata berada paralel dengan konteks kondisi yang sedang berlangsung di Jakarta, yaitu ketidakseimbangan. Tetapi sebelum menguraikan hal itu, Cak Nun membekali masyarakat dengan pemahaman dasar, yaitu posisi tanah air di dalam urutan kesadaran manusia. Hal yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa tanah air Indonesia adalah rumah besar, dan agama adalah nilai yang berfungsi bagi penghuni rumah itu untuk membangun rumahnya. Menjadi warga Boyolali adalah kenyataan yang sudah ditetapkan terjadi pada orang-orang yang lahir di Boyolali dan itu adalah syariat Allah.
Saat Kapolres Boyolali usai menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat, Cak Nun merespons dengan menyampaikan update informasi dari Jakarta terkait perkembangan proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta, tentang rencana Shalat Jumat di jalan Protokol Jakarta dengan dimensi-dimensinya. Menurut Cak Nun rencana itu insyaAllah tidak akan terjadi karena akan dipusatkan di Monas. Dan bahwa prinsip pentingnya adalah tidak boleh kita hanya berpedoman pada hukum fikih saja dalam menilai sesuatu, tetapi terutama pada hukum pertimbangan mudarat-maslahat sosial.
Juga bahwa tegangan yang berlangsung di Jakarta itu bukan sekadar ada fakta kemarahan sebagian kecil umat Islam yang menuntut Ahok dipenjarakan. Tetapi ada aspirasi di belakangnya yaitu penjarakan Ahok, turunkan JKW, gelar Sidang Istimewa MPR, kembalikan UUD kepada aslinya, dan mendirikan pemerintahan sementara. “Jangan bilang itu salah, sebab mungkin ada benarnya, tetapi mungkin caranya yang berbeda. Ada banyak pasal-pasal yang bertentangan UUD 1945, terutama pasal-pasal amandemen. Yakni pasal-pasal yang bertentangan dengan tiang pancang kedaulatan NKRI. Harus tidak dibiarkan masuknya tenaga-tenaga kerja Cina di tengah justru banyak warga negara sendiri yang butuh pekerjaan…,” papar Cak Nun coba mengurai salah satu sisi kompleks persoalan yang terjadi di Jakarta sekaligus memberi contoh ihwal tepa selira.
Karena itu, Cak Nun meminta agar pemerintah Boyolali memastikan tanah-tanah Boyolali adalah milik Boyolali, warganya terpenuhi kebutuhannya akan pekerjaan, dan ketika ada kesenjangan harus segera diiisi dan diatasi. Cak Nun juga menceritakan kepada Kapolres bahwa beberapa waktu lalu beliau diundang dalam rapat intelkom polisi di Jakarta yang dihadiri kepala intel kepolisian se-Indonesia, dan di sana salah satu yang disampaikannya adalah harapan agar para polisi meningkatkan kasih sayang kepada rakyat atau masyarakat. Malam ini, hal yang sama Cak Nun mintakan lagi kepada Kapolres Boyolali untuk mengayomi dan meningkatkan rasa sayang kepada rakyat Boyolali, sebab rakyat Indonesia inilah yang menjadikan Allah menahan Indonesia tidak jebol dan hancur. (hm/adn)