CakNun.com
Daur 167

Shirothol Mus-Takkim

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Tolong untuk sementara tidak usah peduli Markesot sekarang ini sedang pergi mencari Kiai Sudrun atau Syekh Klanthung atau Maulana Saridin atau monggo siapa. Tuhan melarang manusia untuk menganiaya dirinya sendiri, apalagi memecah kepala dengan mempelajari Markesot.

Si Markesot itu kalau ditanya orang, menjawab sekenanya. Pertanyaan yang sama, ditanya oleh sekian orang, jawabannya berbeda-beda. Jalan kaki berpapasan ditanya “Ke mana Cak Sot?”

Ia menjawab, “Ke Imogiri”

Ditanya orang berikutnya menjawab, “Ke rumah teman”

“Ke kuburan”

“Ziarah”

“Ke mana hayo”

“Seperti biasanya”

“Bisnis”

“Cari warung”

“Angin-angin”

“Ada teman sakit”

“Buang sebel”

“Kondangan”

“Mau pijat”

“Ada janji”

“Jalan aja”

Ada seratus orang bertanya, seratus pula jawabannya. Semau Markesot. Terserah apa yang sedang ada di hati atau pikirannya. Sekeluarnya kata dari mulutnya.

Apakah orang macam itu bisa dipercaya? Apakah jawaban-jawaban seperti itu peduli kepada pertanyaannya? Apakah itu sikap sosial yang jujur? Apakah itu apresiasi terhadap bebrayan? Apakah itu sopan secara silaturahmi?

***

Pernah ada yang memberanikan diri menanyakan kepada Markesot kenapa kalau ditanya jawabannya selalu tidak sama.

Sekadar pertanyaan sedang berjalan kaki mau ke mana, jawabannya tak menentu. Tidak konsisten. Tidak ada akurasi fakta. Itu semacam kebohongan yang berlapis-lapis dan terus-menerus.

Itu baru tema elementer, sederhana, teknis, sehari-hari: berjalan dari suatu tempat ke tempat lain: terdapat ratusan jawaban dan ribuan dimensi, konteks, sisi, sudut, jarak. Jangankan lagi bicara tentang negara, mekanisme pemerintahan, lalu lintas politik, putaran-putaran sosial yang yang 99% tak tampak oleh mata.

Tapi Markesot membantah, “Saya tidak ingat kapan, bagaimana, di mana dan soal apa saya berbohong”

“Ke Imogiri?”

“Memang saya ke Imogiri”

“Ke rumah teman?”

“Teman itu tinggal di Imogiri”

“Ke kuburan?”

“Bersama teman itu janji mau bareng ke kuburan”

“Ziarah?”

“Ke kuburan mosok belanja”

“Tapi kan bisnis?”

“Bisnis itu kesibukan berusaha dan bertransaksi. Ziarah itu membeli kemurahannya Allah”

“Kok cari warung?”

“Lelah naik turun tangga pemakaman, terus lapar”

“Angin-angin?”

“Mendaki sampai ke ketinggian itu olahraga juga, di alam terbuka, segar disapu-sapu angin”

“Kok ada teman sakit?”

“Teman yang saya datangi itu memang sedang sakit hati karena ditipu orang. Itu merugikan dagangnya serius dan mengguncang keluarganya”

“Buang sebel?”

“Kapan di dunia ini kita sempat tidak sebel, sehingga harus terus-menerus membuangnya?”

“Kondangan?”

“Teman yang sedang guncang itu meminta saya untuk datang, mungkin untuk mengeluh dan sedikit berbagi”

“Mau pijat?”

“Kata pijat itu terbuka, bisa berarti dipijat bisa juga memijat. Kalau ada teman punya masalah kan kita pijat-pijat hatinya supaya kendur, berkurang tegangannya”

“Ada janji? Jalan aja?”

“Lha ya janji ke rumah teman. Hidup ini juga sejak lahir hanya berisi pemenuhan janji. Nyicil membayar janji kepada Tuhan. Itu berat. Maka saya tidak mau merasakan berat atau ringan. Saya jalan saja. Banyak orang tidak memenuhinya. Kebanyakan orang bahkan tidak tahu dan tidak ingat bahwa mereka lahir dari perjanjian dengan Tuhan”

***

Itu sekadar urusan satu garis pendek, teknis geografis pula: Patangpuluhan — Imogiri. Jangankan garis-garis panjang sejarah dan peradaban. Jangankan lagi garisnya lengkung, lipatan, putaran.

Terlebih lagi saling-silang garis ruwet kebudayaan, rahasia sindikat politik, garis-garis abstrak jiwa manusia, rekayasa global, Raja memutuskan untuk mentuhankan Isa, Nusantara dikebiri jadi Indonesia. Tak terbayangkan biasnya.

Tak terbatas. Tak terukur jarak antara kebenaran dengan yang mungkin dimuat dan disampaikan oleh informasi. Apapun metodenya. Secanggih apapun teknologinya. Sehalus apapun perangkat lunaknya. Serohani apapun persambungan frekuensinya.

Seorang wartawan pernah tersesat ke Patangpuluhan dan entah atas dasar apa ia mewawancarai Markesot. Pasti tidak ada alasan jusnalistiknya. Mungkin wartawan itu, untuk membuat berita atau tulisan tentang Bulan Ramadlan, mencari seketemunya orang untuk dihimpun dan dirangkum. Yang diwawancarai ada Ulama, ada pengusaha, ada Takmir Masjid, ada pedagang pasar, ada tukang becak, dan Markesot termasuk golongan yang tidak jelas golongan dan kategorinya.

“Kalau puasa, Bapak sukanya berbuka makanan apa?”, tanya si wartawan.

Markesot menjawab sambil tidak paham kenapa dia ditanyai dan kenapa dia harus menjawab.

“Pokoknya makanan apa saja asal tidak susah memakannya”

“Maksudnya bagaimana itu, Pak?”

“Misalnya daging, itu kan susah mengunyahnya”

Lumayan panjang wawancaranya. Besoknya keluar di Koran: “Seorang penduduk Patangpuluhan menyatakan bahwa ia anti-daging…”

Berita itu sangat merugikan Markesot. Sebab sesudah itu semua tetangga dan teman-teman kalau menawari atau mengirimi makanan ke Markesot, selalu hanya tempe, tahu, urap, paling jauh lontong.

***

Itu baru kalimat yang lurus-lurus dan sangat elementer: “Pokoknya makanan apa saja yang tidak susah memakannya”. Sudah sedemikian jauh pembiasannya, penyelewengan, dan peralihan substansinya.

Padahal hampir seluruh pengetahuan, ilmu, kebudayaan, politik, peradaban abad sekarang ini sejak lama dirancang dan dikendalikan oleh Takkim. Bukan shirothol mustaqim. Takkim itu suatu program strategis yang meracuni kurikulum Sekolah dan Universitas, media cetak dan tayang, internet, dan apa saja yang masuk ke otak penduduk bumi. Goal-nya: membalik hakikat kebenaran.

Lainnya

Wali Klingsi

Salah satu hal yang diincar untuk dikonfirmasikan kepada Kiai Sudrun oleh Markesot ya bab adzab ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version