Sumringah Wajah Mereka
Suasana alam malam ini di desa ini cukup tenang. Jauh dari hiruk pikuk meskipun di jalan dusun ini sedang berlangsung acara Ngaji Bareng ini. Sudah lima hari tidak hujan, dan baru siang tadi hingga maghrib hujan turun. Tanpa terasa, jamaah satu per satu sudah memenuhi lokasi sejak Isya tadi. Mereka siap mengikuti Ngaji Bareng ini. Tak sedikit pula yang datang dari luar kota.
Mungkin terlintas dalam benak kita, untuk apa hampir tiap malam Cak Nun menemui masyarakat khususnya orang-orang desa. Tak ada tujuan apa-apa selain melihat masyarakat sumringah. Demikian beliau menjelaskan. Dan sampai pukul 23.00, masyarakat memang sumringah. Cak Nun telah mengolah jiwa mereka dengan berbagai penyikapan dan pemahaman atas kondisi. Sesulit-sulit apapun, setergiur-giur apapun pada harta benda dan kenikmatan dunia, hendaknya semua itu tidak mengalahkan ketegakan diri kepada martabat, harga diri, patrap, dan pepantes.
Mereka juga diajak memahami bahwa wirid atau dzikir itu bisa dilakukan dengan mudah. Tetapi yang paling utama adalah mantepe hati dan nancepnya Allah di dalam hati kita. Metode wiridnya pun sederhana dan mudah dipahami yaitu dengan menyebut asma Allah. Pertama asma Allah yang paling dasar dan merupakan mahkota-Nya: Rahman dan Rahiem. Dua asma ini kemudian disambung dengan dua asma Allah yang relevan dengan jenis urusan yang dimintakan pertolongan kepada Allah.
Dari cara dan konsep dasar mengenai wirid, jamaah juga diajak memahami apa yang dinamakan khataman dan nglakoni Syahadat. Apa yang dilakukan oleh Haji Kantong adalah nglakoni syahadat, bukan sekadar melafadzkan syahadat. Cak Nun melengkapinya dengan kisah Syaikh Jangkung yang ketika diminta bersyahadat malah memilih dengan cara memanjat pohon, dan menjatuhkan badannya dari atas pohon itu. Dengan tujuan dan harapan meneguhkan iman, mempertangguh mental, menjernihkan pikiran, dan memperindah akhlak, sesudah sejumlah dasar pemahaman disampaikan, jamaah dibawa melantunkan doa Khotmil Qur’an. (hm/adn)