Tangis Haru “One More Night”
“Kiai Zar dulu pernah mengatakan, aku tidak memberi kalian ilmu, tapi hanya cara dan alat untuk mencari ilmu,” ujar Cak Nun. “Jadi kita harus berjihad dan berijtihad, menjadi mujtahidun, menjadi mujahid, karena telah diberi kail oleh Kyai Zar, bukan ikan.” Untuk itu KiaiKanjeng memberikan hadiah untuk menghargai Gontor, sebuah lagu. Dengan memegang kunci dari Kyai Zar itu, Cak Nun dan KiaiKanjeng selalu berijtihad dalam bermusik. Ijtihad itu tidak hanya di bidang keagamaan saja, melainkan di semua lini kehidupan. KiaiKanjeng yakin, lambat atau cepat, bahwa suatu saat masyarakat Nusantara ini akan menjadi mercusuar dunia, karena hanya kita yang bisa menyebarkan cahaya selengkap yang dibutuhkan dunia. Bukan karena apa, namun karena usia bangsa dan kebudayaan kita sudah sangat tua sehingga memiliki khazanah yang luar biasa.
Karena banyak dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang belum mengenal Kiaikanjeng, maka Cak Nun sedikit menginformasikan bahwa yang disebut dengan KiaiKanjeng itu adalah gamelannya, bukan grup musiknya. Bunyinya Jawa, tetapi notasinya ijtihad. Ijtihad ini diperlukan agar gamelan bisa menampung notasi Barat, Arab Klasik, Cina, Afrika dan segala macam. Contoh bentuk ijtihad dalam bermusik yang memangku dunia ini pun dipersembahkan kali ini, yakni nomor One More Night milik Maroon 5.
Gamelan mengalun membuka awal lagu. KH. Hasan mencoba mencerna ke mana arah notasinya. Tiba mas Doni mulai menyanyikan lagunya. KH. Hasan memandang sang vokalis, menyimak dengan senyum takjub sangat lebar. Aransemen diperkaya kombinasi tepukan tangan kemudian gebukan drum yang menghentak. Tak terasa, seketika air mata KH. Hasan menetes. Beliau terharu akan ijtihad KiaiKanjeng. Roso seni dan insting musiknya tersentuh. Hampir separuh lagu ia menangis haru. Cak Nun yang berada di samping kirinya merangkul, mengusap pundak dan punggung beliau. Pun Cak Tholib di samping kanannya ikut menenangkan. Sang kiai seniman tertunduk menyeka air matanya. Dalam tangisnya, sesekali beliau berbincang dengan Cak Nun dan Cak Tholib menyampaikan keharuannya, kebanggaannya, kok bisa-bisanya KiaiKanjeng membuat sesuatu yang indah ini.
Terpancar jelas haru bahagia dari wajah KH. Hasan sembari menikmati rentetan permainan solo personel KiaiKanjeng, yang diawali mas Bayu dengan Bonang-nya. Disambung pak Nevi yang sangat enerjik nuthuk Demung di hadapannya. Kemudian tiupan lembut Seruling pak Is. KH. Hasan memberikan applause salut mendengar itu. Dilanjut Keyboard pak Bobit Santoso yang disambut gesekan Biola mas Blothong. Permainan solo ditutup melodi rock dari gitar mas Joko SP ditemani betotan Bass mas Yoyok dan gebukan drum mas Adit yang menderu..
Setelah rock yang kencang, sejurus kemudian musik tiba-tiba melambat. Dirajut nyanyian Cublak-Cublak Suweng dan Gundul Pacul oleh mas Jijiet, KH. Hasan masih dalam harunya, bertepuk tangan dan meraih mikrofon ikut menyanyikan dua lagu anak-anak ini. Ini sebuah peristiwa yang baru dan indah. Biasanya, ketika mendengar aransemen One More Night oleh KiaiKanjeng ini, para hadirin terkesima, berdecak kagum, terpesona heran, tapi tidak ada yang menangis haru. Beliau KH. Hasan Abdullah Sahal yang seniman, seorang pemain gitar, memberi penghargaan tulus melalui tangis harunya atas ijtihad KiaiKanjeng.
Seperti biasa, persambungan lagu Maroon 5 adalah Beban Kasih Asmara dari M. Mashabi. Ketika mas Imam Fatawi melantunkan lirik pembuka lagu ini, KH. Hasan membuka buku kumpulan lirik lagu milik KiaiKanjeng. Beliau mencari lirik lagu ini. Melihat hal itu, Cak Nun membantu mencarikan liriknya. Masih dalam suasana haru yang memberikan KH. Hasan spirit, beliau pun menyanyikan lagu melayu ini didampingi mas Imam.
Kemesraan yang sangat kental yang terbangun sejak awal, memantik semangat hadirin terutama dalam suasana lagu melayu kali ini. Spontan beberapa hadirin di bagian belakang, bapak-bapak yang sudah tidak muda lagi fisiknya, berdiri dan berjoget. Tidak tahan juga para Abu Sittin ini bila sebuah dendang melayu tidak dibumbui oleh joget. Yang berdiri joget melihat temannya yang masih duduk agak malu-malu ingin ikut, langsung menariknya berdiri. Karena tahu, saat muda di Gontor dulu mereka suka berjoget.
Usai lantunan Beban Kasih Asmara, Cak Nun memberikan credit atas lagu ini yang adalah buah karya orang Tanah Abang. Ini untuk menghargai semua pencipta lagu-lagu yang luar biasa, karena masyarakat sekarang sudah tidak menghargai karya leluhur-leluhur mereka, bapak-bapak mereka. Tidak mengerti siapa pencipta Sholawat Badar yang orang Banyuwangi. Tidak tahu siapa pencipta Burdah. Mereka makan tanpa al-Fatihah kepada para penciptanya. Maka untuk menghargai M. Mashabi, sekaligus menjadi kenangan masa-masa tahun 60-an, KiaiKanjeng mempersembahkan lagu Untukmu Bungaku, yang sering didengar di Gontor dulu, yang kali ini tetap dinyanyikan KH. Hasan dengan semangat, hingga tuntas.
Selesai menyanyikan Untukmu Bungaku, KH. Hasan bernostalgia masa-masa itu ketika lagu ini sering didendangkan. Beliau menyampaikan keheranannya, “Kok bisa-bisanya mereka masih menyimpan lagu-lagu ini.” Demikianlah KiaiKanjeng yang tidak bertujuan menjadi artis, melainkan diperjalankan Allah dengan mengingat apa yang dilupakan orang, mengambil apa yang dibuang orang, meninggikan apa yang direndahkan orang, menghormati yang sudah tidak dihargai orang, memuliakan yang disingkirkan orang. Bahkan Pak Nevi, pimpinan KiaiKanjeng, masih hafal lagu pemilihan walikota Yogyakarta tahun 1968.
Kemesraan: Isyq Horizontal dan Vertikal
Kemesraan demi kemesraan berlanjut menyejukkan suasana di dalam ketika panas terik menyengat di luar. Waktu dua jam karena terbatas check out dari hotel menjadi sangat kurang. Cak Nun menawar agar diberi keloggaran sedikit agar puncak kemesraan ini bisa klimaks meskipun sedikit melewati batas waktu ceck out, dan pihak hotel pun tidak masalah. Kini giliran Bapak Tom Badawi diminta maju, dan beliau kemudian memanggil satu persatu sahabat-sahabat Cak Nun yang pernah satu kelas dulu. Seperti Prof. Siswanto, Masruki Kurdi, Ghozali, Humam Iskandar, Fatkhurrohim Sobri, Nur Badr. Selain itu juga kakak kelas mereka seperti Daud Suwarno dan Saiful Ahmad. Juga adik kelas mereka yakni Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga dua periode (2001-2010).
Dipimpin Bapak Tom Badawi, mereka di depan menyanyikan sebuah nomor dari Koes Plus, Why Do You Love Me. Walaupun tidak semua hafal liriknya, namun mengalir lancar dan asyik hingga tuntas. Melihat keasyikan itu, tatkala Bapak Tom Badawi menyerahkan mikrofon kepada Cak Nun dan akan kembali duduk, Cak Nun mencegahnya dan “memaksa” mereka untuk tetap berdiri. Didampingi mas Doni, para Al Mutahaabbiina Fillah ini pun menyanyikan lagu “Kemesraan”. Semua bernyanyi tak terkecuali yang duduk, suasana benar-benar mesra siang itu. Maka usai bernyanyi bersama, mereka berangkulan, para Abu Sittin ini, memuncaki kebersamaan siang itu. Inilah titik Isyq. Asyik. Tapi isyq ini barulah isyq horisontal, maka Maiyah harus membawanya kepada isyq vertikal. Karena kemesraan yang sejati ialah kemesraan bersama Allah dan untuk Allah semata.
Antiklimaks menuju penutup, Ustadz Dawam yang memiliki Pondok Pesantren Muhammadiyah di Lamongan yang juga seorang penyair, membawakan puisi karya beliau. Terlebih dahulu memberikan hormat kepada guru puisi beliau, yakni Cak Nun dan KH. Hasan. Puisi itu berjudul “90 Tahun Usia Gontor.” Selain romantisme Gontor, Ustadz Dawam juga menyinggung sedikit tentang kondisi bangsa yang mencemaskan dalam puisinya.
Terkait kondisi terkini bangsa, Cak Nun menguatkan bahwa kita harus berada pada posisi ‘laa khaufun alaihim walahum yahzanun’, kita tidak mungkin dalam posisi kalah maupun mengalah pada posisi yang tidak seharusnya. Juga agar tidak terpaku pada peluru kecil, tapi perhatikan senapan dan yang menembakkannya, sebuah sindikasi besar yang menguasai modal dan media. “Kalau Allah mengatakan, Inna nahnu nazzalna-dz-dzikra wa inna lahu lahafidzun. Kata Cak Fuad, berdasarkan tafsir disepakati adz-dzikra itu adalah Al Qur’an, jadi jika Al Qur`an saja dijaga Allah, masak orang yang mencintai Al Qur`an tidak dijaga,” Cak Nun menambahkan.
Ditambahkan pula sebagai penguatan, yakni khazanah Pancasila sebagai sebuah urutan langkah dengan tujuannya adalah sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Tampaknya para hadirin Abu Sittin ini baru pertama kali mendengar sudut pandang baru dari Maiyah mengenai Pancasila ini. Oleh sebab itu mereka terlihat serius menyimak paparan singkat Cak Nun. Jika ditarik ke belakang berurutan, maka tidak terwujudnya sila kelima di nusantara ini karena sila pertamanya, atau Tauhidnya memang tidak benar. “Orang sekarang sibuk mencari dunia. Di dunia kok mencari dunia. Kalau di dunia ya mencari akhirat. Kalau di akhirat baru mencari dunia.” Demikian Cak Nun sedikit menggelitik pikiran hadirin yang disambut tawa sadar dan tepuk tangan seakan mereka mengatakan, “O iya ya.”
Kyai Muzammil yang anaknya sudah lima tahuun dipondokkan di Gontor 3, turut hadir siang itu. Ia berkomentar bahwa Gontor itu hebat bisa melahirkan tokoh-tokoh hebat. Bisa memiliki “alumni” seperti Cak Nun yang bisa menembus langit dan bumi dan bisa menggabungkan keduanya. Yang bisa menembus kaum abangan, bisa menembus para santri dan para kyai. Ketika di Gontor saat mengantar anaknya mondok, Kyai Muzammil selalu mendengar syair Abu Nawas setiap akan sholat. Kyai Muzammil berujar, “Kenapa Ilaahilas itu ya yang dibaca, padahal banyak bacaan lain. Mungkin itu lah yang menyebabkan lulusan Gontor bisa hebat-hebat, seperti Cak Nun salah satunya.”
Kerinduan tidak pernah ada ujungnya, perjumpaan ini terasa singkat dan selalu saja kurang waktu. Terasa sulit mengakhiri. Sebagaimana surga yang abada. Begitulah pada dasarnya cinta, ia tidak pernah ada akhirnya. Mungkin bukan kebersamaan jasadiyah, tapi rohaniyahnya. Sebelum menutup pertemuan kali ini, karena di awal KH. Hasan membuka dengan lagu Tanah Airku Indonesia, maka beliau diminta memimpin lagu Syukur karya Habib Muntahar, dan dilanjutkan beliau memimpin do’a.
KiaiKanjeng bukan seperti grup musik umumya, yang pergi meninggalkan lokasi terlebih dulu, di saat hadirin masih memenuhi tempat acara. KiaiKanjeng selalu pergi paling terakhir, tatkala para hadirin sudah pulang. Di akhir setiap maiyahan, KiaiKanjeng mengiringi prosesi salam-salaman di antara jamaah dengan yang berada di panggung. Pun kali ini, KiaiKanjeng menjaga aura kemesraan ini agar bisa dibawa kembali ke kediaman masing-masing, dengan membawakan nomor Tombo Ati bersama Pak Achwan Pribadi. Cinta sesama alumni Gontor akan dilanjutkan sampai anak cucu. (Ahmad Jamaluddin Jufri)
Yogyakarta, 5 Mei 2016