SHOLAWAT – Proses dan Prosesi
Suara bising motor saling menyapa terdengar di seberang jalan sana. Maklum, malam minggu tiba. Seakan semua anak muda keluar dari persembunyiannya selama ini dan menikmati angin malam sepuasnya. Tapi yang menarik adalah beberapa anak muda tetap konsisten menyelenggarakan diskusi rutinan setiap bulan, yaitu Juguran Syafaat. Dan pada malam minggu ini, Juguran Syafaat tiba pada edisi ke 34. Artinya sudah hampir 3 tahun berada dan tetap istiqomah menggali ilmu-ilmu yang nampaknya mulai dilupakan orang.
Ini kali kedua Juguran Syafaat menempati tempat baru yaitu pendopo SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Purwokerto. Tempat yang cukup rindang dan luas, bisa berkumpul untuk para sedulur juga strategis karena letaknya dekat kampus Unsoed Purwokerto. Sebuah kebahagiaan besar bagi penyelenggara bila sebuah acara dihadiri oleh banyak sekali tamu dari luar daerah. Termasuk Juguran Syafaat edisi malam hari ini. Beberapa penggiat dari simpul-simpul Maiyah Nusantara hadir turut meramaikan forum kali ini. Di antaranya dari Bangbang Wetan Surabaya, Maneges Qudroh Magelang, Jamparing Asih Bandung, Kenduri Cinta Jakarta, Likuran Paseduluran Kebumen, Wolulasan Purworejo, Suluk Pesisiran Pekalongan, dan Maiyah Kanoman Pemalang. Yang lebih membahagiakan lagi adalah hadirnya salah satu guru Maiyah, yaitu Syaikh Nurshomad Kamba, yang merupakan salah satu sumur ilmu Maiyah. Beliau menyempatkan hadir setelah semalam mengisi di forum Kenduri Cinta Jakarta. Sebuah energi yang luar biasa untuk bisa mau meluangkan waktu untuk hadir di forum Juguran Syafaat.
Fenomena Sholawat
Juguran Syafaat kali ini mengambil tajuk “Sholawat: Proses dan Prosesi”. Dimulai dengan membaca surat Al-Fath secara tartil dipimpin oleh Kukuh. Seusai membaca Al-Quran, Ki Ageng Juguran memandu sedulur yang hadir untuk bersholawat bersama. Beberapa nomor sholawat dibawakan dengan syahdu dan khusyuk diiringi oleh petikan gitar. Sesi pertama dipandu secara santai oleh Kukuh, Karyanto dan Hilmy. Karyanto mengawali dengan memaparkan fenomena sholawat yang terjadi di pedesaan yang terus bergema selama sebulan lebih selama bulan Mulud. Hilmy menambahkan bahwa perkenalan dirinya dengan prosesi sholawatan adalah ketika mulai kenal Maiyah. Hilmy memancing sedulur yang hadir untuk ikut urun rembug perihal sholawat di sekitar mereka.
Cak Rifai dari Malang, mengurai bahwa tidak bisa dipungkiri Cak Nun-lah yang mempopulerkan sholawat ke publik di tanah air melalui Kiai Kanjeng-nya. Di saat itu Cak Nun membina lebih dari 400 kelompok sholawat yang ada di Malang Raya. Cak Rifai menceritakan bahwa tradisi sholawat diperolehnya dari kecil, sehingga keyakinan akan berkah dari sholawat sudah tertanam dalam dirinya. Dalam Maiyah ini, Cak Rifai menemukan penjelasan logis atas keyakinannya selama ini. Berbagai pengalaman diceritakan oleh Cak Rifai seperti kisah selamat dari ledakan anjungan lepas pantai, kejadian di pesawat dan lain sebagainya. Semata-mata dalam dirinya karena yakin dia memegang nilai sholawat.
Fauzan dari Purbalingga menambahkan, bahwa sholawat adalah ibadah yang diperintahkan oleh Allah tapi Allah sendiri juga ikut melakukannya. Anwar dari Majenang, ikut urun rembug bahwa sholawat yang berkembang di daerahnya adalah majelis Barzanji. Anwar juga membagi pengalamannya ketika mengalami kecelakan tidak terlalu parah, dan dia percaya karena sebelum berangkat berkendara, dia dan istrinya membaca sholawat seperti kebiasaan yang sudah diterimanya sejak kecil.
Rizky memandu diskusi sesi kedua dengan membuka bahwa Juguran Syafaat kali ini memang ditujukan untuk full sholawatan. Selain itu kita bisa memahami bahwa sholawat juga sebuah proses menjadi manusia yang me-Muhammad. Rizky menyampaikan bahwa Muhammad adalah manusia biasa, tapi dia adalah permata atau yakut diantara batu-batu lainnya. Ini adalah pelecut kita supaya semangat untuk bisa menempa diri kita menjadi manusia Muhammad.
Syaikh Nurshomad mengawali dengan bercerita dikampung halamannya di Pinrang, Sulawesi Selatan. Bahwa tradisi membaca Barzanji dimalam Jumat sudah menjadu kebiasaan sejak jaman leluhur. Bahkan kemampuan membaca Barzanji menentukan kelas sosial dalam masyarakat itu sendiri. Ritual membaca Barzanji tidak hanya dilakukan pada saat syukuran atau maulidan. Ketika mulai bercocok tanam, membajak sawah dan akan panen padi juga tak lupa masyarakat Pinrang untuk membaca Barzanji. Pada saat itu, hasil panen melimpah dan barokah. Hama tanaman bahkan tidak ada. Sekarang yang terjadi adalah ketika Barzanji mulai dilarang oleh kaum puritan, hama menyerang sawah-swah petani sehingga berhektar-hektar sawah bisa gagal panen dalam satu malam.
“Iman kita kepada Rasulullah itu harus benar-benar iman yang empiris, bukan karena didiktekan. Dia itu harus hadir di depan Anda atau Anda hadir di depan beliau baru bisa empiris, kalau ndak ketemu Rasulullah ya ndak bisa efek. Itu kenapa iman kepada Rasulullah itu ndak bisa memberikan militansi sebagaimana Rasulullah SAW memdidik para sahabatnya, kenapa? Karena Islam dan Iman yang kita terima dari beliau itu melalui buku, melalui informasi yang lain tapi kita tidak pernah bertemu langsung. Nah, bertemu langsung ini bagaimana caranya? Ya melalui sholawat itu. “, tambah Syaikh Nurshomad.
Tirakat dan Proses Kenabian Yang Berat
Syaikh Nurshomad melihat bahwa wilayah Banyumas Raya adalah daerah yang banyak melahirkan pahlawan nasional. Artinya ini muncul karena akar spiritualitas yang sangat dalam. Terlihat juga dimana banyak orang kuat bertirakat, ber-riyadhoh bukan semata-mata untuk kepentingan dirinya, melainkan kepentingan bersama. Syaikh mengutip cerita seorang waliyullah abad ke 4 hijriyah, Said Abdul Kahir yang mabuk cinta kepada Allah. Dalam kesehariannya ia bertirakat untuk tidak tidur agar tidak lalai selama hampir 7 tahun. Masyarakat bahkan menjulukinya sebagai orang gila karena tingkah lakunya yang aneh. Setelah 7 tahun bertirakat dan mengembara entah kemana, ia kembali ke daerah tersebut dan masyarakat sudah berubah memandangnya menjadi waliyullah. Bukan hanya sisa air minumnya yang menjadi rebutan, bahkan kotoran keledainyapun menjadi jimat orang-orang di daerah tersebut.
Syaikh Nurshomad menggaris bawahi bahwa Allah mentawalikan orang (memilih wali) sesuai kehendaknya. Kita tidak pernah tahu kenapa orang ini bisa menjadi wali, pangeran ini menjadi wali dan seterusnya. Pada dimensi ini, kita tidak bisa protes dengan ketetapan Allah.
“Maka apa yang kita bisa lakukan adalah bagaimana kembali mendekatkan diri kita kepada Rasulullah SAW dan itu yang kita lakukan dengan acara-acara sholawatan baik itu sebagai ritual hanya sekedar prosesi tapi yang ingin kita kembangkan juga adalah proses penyatuan diri dengan Muhammad. Ketika Sayyidah Aisyah ditanya bagaimanakah akhlak Rasulullah? Dia menjawab Kaana khuluquhul quran, akhlaknya itu adalah Al-Quran artinya bahwa seluruh yang dilembagakan, seluruh yang digariskan yang tersurat di dalam Al-Quran itu sesungguhnya hanya ingin menguraikan akhlaknya Muhammad itu sesungguhnya. Jadi Al-Quran itu ada supaya manusia-manusia ini menjadi Muhammad semua maka Cak Nun mengatakan ‘Ya Allah Muhammad-kan aku’ artinya segala nilai-nilai yang diajarkan Al-Quran itu kita bisa terpatri, bisa terefleksikan di dalam diri kita melalui refleksi kita dengan Rasulullah SAW.”, urai Syaikh Nurshomad melengkapi penjelasan sebelumnya.
Rizky menambahi, perbedaan antara proses dengan prosesi diibaratkan seperti pernikahan adat Jawa sekarang. Kalau prosesi itu hanya upacara seperti sekarang, ritual adat yang dituntun oleh dukun manten. Tapi kalau mau proses, itu adalah perjalanan belajar mengajar yang dilakukan pada saat pernikahan. Disela-sela diskusi, Ujang dan Ki Ageng Juguran memberi jeda dengan satu nomor sholawat Badar yang diiringi musik akustik. Rizky melanjutkan dengan pancingan seperti apakah imannya sahabat Nabi, Abu Bakar yang ketika Nabi menerima wahyu, beliau meyakininya 100% detik itu juga.
Agus Sukoco merespon dengan cerita seperti apa iman Abu Bakar ketika Rasulullah menerima wahyu. Itu bisa dibayangkan kalau kita kenal seseorang, kemudian dia mengatakan bahwa dirinya menerima wahyu dari Tuhan, respon apa yang akan kita keluarkan. Abu Bakar meyakini 100% kenabian Muhammad karena mengetahui prosesnya sejak kecil dimana dia merupakan teman karibnya.
“Kalau kita hari ini percaya bahwa Nabi Muhammad itu Nabi karena sekian ratus generasi sudah mengiyakan bahwa beliau Nabi, prasastinya sudah dicatat di batu waktu, kakek buyut dan canggah kita sudah mengakui bahwa Beliau Nabi. Tapi kalau kita hidup di jaman Nabi, apakah kita akan bersikap sebagaimana Abu Bakar? Jadi hari ini kita tidak bisa GR bahwa kita sudah beriman kepada Nabi,“ sambung Agus Sukoco.
Syaikh Nurshomad merespon dengan cerita penerimaan pertama wahyu Nabi Muhammad surat Al Alaq. Pada saat itu Muhammad menjawab “ana bi qori”, ini berarti “saya bukan pembaca”. Syaikh menjelaskan bahwa ada proses transmisi dari hakikat keilahian ke dalam bentuk sabda atau firman Tuhan yang bisa dicerna dalam bahasa manusia. Allah sudah menyiapkan hardware dan software yang kompatibel ke dalam diri Muhammad untuk bisa menterjemahkan itu semua. Ini adalah proses yang sangat berat dan dahsyat dan pemahaman ini digunakan agar kita tahu betapa agungnya proses kenabian itu.
“Belajarlah kepada Muhammad dulu, baru kamu berislam. Tidak bisa kita melakukan Islam secara tulus kalau kita tidak belajar ketulusan kepada Muhammad. Orang jaman sekarang tidak tulus dalam beragama, jadi ketika beribadah minta surga kepada Allah. Padahal, surga itu terserah Allah, tidak ada hubungannya dengan ibadah kita.”, sambung Syaikh Nurshomad.
Dalam penjelasannya mengenai Abu Bakar, Syaikh Nurshomad berkisah bahwa Abu Bakar adalah konglomerat pada jaman jahiliyah. Dia termasuk 10 orang terkaya di jazirah Arab kala itu. Sudah pasti dia memiliki wawasan berfikir diatas orang pada umumnya. Dan ketika melihat perubahan sikap yang terjadi pada Muhammad, karibnya selama bertahun-tahun, maka dia meyakini apa yang ditempuh oleh Muhammad itu. “Disamping Allah menyiapkan Muhammad sebagai Nabi, Allah juga menyiapkan Khadijah sebagai istri Nabi dan Abu Bakar sebagai sahabat karib Nabi”, tambah Syaikh Nurshomad.
Syaikh Nurshomad menuturkan bahwa agama harus dibangun diatas cinta. Karena cinta didasarkan pada sikap kesukarelaan. Cinta inilah sumber energi transformasi perubahan diri kita. Sama seperti analogi, ketika kita mencinta sesorang maka kita akan berusaha menyesuaikan diri pada apa yang disukai oleh orang tersebut. Dan dalam kaitannya kepada Nabi, proses Sholawat adalah bentuk dari wujud cinta kita kepada Nabi Muhammad.
Memasuki tengah malam, diskusi semakin hangat terasa. Suara bising jalan raya mulai mereda. Rizky mempersilakan Titut Edi dan hadiwijaya untuk ikut maju kedepan forum. Sekaligus memperkenalkan mereka kepada sedulur yang baru pertama kali hadir. Ki Ageng Juguran mempersembahkan nomor Ya Nabi Salam Alaika diikuti bersama dengan sedulur yang hadir. Nomor-nomor pilihan yang ditampilkan malam ini menambah nggrentes dan kangen kepada Kanjeng Nabi.
Titut Edi menceritakan dirinya sebagai petani menerapkan kebiasaannya setiap pagi ketika mencangkul di kebun dimulai dengan sholawat. Titut mengucapkan salam dan membaca al fatihah kepada matahari, bumi, langit, semua tanamannya dari pepaya, pare, hingga terong. Suasana gayeng terlihat diseluruh sedulur yang hadir, ditambahkan Titut Edi memberikan penjelasan dengan bahasa banyumasan yang blakasuta apa adanya. Senda gurau tak pernah lepas dari cerita Titut, namun tak pernah hilang makna nilai-nilai kesederhanaan kehidupan sehari-hari beliau.
Anjar dari Forum Wolulasan Purworejo, menampilkan satu nomor musik berjudul “Kembali Ke Desa”. Forum Wolulasan adalah sebuah forum yang sudah 5 tahun eksis menyelenggarakan diskusi keilmuan terkait kehidupan sehari-hari. Secara rutin sebulan sekali dan merekapun sama menimba ilmu di majelis Maiyah seperti Mocopat Syafaat dan Kenduri Cinta. Darwis dari Likuran Paseduluran Kebumen, menceritakan forumnya yang baru berjalan 10 bulan. Pengalaman Darwis mengenai sholawat adalah ketika mengalami kecelakaan dijalan. Darwis melihat korban kecelakaan berkaos sholawat salah satu majelis terkemuka. Dan ini menjadi cara pendekatan tersendiri agar bisa berdamai meskipun tetap bertanggungjawab.
Kukuh merespon penjelasan dari Titut Edi sebelumnya dimana proses Titut menyatu dengan alam ketika bertani dengan membaca salam dan sholawat kepada tanamannya, matahari, angin dan bumi. Ini juga selaras dengan diskusi internal Juguran Syafaat yang sedang membahas diri sejati alam semesta yaitu Nur Muhammad. Dan aplikasi seperti tanah, air, tumbuhan, angin dan sebagainya adalah bentuk dari pengejawantahan dari Nur Muhammad itu tadi.
Respon-Respon Sedulur
Sebagai jeda, satu sholawat dilantunkan oleh Ujang diiringi akustik oleh Ki Ageng Juguran. Kukuh mempersilakan sedulur yang hadir untuk ikut merespon diskusi malam hari ini. Latif dari Temanggung menanyakan seperti apakah metode yang pas untuk anak muda untuk bisa me-Muhammad-kan dirinya. Imron dari Purbalingga menanyakan apakah sholawat bisa digunakan sebagai kontrol kehidupan. Selain itu, Imron juga menanyakan, bagaimana jika rasa rikuh pekewuh sudah hilang dalam kehidupan bermasyarakat kita. Ari dari Purwokerto menanyakan bagaimana agar syahadat kita mempunyai ruh.
Sebuah respon yang sangat menarik dilontarkan oleh para sedulur yang hadir. Sangat berat dan bermuatan ilmu. Syaikh Nurshomad merespon dengan menjelaskan bahwa tawakal adalah hanya mengandalkan Allah saja dimana pada saat jaman Nabi itu justru membuat orang menjadi makin bersungguh-sungguh. Belakangan ini orang menafsirkan tawakal menjadi pasarah dan legitimasi atas kemalasan dirinya dalam berusaha.
Syaikh Nurshomad merespon kembali bahwa manusia yang mengharapkan kemustahilan ketika dia berusaha untuk kembali menjadi dirinya seperti awal ketika di sisi Allah SWT. Itu sama dengan seruling yang mendambakan kembali menjadi bambu. Itu sesuatu kemustahilan, tapi cukuplah nilainya itu bahwa seluruh upaya-upaya yang dilakukan secara maksimum itu adalah merupakan nyanyian rindu di dalam dialektika perjuangan menuju ke asal. Jadi nilai yang bisa kita dapatkan ketika berusaha untuk menjadi Muhammad untuk me-Muhammad-kan diri adalah nilai perjuangan kita untuk meniadakan diri kita dan berusaha untuk menempatkan Muhammad dalam diri kita.
Respon ketiga dari Syaikh Nurshomad adalah bagaimana sesorang itu menimbang sesuatu yang dilakukan sekarang ini, itu untuk kepentingan Allah atau kepentingan diri sendiri? Hal ini bisa menjadi pembimbing diri kita untuk bisa nanti Allah mengantarkan kita kepada kesaksian itu jadi sebenarnya buka kita yang menyaksikan tapi Allah yang mempersaksikan jadi Allah yang mengantar kita kepada kesaksian itu dengan memberikan bekal compability karena itu harus ada proses penciptaan yang terjadi di dalam jiwa diri kita.
Agus Sukoco ikut merespon dengan cerita pengalamannya menemui ketepatan ketika tengah malam membutuhkan rokok lalu ada tetangga lewat pulang dari sungai malah menawarkan rokok. Bagi Agus, ini adalah sebuah ketepatan momentum yang hanya Allah yang bisa menciptakannya. Maka kalau kita masih pada kacamata materi, hanya bisa melihat rokok saja, tidak sampai ke Tuhan. Kalau sebagai pejalan, inilah yang disebut ma’rifat. Orang Jawa menamainya mripat, agar kita bisa melihat atau weruh sesuatu tidak hanya sebatas materi, tapi bisa sampai ke Tuhan. Weruh dalam hal ini bisa diartikan me-ruh, merohanikan apa yang kita lihat secara materi. Ini bisa dijadikan cara agar syahadat kita semakin mempunyai ruh. Titut Edi merespon bahwa masyarakat saat ini sudah tidak menghargai rikuh pekewuh. Terbukti bahwa mereka tidak segan lagi terhadap para pemimpin. Ini adalah kemunduran yang terjadi pada masyarakaat sekarang ini.
Rizky meminta Syaikh Nurshomad Kamba untuk menjelaskan sedikit Upacara Tahlukah, Wirid Wabal yang semalam dilakukan di Kenduri Cinta oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Syiakh Nurshomad menjawab bahwa apa yang muncul dari Cak Nun itu adalah pewahyuan. Dan itu adalah hak beliau untuk mempercayainya dan tidak memaksakan kepercayaan itu kepada orang lain. Seperti contoh lirik Shohibu Baiti yang bagi beberapa golongan dianggap salah grammar, tapi jika menurut grammar yang lebih advanced, tetap saja benar. Dalam Wirid Wabal kali ini, Syaikh Nurshomad menjelaskan bahwa ini adalah kelanjutan dari Tahlukah tahun 2013 yang merupakan keprihatinan yang terjadi atas Nusantara sekarang ini.
“Jadi Wirid Wabal itu untuk pertama untuk kepentingan keselamatan kita semua, keselamatan umat manusia, keselamatan global perhatian Maiyah terutama untuk menjaga Nusantara, menjaga Indonesia, menjaga rumah kita, menjaga amanah yang diberikan oleh Gusti Allah kepada orang-orang Nusantara ini, menjaganya jangan sampai ini rusak, karena kan tidak ada wilayah di seluruh dunia ini yang seindah Indonesia, yang seideal Indonesia ini”, sambung Syaikh Nurshomad.
Hadiwijaya, seniman Banyumas memungkasi acara dengan refleksinya atas gerakan Maiyah sekarang ini. Ini adalah buah dari konsistensi perjuangan Cak Nun sejak tahun 70-an di Malioboro, dimana Hadiwijaya sempat mengikuti prosesnya. Hadiwijaya meminta agar generasi muda seperti yang hadir saat ini, bisa konsisten dengan pilihan perjuangan saat ini.
Kukuh mengakhiri sesi Juguran Syafaat malam hari ini dengan meminta Syaikh Nurshomad Kamba untuk memimpin doa bersama. Pukul 03.00 pagi, acara diakhiri dengan salam-salaman bersama diiringi dengan nomor Hasbunallah. Sedulur yang hadir kembali pulang ke rumah masing-masing mengantongi berjuta cahaya ilmu yang dipetik semalaman dalam forum tadi. [Red Juguran Syafaat, Teks: Hirdan Ikhya. Editor: Hilmy Nugraha]