CakNun.com
Daur 140

Ta`dib dan Kepala Dinas Tipudaya

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Wajah Markesot tampak memancarkan kegairahan yang berbeda, ketika dan sesudah mendengar kisah tentang Rombongan-Alkisah dan Bapak Menuntun Anak berjalan lurus ke Hajar Aswad.

“Rupanya bukan hanya teman-teman saya ini”, Markesot membisiki dirinya sendiri, “Saya sendiri pun diam-diam lebih siap dan senang kalau ada makanan yang sudah jadi, tinggal mengangakan mulut dan mengenyamnya”.

Bagaimanapun pada setiap orang selalu ada rasa malas kalau dikasih bijinya saja, harus menanam, berjuang menumbuhkan, menyirami, memelihara dan menjaga kesehatan tanaman. Seluruh anak-anak Bangsa dan generasi muda di jaman mutakhir ini dihanyutkan oleh arus yang menanamkan pembiasaan untuk konsumtif, dan sangat sedikit prosentase pembiasaan untuk kreatif.

Pendidikan yang mereka terima sehari-hari, di Sekolah maupun di kehidupan sehari-hari, adalah menelan makanan matang. Bahkan makanan mentah pun sering dipaksakan untuk disuruh telan. Anak-anak Bangsa tidak dibukakan pintu kemungkinan ke hari depan bahwa ada ‘matang’ yang berbeda, ada ‘formula matang’ yang tidak sama dibanding yang pernah ada, ada cakrawala di depan, bukan hanya ada tanah yang dipijak oleh telapak kaki sekarang ini.

Maka Markesot berpendapat, tetap penting membawa anak cucu dan para jm untuk memutari ‘Daurah’, recycling, menjalani langkah ke depan yang kelihatannya lurus namun sebenarnya berkeliling. Berkeliling tidak hanya kanan ke kiri atau kiri ke kanan. Melainkan bisa tak terbatas daur arahnya, belakang ke depan dan depan ke belakang, termasuk menapaki derajat dan lintang arah yang tak terbatas jumlahnya.

“Maka biar saja mereka menulis, membaca dan mendengarkan sesuatu yang membuat mereka merasa sedang makan keremangan dan menelan kegelapan”, Markesot berpikir, “kalau perlu lebih lama dan lebih panjang mereka merasakan itu. Karena anak cucu dan jape-methe menjadi anak cucu dan jape-methe justru karena mereka bukan “bukan anak cucu dan jape-methe”. Sebab otak mereka dianugerahi ‘aql oleh Allah. Otak mereka bukan otak ayam atau kambing. Otak mereka berwujud gumpalan misteri dengan puzzling milyaran urat syaraf, bukan bentang lulang lembu atau kerbau”.

Kalau nanti mereka tidur ngorok lagi, Markesot akan tidak hanya meledakkan cambuk, tapi mungkin akan mengangkat rumah mereka dipindahkan ke tempat yang jauh, sehingga teman-temannya terbangun di bawah atap langit.

***

Kita sedang basah kuyup oleh hujan deras, sehingga sebelum duduk bersama bercengkerama dan belajar melanjutkan hidup — diperlukan mencuci sejumlah pakaian dulu, menyeterika beberapa lainnya, kemudian berpikir ulang untuk memilih baju yang mana yang akan kita pakai, sesudah mengalami perubahan pandangan-pandangan.

Sudah jelas semakin banyak kemudlaratan zaman yang diawali dengan kata, sehingga untuk mengatasinya kita perlu berunding ulang dengan setiap kata, setiap makna dan nilai. Yang seolah-olah paling gampang adalah kita bersama-sama menyingkir ke daerah yang sejauh mungkin dari peradaban rimba yang sedang berlangsung, mencoba babat alas kembali, menata tanah dan tetanaman lagi, memperbanyak kerja dan berpuasa dari kata-kata yang kita angkut dari peradaban yang kita tinggalkan.

Akan tetapi keputusan menyingkir secara fisik dan teritorial semacam itu adalah sikap yang kurang jantan, tidak mencerminkan ketangguhan, dan merugi secara pencarian ilmu. Maka kita “lompat masuk” atau sekurang-kurangnya tidak “lompat keluar” dari wilayah kehidupan yang sangat membebani dan menyiksa. Kita terus terjang hujan deras dan terus mengarungi rimba belantara, tetapi tetap dengan tak berhenti memperbarui diri kita, pandangan hidup kita, pertimbangan-pertimbangan kita secara akal, mental, emosi dan rohani.

***

Sekarang bahkan kutambahkan kata-kata baru buat anak cucuku dan para jm dari Padhangmbulan Jombang. Itu pun belum akan kukemukakan secara menyeluruh, hanya mengambil penggalannya yang kita perlukan pada tahap ini.

Terhadap para Guru dan siswa di Sekolah Padhangmbulan, diterapkan halaqah ilmu kehidupan di luar jam-jam pelajaran, yang bernama Ta’dib. Ini suatu proses yang terbalik dari yang bisa dilakukan dan dialami oleh mereka yang mengajar maupun yang belajar.

Para Guru kulakan pengetahuan, atau mengambil rangsum dari Pusat Pendidikan Nasional satu dua kilogram bahan yang disebut ilmu, kemudian disalurkan secara bertahap kepada murid. Para siswa, puluhan siswa di seantero Negeri, adalah ember yang dituangi barang-barang, cairan yang bernama ilmu pengetahuan, yang dipersilahkan untuk langsung diminum, ditelan, dipercaya, dimasukkan ke dalam aliran darah, dan menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka.

Dalam proses Ta’dib mereka tidak dituangi, tapi justru diproses untuk kosong kembali, baru kemudian digali kemungkinan-kemungkinan dari dalam diri mereka masing-masing. Kemungkinan itu bisa bakat, kecenderungan, potensi, susunan faktor-faktor yang ditakdirkan Tuhan pada diri setiap orang. Bisa juga sisa-sisa ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang sudah mengendap, sudah mengalami sublimasi di dalam proses hidup mereka.

Di dalam proses penggalian, para siswa diajak mengembarai berbagai kemungkinan memahami, menafsirkan, menganalisis, mendalami, menghayati, sekaligus membiasakan diri bersentuhan dengan berbagai macam output atau hasil multi-pemahaman itu.

Satu-satunya yang kita izinkan untuk dituangkan adalah informasi dan bahan-bahan dari Tuhan yang terpapar di Kitab Suci. Itu pun dibarengi dengan kejernihan memahami dan ketahanan mental untuk tidak geram terhadap hasil pemahaman yang tidak sama atau apalagi yang bertentangan.

***

Ta’dib itu, supaya tidak menjadi kelas pembelajaran bahasa, maksudnya “pem-beradab-an”. Proses pembelajaran, tidak harus pengajaran, untuk menjadi manusia beradab.

Manusia melangkahkan hidupnya harus dengan seluruh kelengkapannya. Kelengkapan itupun bukan barang jadi dan tidak pernh final. Ada proses perapuhan, tahap pengelupasan, daun menguning dan tumbuh semai baru yang hijau, tahap kematian-kematian dalam waktu yang bersamaan dengan itu muncul kelahiran-kelahiran baru.

Maka secara irama dan tahap, Ta’dib dibangun dan dijalani melalui tahap Ta’lim, dari tidak atau belum tahu menjadi tahu. Tafhim, dari belum paham menjadi paham. Ta’rif, tahu, paham tapi belum benar-benar mengerti, sehingga memerlukan tahap ini. Kemudian Ta’mil atau Taf‘il, banyak orang tahu dan paham, bahkan berhasil mengerti, tapi belum tentu bisa atau mampu melakukannya. Dan puncaknya Takhlis. Tahu paham mengerti dan bisa, tapi tidak ikhlas mengerjakannya.

Ternyata di antara tahapan-tahapan itu terkandung seluruh persyaratan segala ilmu dan pengetahuan, yang tradisional maupun yang modern, yang bumi maupun langit, yang sekolahan maupun yang pasar, yang metropolitan maupun yang sawah ladang. Di dalam kemenyeluruhan Ta’dib kehidupan, tidak ada satu hal pun yang tidak berkaitan dengan hal yang lain. Sebab akibat, kausalitas, hulu hilir, pangkal ujung, dunia akhirat, semua bersambungan satu sama lain.

Dan ternyata pula, sekedar menempuh jarak antara tidak atau belum tahu menuju tahu saja, setiap anak manusia sudah tercampak ke dalam hutan belantara dan diguyur hujan deras hampir tiada taranya. Ternyata seluruh persoalan peradaban, kebudayaan, politik, ummat, masyarakat, rakyat, negara, golongan, kelompok, klub, juga individu per orang, kasusnya adalah ketidaklulusan ujian di antara tidak tahu ke tahu.

Anak cucuku dan para jm sebaiknya mencatat, bahwa yang sesungguhnya terjadi tidak hanya kasus tidak lulus ujian untuk tahu, tetapi sesungguhnya kehidupan di dunia ini dikuasai oleh sekelompok dan sejaringan penjajah penipu pendusta yang salah satu program utamanya adalah membuat sebanyak mungkin penduduk dunia untuk jangan sampai tahu.

Variasinya bukan hanya jangan sampai tahu, tapi juga tahu terbatas saja, tahu yang sebenarnya bukan tahu, seakan-akan tahu, ketidaktahuan atas tahu dan tidak tahu atas ketidaktahuan.

Bingung? Berhentilah membaca. Sobeklah kertas dan buang tulisan ini. Berhentilah mencari pengetahuan tentang hidupmu sendiri. Bersegera mendaftarlah kepada para penguasa pendusta penjajah penipu, baik untuk terus ditipu asal dikasih makan, atau engkau akan naik pangkat menjadi bagian dari sistem dusta. Syukur engkau diangkat menjadi Kepala Dinas Tipudaya.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
13 Maret 2016

Lainnya

Hajar Aswad

Nampaknya tidak ada tempat ibadah di muka bumi ini yang “ramainya” melebihi Ka’bah.

Saratri Wilonoyudho
Saratri W.

Topik