CakNun.com
Daur 1158

Tanpa Ilmu Kemerdekaan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit
Ta’qid“Mereka mengira Bumi adalah sesuatu yang lain di luar Langit. Mereka berpikiran bahwa “Akhirat” dan “Langit” adalah nama suatu benda yang tidak di Bumi dan tidak di Dunia”

Manusia sangat mengagung-agungkan kemerdekaan.

Jagat besarnya disebut kemerdekaan, jagat kecilnya, yang berlaku individual, subjektif dan pragmatis, disebut kebebasan. Manusia mengerek bendera universal dengan jargon “kemerdekaan universal”, “kemerdekaan manusia dan kemanusiaan”. Kemudian menerapkannya untuk “kebebasan personal” dalam perilaku sehari-hari.

Manusia sangat akrab dan posesif terhadap kemerdekaan dan kebebasan, melebihi kedekatannya dengan Tuhan atau siapapun dan apapun — yang mereka tidak tahu — bahwa sesungguhnya hal itu lebih mereka butuhkan secara objektif.

Manusia menyangka ia sanggup menjalani kemerdekaan. Manusia mengira kemerdekaan dan kebebasan adalah jalan yang mereka mampu menempuhnya. Bahkan manusia berpikiran bahwa mereka bisa memakan kemerdekaan, menelan kebebasan, serta mengenyamnya sebagai kenikmatan utama hidupnya.

Sedemikian rupa sehingga kebanyakan ummat manusia mendewa-dewakan dan bahkan menuhankan kemerdekaan dan kebebasan.

Tidak ada sekolahan, universitas, kelas-kelas pembelajaran, buku-buku, filsafat, ajaran atau pengajian, kursus atau ruang pencerahan, bilik tarekat atau kantor konsultasi – yang memberitahukan kepada manusia bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanyalah cakrawala. Ia bukan semesta yang riil. Ia hanya energi untuk dikelola demi menemukan tahapan-tahapan batas.

Ummat manusia berumah di batas-batas. Bertempat tinggal di ruang-ruang yang harus mereka ukur dan untuk itu mereka harus mendirikan tembok-tembok. Ummat manusia survive dalam ukuran, dan ukuran adalah batas.

Sebesar salah sangka mereka terhadap kemerdekaan dan kebebasan, sebesar itu pula kehancuran dan kematian menghentikan langkah mereka. Sejauh kebodohan dan kebutaan mereka terhadap kebutuhan absolut mereka terhadap ukuran dan batas, sejauh itu pula usia kebudayaan dan peradaban mereka.

Ketidakterdidikan mereka terhadap Ilmu Kemerdekaan, yang membuat mereka lebih berkonsentrasi pada “bebas” dan bukan pada “batas”, membuat mereka berpeluang hidup hanya sejenak, dan berakhir pada kematian jasad. Manusia yang tidak memahami Ilmu Kemerdekaan, menjalani dan mengelola hidupnya dalam perhitungan atau manajemen yang halaman terakhirnya adalah maut.

Kuburan adalah tutup buku. Makam adalah turnamen yang berakhir. Nisan adalah kenangan. Dan kenangan adalah masa silam. Jika makhluk Tuhan mengakhiri perjalanannya pada nisan masa silam, begitu mati ia tidak lagi memiliki masa kini, apalagi masa depan.

Bahkan orang yang merasa dirinya sedang memeluk dan menjalani Agama, umumnya menyangka Dunia adalah satu hal, sementara Akhirat adalah lain hal. Mereka menyimpulkan bahwa sesudah dunia ada akhirat, tetapi hidup yang mereka jalani adalah Dunia. Ia tidak pernah mempelajari Dunia dan Akhirat sebagai sebuah kesatuan. Mereka melangkahkan kaki dalam “sebelum” dan “sesudah”. Tidak pernah bersentuhan dengan nuansa bahwa seluruhnya ini sesungguhnya adalah “sekarang”.

Mereka menyangka Dunia bukan sekadar bagian sangat kecil dari Akhirat. Mereka menyangka sedang hidup di Bumi sementara di sana ada Langit. Mereka mengira Bumi adalah sesuatu yang lain di luar Langit. Mereka berpikiran bahwa “Akhirat” dan “Langit” adalah nama suatu benda yang tidak di Bumi dan tidak di Dunia.

Penemuan-penemuan dahsyat semesta IT juga tidak mereka gunakan sama sekali untuk mempelajari itu semua. Mereka tidak tahu apakah “rohani” dan “software” itu dua hal atau satu hal. Mereka tidak punya kelas pembelajaran untuk mencoba menarik garis di antara keduanya itu, agar menemukan bahwa garis itu ternyata hanya maya, hanya amsal agar “ada” memahami “tiada”, serta agar “tiada” memahami “ada”.

Ummat manusia terlalu mantap dengan pencapaian peradaban mutakhirnya, yang mereka banggakan sebagai Revolusi Industri ke-IV, dengan gelimang kemewahan “maharaja IT”, tanpa pernah mendayagunakan pencapaiannya itu sebagai “thariq”, “shirath”, “syari’” untuk menuju sesuatu yang sesungguhnya dibutuhkan secara hakiki oleh perjalanan kemanusiaannya.

Mereka menyangka mereka benar-benar “manusia”, sehingga mereka tidak tahu bahwa “Maha Asal-Usul Manusia” sedang menantikan mereka dengan cinta, kemurahan dan kedermawanan.

Lainnya

Menuju Bangsa tanpa Sastra

Menuju Bangsa tanpa Sastra

Dengan judul ini, tak pelak akan menggugah pergulatan wacana dalam mencari makna.

Ashadi Siregar
Bang Hadi

Topik