Takkan Sampai Ke Muara
Tahqiq“...Kebaikan-kebaikan menghasilkan pertengkaran. Kewajaran-kewajaran memproduksi permusuhan. Inisiatif-inisiatif kebersamaan menghasilkan kebencian....”
Bahtera Nuh Abad 21 tidak akan sampai ke muara takdir bakunya, sebab bocor-bocor di tengah perjalanannya di atas banjir bandang. Oleng dan goyang-goyang. Bahkan mungkin haluannya mobat-mabit ke berbagai arah yang tak menentu. Sebab kemudi diperebutkan oleh banyak munafiqin yang merasa dan mengaku diri mereka mu`minun muslimin. Semua merasa benar, dan berebut.
Sesungguhnya masing-masing tidaklah menumpang Perahu Nuh, melainkan menaiki kapal nafsunya sendiri-sendiri. Di dalam nafsu itu termuat bermacam-macam api dan sekam. Ambisi eksistensi, gejolak untuk unggul atas lainnya, memastikan pegang kendali kapal karena mengincar seluruh harta benda di kapal itu maupun aset-aset ketika nanti kapal berlabuh di daratan nasib.
Perahu Nuh Abad 21 akan tenggelam atau karam dalam keadaan terbengkalai dan penuh sampah. Karena adab budaya yang berlaku pada para penghuni kapal itu mengulangi persis perilaku ummat manusia sebelum Adam diciptakan, yang dicemaskan oleh para Malaikat: “Untuk apa ya Allah, Engkau ciptakan manusia, yang toh pekerjaannya hanyalah merusak bumi dan menumpahkan darah”
Setiap penghuni Kapal Nuh Abad 21 menyimpan nafsu di kantung jiwanya masing-masing. Nafsu yang mereka ketahui akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran diri mereka sendiri. Tetapi mereka merasa sayang untuk membuangnya. Mereka sangat menikmati virus itu di dalam batinnya, dan akalnya kurang bekerja untuk membawa mereka ke pembayangan bahwa ada kenikmatan yang jauh lebih dahsyat dan sejati, kalau saja mereka rela untuk meninggalkan bakteri busuk yang mereka simpan di sudut kalbu mereka itu.
Mereka berlomba mendongakkan kepala, mengunjuk wajah, memoncongkan bibir di mulutnya masing-masing, mengepalkan tinju dan menaikkan tangan menuding langit. Kemudian mereka masing-masing meneriakkan sesumbar bahwa merekalah yang pantas memimpin Kapal. Merekalah yang layak, memiliki kredibilitas, integritas, kompatibilitas, dan elektabilitas untuk menjadi Nahkoda Kapal.
Para pendukungnya berebut jargon kepahlawanan, etos Ratu Adil, mitos Satrio Piningit, dan rahasia Imam Mahdi. Dan para penumpang kapal dengan penuh kedunguan sejarah dan kebodohan akal menagih kepada para tokoh yang tidak membawa rasa malu di hati maupun wajahnya itu: “Apa visi misimu?”
Sejarah dan asal-usul, alasan, hujjah, sebab akibat dan hulu hilir dibangunnya Bahtera Nuh sudah jelas sejak awal, dan karena kejelasan itulah mereka berduyun-duyun naik menjadi penumpangnya. Tetapi tiba-tiba ketika para penumpang yang menokohkan diri berdiri di podium, para penumpang kapal lain bertanya “apa visi misimu?”. Seolah-olah Kapal itu angka Nol. Seakan-akan Bahtera itu kertas kosong. Diandaikan bahwa Perahu itu tidak berasal dari manapun dan belum jelas akan pergi ke mana, sehingga mereka membutuhkan visi misi yang terbaik, yang dipertandingkan dan di-fit-and-proper-test-kan di antara sejumlah penumpang yang paling tidak punya rasa malu.
Maka Kapal Nuh Abad 21 tidak pernah berhenti bergoyang. Tak pernah tak oleng. Tak pernah tak seimbang. Tak pernah tak limbung. Tak pernah ada penumpang yang tidak kisruh pikirannya dan tidak cemas hatinya. Kapal berguncang-guncang. Tidur di ranjang bisa tiba-tiba terjatuh ke lantai. Berjalan membawa gelas bisa tumpah ke orang yang berpapasan dengannya. Banyak perbuatan baik dilakukan, tapi menimbulkan keburukan. Banyak kewajaran dikerjakan tetapi menghasilkan kemudaratan.
Para penumpang seperti utuh kepalanya, tetapi sebenarnya retak otak di dalamnya. Kaki mereka baik-baik saja ketika melangkah, tetapi guncangan Kapal membuat mereka bertubrukan. Mereka meminum dari gelas meleset masuk lubang hidungnya. Mereka buang air kecil menciprat ke sekitar lobangnya. Mereka buang air besar belepotan ke pahanya, area sekitar kloset serta lantai kiri kanannya.
Kebaikan-kebaikan menghasilkan pertengkaran. Kewajaran-kewajaran memproduksi permusuhan. Inisiatif-inisiatif kebersamaan menghasilkan kebencian. Semangat dan ajakan untuk menyelamatkan kasih sayang dan perlunya bebrayan dan prinsip lira’arofu, memunculkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Iktikad baik untuk mengatasi oleng dan terguncangnya kapal malah menimbulkan salah paham, gagal paham, dan himpunan-himpunan dendam.
Sampai-sampai Pakde Sundusin ikut berpendapat sedikit miring: “Ini gara-gara waktu kecil semua orangtua berdoa dan berharap agar anak-anaknya menjadi orang pintar….”
“Lho…?”, Seger agak berteriak karena heran.