Tidak Ada Aku Di Mushalla Imam Lapeo
Sembari menyerahkan badan untuk sejenak dibelai oleh hembusan angin laut di hari pertama tiba di Mandar, KiaiKanjeng dan rombongan lainnya menikmati suasana istirahat dengan bercengkerama. Dan sebagian mulai menyimak kisah atau peristiwa yang dialami Cak Nun dahulu awal sekali berada di Mandar dan ketika masih muda.
Seperti sudah diketahui, di tanah Mandar ini terdapat seorang waliyullah bernama Imam Lapeo. Ikatan cinta, ketulusan, kesetiaan, ketaatan, dan kepercayaan kepada Imam Lapeo oleh masyarakat Mandar, telah menciptakan hubungan khusus antara langit dan bumi di batas wilayah Mandar. Semacam lokalitas spiritual yang hanya dapat dipahami, dialami, dan dirasakan oleh orang-orang di sini. Telah banyak pula kisah-kisah mengenai “karomah” atau ketidaklaziman yang berlangsung di bingkai itu.
Salah satunya yang amat populer adalah cerita ini. Suatu hari, masjid besar Imam Lapeo tengah melakukan renovasi. Dibutuhkan sangat banyak biaya dan material untuk itu. Sebuah truk membawa semen sangat banyak datang ke masjid. Orang-orang atau panitia pembangunan kaget karena merasa tidak pernah memesan semen, apalagi sebanyak itu, kepada orang yang datang itu. Ditanya-tanya ke siapapun tetap juga tak ketemu siapa orangnya. Hingga pada satu titik, orang itu melihat foto Imam Lapeo. “Nah, ini ini yang pesan semen yang datang ke toko kami.” Ketahuilah, padahal Imam Lapeo sudah sangat lama meninggal dunia. Bagaimana mungkin bisa memesan semen.
Di dusunnya, Imam Lapeo punya mushalla kecil. Berdasarkan pengalaman, masyarakat meyakini bahwa untuk bisa jenak dan bertahan lama berada di dalam mushalla itu seseorang harus mempunyai kondisi spiritual yang baik dan bersih. Kalau tidak, dia akan mengalami kejadian macam-macam yang mungkin mengerikan, seram, dan bikin tidak kuat duduk-duduk lama di dalamnya.
Ketika itu awal kali sosok pemuda yang kemudian dianggap guru itu datang di Mandar. Oleh dua orang temannya yang asli Mandar, pemuda guru itu diajak ziarah ke mushalla Imam Lapeo itu. Entah apa yang dipikirkannya, dua orang itu malah tidak berani masuk ke dalam, dan membiarkan pemuda itu seorang diri pelan-pelan memasuki ruangan yang singup itu. Pemuda ini bukan tidak tahu keramat yang mengitari mushalla ini.
Ia hanya berbekal logika sederhana. Perlahan-lahan dimasukinya ruangan itu. Memang lain roso-nya. Kemudian duduk. Diam, dan mulai berdzikir dan berkata dalam hati. “Wahai Imam, kalau memang aku harus terkena atau mengalami apa-apa seperti dikatakan banyak orang itu, apalah untungnya bagimu? Aku tidak penting dan sebenarnya tidak ada.” Lalu, ia berdzikir La Ilaha Illalllah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Semakin intens ia memasuki La Ilaha Illallah. Dan puncaknya hanya tersisa La La La La. Tidak ada, tidak ada, tidak ada, tidak ada. Tidak ada aku.
Pemuda itu masuk ke dalam ketiadaan, sehingga tidak bisa terkenai apa-apa. Namanya juga tidak ada, bagaimana bisa terkenai. Hawa berubah, menjadi sejuk, seperti ada hamparan hijau di depannya, nyamuk-nyamuk di sekitarnya hanya berputar-putar tanpa menyentuhnya sedikit pun. Dua jam lamanya ia duduk di situ, sedang dua teman lainnya menunggu di luar, terheran-heran kok lama dan kuat sekali kawannya berada di tempat yang tak setiap orang berani memasukinya.
Menjelang subuh ia meninggalkan tempat itu, dan bersama dua kawannya bergerak menuju masjid sang Imam yang berada di luar dusun tempat mushalla itu berada. Setibanya di masjid, ia masuk dan menunggu waktu shalat subuh. Orang-orang di situ berpandang-pandangan, sambil melirik pemuda itu, dan berkata-kata di antara mereka, “Ini dia orangnya…ini dia orangnya…ini dia orangnya yang menegakkan menara miring masjid Imam Lapeo.” Mereka saling mencocokkan petunjuk yang mereka miliki satu sama lain.
Sang pemuda tidak merespons bagaimana-bagaimana. Ia menjalankan shalat subuh berjamaah di antara jamaah-jamaah lainnya.