Tadabbur, Dubur, Knalpot Akhlaq
“Kalian punya hak untuk mengucapkan, melakukan dan menikmati ‘Bismillahirrohmanirrohim’, ‘Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannashir’, alfatihah seutuhnya, ayat-ayat apapun di surat apapun dan tentang apapun, tanpa kalian wajib tahu asbabun-nuzul-nya, asal-usul kalimat itu, ayatkah atau haditskah atau wisdom para Ulamakah. Yang menjadi ukuran adalah apa yang keluar dari dubur kehidupanmu”
“Kalian sebagai tukang becak dan kuli pasar tidak tahu bahasa Al-Qur`an, tidak menguasai epistemologinya, tidak mungkin melakukan pembelajaran tentang asal-usul ayat ini itu, tidak mengerti Makiyah atau Maddaniyah, tidak paham Kitab apapun yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat itu, tidak pernah melihat atau mendengar apa yang ditulis dan dikatakan oleh para Ulama Ahli Tafsir. Tetapi wahyu Tuhan itu untuk kalian semua, tidak hanya untuk Nabi dan Ulama-Ulama penerus Nabi. Untuk setiap orang dari kalian, dan pasti berlaku untuk setiap detail kehidupan dan penghidupan kalian di tempat kerja, di rumah, di jalanan, di gardu, di warung, di tempat pemancingan, di jalur ronda malam dan di manapun”
“Al-Qur`an dan kehidupan ini dihamparkan Tuhan tidak dikhususkan untuk Nabi dan Ulama, apalagi hanya untuk dikuasai dan dimonopoli oleh Ulama Tafsir. Kalian beli beras untuk makan anak istri saja belum tentu bisa, bagaimana mungkin pergi ke toko buku membeli Kitab Ulama”
“Al-Qur`an dan kehidupan bukan monopoli Nabi dan Ulama. Beliau-beliaulah yang menyangga kewajiban untuk mengantarkan Al-Qur`an kepada kalian semua dengan bahasa, cara dan tawaran pelaksanaan yang semudah-mudahnya. Kalian juga sangat berhak, bahkan dianjurkan oleh Tuhan untuk bergaul seakrab-akrabnya dengan Kitab-Nya meskipun tidak benar-benar memahami bahasa dan maknanya. Yang penting kalian mencintainya, mempercayainya, melaksanakan dan menikmatinya”
“Asalkan hasilnya adalah kalian menjadi lebih baik hidup kalian sebagai manusia, lebih dekat kepada Tuhan, lebih mencintai Nabi, Anbiya` dan Auliya` serta para Ulama yang sungguh-sungguh Ulama. Asalkan yang keluar dari knalpot kehidupan kalian adalah tetesan-tetesan air suci kesetiaan, pengabdian dan cinta kepada Tuhan. Itu saja ukurannya. Sangat sederhana. Tidak harus berilmu tinggi. Tidak wajib menguasai Al-Qur`an, karena Ulama yang paling Ulama pun mustahil menguasai Al-Qur`an. Mosok Al-Qur`an diturunkan untuk dikuasai. Yang harus dikuasai itu nafsu!”
Demikian ‘fatwa’ Ahli Dubur.
***
Dengan demikian mestinya sekarang sudah sangat jelas betapa pentingnya dubur. Ia memiliki kemuliaan khusus karena menjadi saluran pengetahuan untuk melihat seseorang sehat atau tidak.
Jangan pernah meremehkan dubur, sebab kalau sampai ia ngambeg lantas pergi meninggalkanmu, bagaimana hidupmu nanti. Jangan pernah membuang dubur, sebab dia bukan gundukan yang bisa kamu potong, kamu gergaji kemudian kamu buang.
Jangan pernah mengejek dubur. Cintailah dubur, meskipun bentuk cintamu tak perlu dengan menjilatinya. Hargailah kerendahhatian dan keikhlasan dubur, yang tidak merasa cemburu, iri, dengki atau dendam kepada mulut. Dubur tidak mempersoalkan nasib mulut yang selalu dipergaulkan dengan barang-barang yang enak dimakan dan diminum. Sementara nasib dubur sendiri justru sebaliknya.
Markesot sangat sering wanti-wanti agar ummat manusia selalu tumbuhkan penghormatan dan apresiasi terhadap dubur. Penghargaan terhadap dubur adalah kewajiban semua bangsa, semua suku, golongan, marga dan manusia siapapun.
Barangkali ada yang pernah tahu bahwa sesuatu yang keluar dari dubur Markesot pernah dibawa ke Laboratorium dan ditemukan kandungan Uranium. Dokter memvonis bahwa sisa usia Markesot tinggal 3,5 bulan lagi. Tubuh Markesot dimasukkan ke dalam “bendosa” dan hasil potretnya dari leher ke seluruh dada Markesot hitam legam pekat sehitam-hitamnya. Sudah tidak ada fungsi apapun padanya. Tinggal maut, kalau menurut batas ilmu manusia.
Syukur Alhamdulillah belum pernah ada dan memang tidak ada dokter yang Tuhan. Tuhan hanya tunggal, hanya satu-satunya, ya Tuhan itu sendiri. Dokter wajib mendiagnosis, tapi keputusan final ada di tangan Tuhan. Andaikan ketika itu yang mendokteri Markesot ternyata adalah Tuhan sendiri, maka 3,5 bulan itu absolut. Untungnya dalam kehidupan ini tidak ada dokter yang Tuhan.
Justru sesudah lewat 3,5 bulan badan Markesot menjadi sangat subur, sehat dan bahkan agak gendut, wajahnya nyempluk, sampai Markesot ngeri sendiri kalau berkaca. Akhirnya Markesot berpuasa sampai badannya normal lagi seperti semua.
Cuma ada satu hal yang belum pernah diceritakan oleh Markesot, yakni selain kehendak Tuhan, apa yang ia lakukan sesudah vonis usia tinggal 3,5 bulan itu, sehingga batas waktunya tidak berlaku.
***
Yang jelas, sesudah diperiksa di Lab, Markesot bersilaturahmi dengan barang keluaran yang lewat knalpotnya itu. Berkenalan baik-baik, saling menanyakan identitas dan latar belakang masing-masing, dilandasi dengan assalamu`alaikum dan wa’alaikumussalam, bersumpah saling menyelamatkan dan menjaga keamanan satu sama lain.
“Apakah kamu disuruh Tuhan untuk memasuki badan saya?”, Markesot bertanya kepada Uranium.
Uranium menjawab, “Benar-benar saya minta maaf karena terlena. Sore hari menjelang Maghrib hari itu saya kebetulan agak ngantuk, dan tiba-tiba saja saya dilemparkan masuk ke dalam leher dan dada Sampeyan. Ketika saya sadar, beberapa onderdil tubuh Sampeyan sudah terlanjur rusak dan hampir hancur sama sekali. Saya merasa berdosa. Saya tidak tega melihat badan Sampeyan sampai sangat kurus, turun 26 kg. Wajah Sampeyan menjadi persis Jrangkong. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya kan cuma benda”
“Oo gitu”, kata Markesot, “Siapa yang melemparkan Sampeyan memasuki tubuh saya?”
“Lha Sampeyan kan sudah tahu”, jawab Uranium, “kan Pasukan Sampeyan sudah menyelidiki sampai tuntas. Sampeyan sudah mencatat siapa inisiatornya, siapa korlapnya, berapa orang eksekutornya, kapan saya dilempar”
“Memang sudah jelas. Tapi kan saya lebih lega kalau Sampeyan sendiri yang menginformasikan”
“Nanti dulu. Saya perlu tahu Sampeyan marah atau tidak kepada saya? Sampeyan memaafkan saya atau tidak?”
“Lho Sampeyan kan tidak salah. Yang salah yang melemparkan Sampeyan”
“Tapi bagaimanapun saya adalah alat yang dipakai untuk membunuh Sampeyan”
“Ah, ndak masalah. Sampeyan dengan saya sama-sama korban”
“Sampeyan memaafkan mereka yang berusaha membunuh Sampeyan atau tidak?”
“Ah, ya pasti memaafkan. Jauh sebelum mereka membunuh saya, saya sudah menghalalkan di depan Tuhan. Sudah memaafkan sepenuh-penuhnya di dalam diri saya. Malah saya tidak tega kepada mereka. Mereka juga korban dari kerendahan akhlaqnya, kelemahan mentalnya, kekalahannya melawan nafsu, dan terutama ketidakpahaman pengetahuan mereka terhadap saya. Andaikan saya kaya, pasti mereka masing-masing akan saya kasih rumah dan mobil”
“Sebentar, sebentar”, Uranium menyela, “Saya heran kok badan Sampeyan bisa saya masuki? Kabar-kabarnya Sampeyan ini agak sedikit sakti dan punya pertahanan ilmu yang sukar ditembus”
“Ah, fitnah itu”, jawab Markesot, “Yang bilang saya sakti itu pasti orang yang sayang kepada saya. Maka dia menakut-nakuti orang supaya saya aman. Dan lagi saya tidak punya pertahanan apa-apa. Sehingga juga pernah mempertahankan diri, dari serangan apapun, fitnah, salah paham, ancaman, pembunuhan maupun apa saja”