CakNun.com
Daur 171

Si Adzab Gentayangan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Semua yang berada di lingkup atmosfer Patangpuluhan, entah yang masih tinggal di situ atau yang sudah bertebaran di berbagai pulau dan pelosok-pelosok, diam-diam mencatat bahwa tahun-tahun terakhir ini ada semacam gejolak perasaan atau gelombang batin yang tak menentu pada Markesot, yang menyangkut lingkungannya, manusia-manusianya, masyarakatnya, bangsa dan negerinya.

Betapapun Markesot sangat menahan diri dan menyamarkan gejolak itu, tapi akumulasi nuansa jiwanya tampak mencerminkan hal itu semakin jelas. Misalnya, cukup lama ia seperti menghindar untuk menyebut kata ‘Indonesia’. Menggantinya dengan, misalnya ‘Nusantara’ atau ‘Negeri Khatulistiwa’.

Saat-saat awal ia hanya mengambil jarak. Tahap berikutnya ia bungkam untuk berbicara tentang yang namanya ia ganti itu. Tidak mau menyebut nama presiden dan menteri-menteri. Bahkan kalau ada dua foto besar terpampang di tembok ruang dalam sebuah gedung atau kantor, Markesot langsung keluar.

Ketika beberapa kali ada yang memberanikan diri bertanya, jawaban Markesot bermacam-macam.

“Saya ini lemah. Hati saya cengeng. Perasaan terlalu mudah terjerumus ke dalam kesedihan. Tidak jelas kenapa tadi begitu saya masuk ruangan itu lantas batin saya menangis. Menangis sangat mendalam. Sehingga saya tidak tahan dan keluar”

“Rasanya di dalam ruangan tadi ada semacam getaran atau aura atau mungkin wibawa yang luar biasa kuatnya, sampai rasanya saya mau pingsan. Jadi saya tidak kuat”

“Saya ini penakut. Saya tidak berani makan nasi kalau saya tidak benar-benar yakin bahwa itu nasi. Saya tidak berani mengakui sesuatu kalau secara batin maupun akal saya tidak memperoleh keyakinan atas sesuatu itu. Yang kecil-kecil dan remeh saja saya takut untuk mengakui. Apalagi Tuhan, kiai, presiden, menteri atau yang besar-besar lainnya”

“Kalian tahu saya ini boleh dikatakan tidak punya tempat yang jelas di peta kehidupan dunia. Saya tidak mampu meletakkan pantat saya di kursi, kalau menurut pemikiran saya itu bukan kursi. Saya seorang warga negara resmi, tapi sebagai warga saya kebingungan karena banyak sekali faktor yang membuat saya ragu-ragu apa benar ini negara”

***

Mungkin ada yang masih ingat, ketika Sapron bertanya kenapa Markesot sekarang lebih banyak berurusan dengan manusia dan bukan konstruksi sosialnya, juga dengan rakyat tapi tidak negaranya, sebagaimana dulu-dulu: Markesot menjawab, “Saya menjauh dari wilayah adzab”

Terus terang saja ketika mendengar jawaban itu diam-diam Sapron tertawa geli namun ditahannya. “Cak Sot itu kalau omong seakan-akan ia adalah warga Planet Berkah yang ulang-alik dari dan ke sorga, sehingga ia melihat yang di sini ini sebagai wilayah adzab. Padahal sebagian orang berpendapat bahwa hadirnya Markesot di bumi ini aslinya merupakan wujud adzab”

Kalau masyarakat umum melihat kehidupan Markesot, apa kesimpulan mereka kalau bukan perwujudan adzab. Markesot adalah “adzab mlaku”, suatu istilah sebagaimana kalau orang kutu buku disebut “perpustakaan berjalan”. Atau contoh lain yang indah: Muhammad Saw adalah “Qur`an hidup”, atau Quran adalah “Muhammad literer”

Apanya yang bukan adzab pada Markesot? Coba perhatikan: miskin, tidak punya harta benda apa-apa kecuali pakaian dan beberapa perangkat remeh lainnya. Tidak pernah maju, begitu-begitu melulu hidupnya. Tidak punya karier. Jangan tanya apakah Markesot punya masa depan, sedangkan cita-cita dan keinginanpun ia tidak punya.

Markesot itu sebatang kara pun tidak. Ia sebatang lilin: menyala tapi tak bisa menerangi ruangan secara maksimal. Itu pun untuk menyala ia harus membakar dirinya sendiri. Dan lagi nyalanya sangat sebentar. Sungguh adzab. Markesot adalah “adzab gentayangan”.

Cukup satu Markesot saja di bumi. Tidak. Di seluruh alam semesta cukup dia saja. Jangan sampai ada Markesot lain. Siapa tega melihatnya. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan membatasi jumlah makhluk semacam Markesot itu cukup satu saja.

Si adzab gentayangan itu sudah makin udzur usianya. Tubuhnya makin lemah, padahal tak punya istri. Kulitnya makin keriput, padahal tidak punya tabungan. Rambutnya makin memutih, padahal tak punya anak. Jaraknya dengan maut makin mendekat, padahal tidak jelas asal-usulnya, masa silamnya, apalagi masa depannya.

Ya ampun apakah Tuhan akan membiarkan dia mati nelangsa nanti. Menjalani kehidupan tanpa karier, tidak pernah mencapai sukses, tidak punya motor apalagi mobil, rumah kontrakan abadi, karyawan ya bukan, berkarya ya tidak. Walhasil apa namanya yang seperti itu kalau bukan adzab.

Lelaki tua yang wajahnya penuh kerut-merut derita bernama Markesot ini ahli servis motor dan mobil, tanpa satu kali pun pernah punya motor, apalagi mobil. Terkadang kalau dia omong, bagaikan seorang filosof, tetapi filsafat makin tidak marketable dan para pakar filsafat tak satu pun mencatat nama Markesot.

Markesot selalu menyebarkan kesan seolah-olah dia pengikut Nabi Muhammad Saw di bidang konsumsi: Makan hanya ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang. Padahal kasusnya bukan soal ilmu kesehatan atau ketinggian akhlaq terhadap ketersediaan pangan di bumi. Masalahnya adalah Markesot memang miskin, tidak lancar memperoleh makanan.

***

Di zaman mudanya, tatkala Markesot masih lebih gelandangan dibanding sekarang, Markesot mengatur makannya dengan menyusun daftar sekian teman-temannya, kemudian menggambar map yang berisi titik-titik tempat tinggal mereka.

Pagi bertamu ke sini, siangnya dolan ke sana, malamnya nongkrong di tempat teman berikutnya. Tentu tidak untuk terang-terangan minta makan, melainkan berspekulasi siapa tahu di tempat-tempat itu ia diajak makan, di rumah teman-temannya itu atau ditraktir ke warung.

Besoknya, lusa dan seterusnya, sudah terdaftar nama teman-teman yang berbeda. Meskipun demikian memang sering tidak mudah mengatur hati dalam situasi miskin. Selalu ada unsur salah tingkahnya, rasa malu, atau seperti Markesot sedang membanting harga dirinya sendiri setiap kali mengharap dikasih makan oleh temannya.

Suatu siang Markesot bertandang ke rumah salah seorang temannya. Membohongi dirinya sendiri pura-pura tidak ada urusan makan. Tapi diam-diam di pojok hati kecilnya memang ia ke situ untuk berspekulasi siapa tahu akan dikasih makan. Tuhan Maha Agung, ketika Markesot mengetuk pintu ternyata temannya sekeluarga memang sedang makan siang.

Temannya sangat gembira didatangi Markesot dan langsung berdiri menyongsong kemudian mengajaknya bergabung makan siang dengan keluarganya. Markesot spontan menjawab: “Wah baru saja saya makan. Terima kasih. Saya minum saja…”

Padahal dia sesungguh-sungguhnya sedang kelaparan.

Di hari lain Markesot mendatangi temannya sedang latihan teater di sebuah gedung kesenian. Setelah pura-pura menikmati sejumlah adegan, Markesot mengajak temannya ke warung untuk makan. Dengan harapan temannya itu akan mentraktir, karena mustahil Markesot yang tak punya uang harus mentraktir.

Temannya menjawab, “Saya sudah makan, nggak apa-apa saya ditinggal saja, kebetulan juga masih ada adegan yang harus saya latih”

Akhirnya Markesot melangkah keluar gedung. Berjalan menyusuri jalanan, muter alun-alun, selama waktu yang kira-kira sama dengan keperluan makan di warung. Setelah itu ia balik ke gedung, acting seolah-olah ia kekenyangan habis dari warung.

Maka kalau Markesot berkata “saya menjauh dari wilayah adzab”, si adzab berkata “biar aku yang mendekat kepadamu”.

Lainnya

Topik