Sworo Tanpo Rupo
Ta’qid“...bahwa di dalam kemudahan informasi dan komunikasi itu, terdapat juga kemudahan untuk dusta, manipulasi, klaim, mencuri, tidak mempedulikan kewajiban atas hak-hak”
“Jadi siapa yang menentukan harga lombok?”, Markesot mengejar.
“Ya ya. Siapa ya?”, Tarmihim bertanya balik, “Biasanya dari pasar kami tahu berapa harga Lombok”
“Jadi Pasar yang menentukan harga Lombok?”
“Selama ini, begitu”, jawab Tarmihim.
“Pasar itu siapa? Apakah pasar itu orang, kok bisa menentukan harga Lombok dan barang-barang lain? Kalau orang, yang mana di antara ribuan orang di pasar itu yang menentukan harga Lombok?”
“Ya ya. Siapa ya?”
“Lha biasanya siapa yang menyebut harga itu?”
“Orang yang kulakan Lombok ke kami, di sawah atau ketika menyambut kami di pasar”
“Tengkulak?”
“Ya sepertinya. Tengkulak”
“Apakah Tengkulak itu yang menentukan, ataukah dia juga ditentukan oleh orang yang lainnya lagi?”
“Waduh iya ya, saya benar-benar tidak tahu”
“Kamu pernah mendengar kata atau nama Broker?”
“Belum”, jawab Tarmihim.
“Coba kamu tanya-tanya ke tetangga-tetangga sesama petani atau orang-orang di pasar, siapa tahu ada yang tahu broker itu siapa atau apa”
Tarmihim semakin tidak paham. “Ada apa dengan Pak Broker itu, Cak Sot”
“Siapa tahu dia yang menentukan harga lombokmu”
“Lho kok dia? Kan dia bukan yang menanam Lombok”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Mestinya yang menentukan harga Lombok adalah yang menanam Lombok”
“Itu pertanyaanmu kepada saya ataukah pertanyaan saya kepadamu?”, Markesot membalik pertanyaan Tarmihim.
Tarmihim ternyata cukup cerdas. “Itu pertanyaan saya kepada saya sendiri”
“Bagi konsumen Lombok yang utama adalah pedasnya, tapi bagi petani Lombok yang penting adalah harganya. Kenapa bukan kamu sendiri yang menentukan harga Lombok?”
“Ya itu masalahnya”, kata Tarmihim, “Biasanya begitu kami panen Lombok, harganya turun di pasar”
“Berarti ada orang atau pihak yang mencuri hakmu dan para produsen Lombok?”
“Iya ya, begitu ya…”, kata Tarmihim.
“Itulah sebabnya saya menjadi langsung dihantam kesedihan yang mendalam ketika membaca tulisan yang kamu bukakan tadi”
“Lho”, kata Tarmihim, “tulisan tadi kan tidak ada hubungannya dengan Lombok…”
“Bukan soal Lomboknya, melainkan hak atas Lombok dan atas apa saja, yang dilanggar oleh tulisan-tulisan itu”
Tarmihim membantah, “Tulisan itu tadi antara lain kan tentang Kiai di Magelang yang membesarkan hati bangsa kita yang menurut beliau tidak kalah enak hidupnya dibanding bangsa-bangsa lain di luar negeri?”
“Siapa yang menulis itu?”
“Tidak ada namanya”
“Kok ada sworo tanpo rupo? Mestinya kalau ada suara ya kelihatan siapa yang bersuara. Kalau ada tulisan ya ada identitas siapa yang menulis. Apa mungkin ada batu terlontar tanpa ada yang melempar? Tuhan saja mengaku bahwa Ia berfirman”
“Wah saya sekadar membaca ada teman nge-share tulisan itu”
“Copas?”
“Ya, copas”
“Kiai Magelang itu Kiai siapa namanya? Nama Pesantrennya apa? Di mana alamatnya?”
“Wah tidak ada keterangannya, Cak Sot”
“Apa mungkin ada apa-apa tanpa siapa-siapa?”
“Ya tidak mungkin”
“Ada pohon ada Tuhan, ada lemari kayu ada orang. Ada daun ada Tuhan penciptanya, ada sayur ada manusia meraciknya. Kamu ikut dalam grup di aplikasi handphone-mu yang tiap hari diedarkan tulisan-tulisan, nasehat-nasehat, tutur-tutur, dakwah dan tausiyah?”
“Ya”
“Bagus. Meskipun kamu petani Lombok, kamu sudah mengalami kemajuan dengan masuk ke dalam dunia maya yang sangat membantu peningkatan dan perluasan skala silaturahmi. Asal kamu tahu bahwa di dalam kemudahan informasi dan komunikasi itu, terdapat juga kemudahan untuk dusta, manipulasi, klaim, mencuri, tidak mempedulikan kewajiban atas hak-hak. Kamu lari ke sini karena senang pada omongan Kiai Magelang, tanpa kamu tahu Kiai Magelang siapa, yang menuliskannya siapa, Kiai itu benar bicara seperti itu atau sebenarnya orang lain yang menuturkannya”