Tiba di Pangkalpinang
Perjalanan penerbangan Yogyakarta-Jakarta-Pangkalpinang alhamdulillah berjalan lancar. Cuaca terang menyertai perjalanan sejak dari Jogja. Kuranglebih pukul 14.45, pesawat yang membawa rombongan KiaiKanjeng mendarat di Bandara Depati Amir Pangkalpinang.
Pada ketinggian di mana permukaan bumi mulai tampak jelas, hamparan hijau memapar di depan mata, Mas Jamal sang redaktur, bergumam, “Pulau Bangka ini kayaknya lebih luas dari Hong Kong. Pasti lebih luas dari Singapura. Itu tu cekungan bekas penambangan timah. Nah di rawa-rawa itu pasti masih banyak buaya,” terus-menerus ia membaca bak mengingat pelajaran IPA. Tetapi gumam dia yang mungkin perlu diketahui adalah, “Saya masih ingat tahun 80-an, naik pesawat itu boleh merokok. Di sisi kursi ada asbaknya.”
Menunggu beberapa saat dari landing dan sampai di area penjemputan, rombongan KiaiKanjeng segera menuju rumah makan untuk makan siang. Sepanjang perjalanan menuju restoran, terlihat di beberapa pintu gang di tepi jalan spanduk-spanduk yang mengajak masyarakat hadir dalam rangkaian acara Festival Gerhana Matahari Total.
Di restoran ini, tepatnya di lantai 2, meja panjang dengan piring-piring kosong yang telah tertata sudah menanti KiaiKanjeng. Cara restoran menyajikan hidangan bukan dengan menanyakan ke pengunjung mau makan apa, tetapi satu per satu piring-piring yang berisi bermacam-macam menu disajikan sampai meja yang panjang itu penuh.
KiaiKanjeng menikmati makan siang itu, tetapi tetap saja kepolosannya mengusik hatinya. “Ini nanti ngitung-nya gimana ya? Ini dulu asal-usulnya berasal dari budaya ataukah kapitalisme?”. KiaiKanjeng oh KiaiKanjeng, bagaikan tak familiar dengan perkembangan zaman.
Selain penasaran soal makan, salah seorang warga KiaiKanjeng malah punya misi khusus pingin dapat batu mutiara embun dan satam.
Lepas makan siang, rombongan segera menuju hotel untuk istirahat di sore hari.