Semoga Yang Kaya Makin Kaya
Sebelum masuk gerbong dan berjumpa dengan rekan-rekannya komunitas filosof, Markesot tak sengaja sudah menyiapkan semacam doa.
“Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka”
“Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret, menggangsir atau syukur merampok rumah mereka”
“Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit”
“Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-dosa ini sebagai wujud pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan lil’alamin”
***
Di tengah komunitas komunitas filosof di gerbong-gerbong, bawah jembatan, ‘Wesel 16’ atau manapun tempat yang memungkinkan mereka berteduh sementara atau bersarang permanen, ada yang memanggil Markesot Kiai, saat lain dipanggil Tumenggung atau Kopral.
Disebut Kiai karena Markesot paling sok mengait-ngaitkan apa-apa dengan Tuhan. Dipanggil Tumenggung karena Markesot yang paling bisa berhubungan dengan lingkungan sosial di luar komunitas mereka. Adapun Kopral, karena Markesot yang punya sambungan dengan titik-titik penting peta tokoh-tokoh lokal-regional-nasional yang masyarakat menyebutnya Preman, Gali, Korak, dari level Gentho, Dauri, Buto Kempung, Buto Mati, Tikyan dan seterusnya.
Sebentar. Tadi disebut Wesel-16? Apa itu? Kereta api berjalan berdasar atau di atas atau mengikuti rel. Kapan rel digeser, kereta api ngikut.
“Yang berkuasa selalu yang bawah”, kata Markesot, “kereta api yang di atas, bisa anjlog bisa terguling atau berjalan lancar, tergantung relnya. Problemnya, rel yang sangat dahsyat kekuasaannya ini, diatur dan taat kepada pegawai Stasiun….”
Untuk memindahkan rel, digunakan Wesel yang digerakkan secara manual ataupun dengan menggunakan motor listrik, atau sekarang bisa pakai komputer digital. Jadi wesel itu bukan hanya kertas hijau-kelabu tanda pengiriman uang di jaman Mataram pasca-Majapahit. Wesel-16 artinya alat ke-16 di sebuah Stasiun untuk pengaturan rel.
***
Tapi apa hubungannya dengan komunitas kaum filosof? Yang berkaitan dengan komunitas filosof bukan kereta apinya, juga bukan relnya, apalagi dengan weselnya. Hanya gerbong rusaknya.
Para filosof tidak ada urusan atau kepentingan terhadap Perusahaan Kereta Api. Pertama karena perusahaan tidak butuh orang, yang dibutuhkan adalah uang sebanyak-banyaknya. Kedua, kereta api tidak mengaitkan diri dengan orang, yang ia butuhkan adalah penumpang. Itu pun tidak harus benar-benar penumpang, yang penting siapapun dan apapun saja yang membeli tiketnya.
Bahkan kalau ada Jin membayar untuk memborong satu gerbong, di-support Setan membeli 200 tiket, tapi Jin dan Setan tidak naik kereta itu dan membiarkannya kosong: perusahaan kereta api tidak berkeberatan apa-apa. Malahan itu lebih baik dan aman bagi petugas kereta api maupun bagi para penumpang, daripada mereka duduk segerbong dengan anggota-anggota Jin dan Setan.
Jadi Wesel-16 itu sekadar dipakai saja sebagai sebutan untuk memudahkan siapapun menemukan lokasi Las Vegas di dekat Wesel-16 itu.
Lho kok Las Vegas? Di area sebelah Wesel-16 itu ada tempat perjudian, pelacuran, minuman keras, mungkin juga narkoba, bertaburan lelaki perempuan banci berkomunitas pada jam-jam tertentu, melaksanakan hajat-hajat mereka, pada tingkat ekonomi terendah.
Ada gerumbul dedaunan yang sangat rimbun di beberapa sudut. Lelaki perempuan banci melaksanakan transaksinya di balik gerumbul daun itu. Kalau ada siapapun yang disuruh orang untuk menjadi Presiden, Gubernur atau Walikota strip Bupati, pertama-tama yang harus ia datangi adalah Wesel-16. Itulah usus terdalam kehidupan rakyatnya.
***
Tetapi bukan Wesel-16 area yang didatangi Markesot malam itu. Setelah menyusuri rel sekian puluh kilometer, ia bermaksud menginap di Rumah Singgah kaum filosof, yakni gerbong rongsokan, yang mungkin di dalamnya bisa ia jumpai sejumlah kawan lamanya, atau mungkin banyak juga pendatang-pendatang baru yang Markesot belum mengenalnya.
Sejak lama sejumlah filosof meminta kepada Markesot untuk diajari nyluring. Sebagaimana dimafhumi bersama, menjadi Maling Cluring adalah cita-cita paling ideal bagi kalangan tertentu di komunitas filosof.
Keterampilan mencopet, umpamanya, sudah merupakan tingkat kecanggihan yang umum jangan meremehkan. Pada seorang pencopet, keprigelan jari-jari dan tangan, peletakan badan di tengah keramaian dan keluwesan seluruh batang tangan, kejelian terhadap posisi dan momentum, pendayagunaan kecepatan dan kehalusan, berani tanding melawan para pesulap level tertentu.
Tetapi jurus copet masih tergolong rendah dalam konstelasi ilmu lelaku para filosof. Kalau jambret adalah gabungan antara kekurang-terampilan mencopet dicampur keberanian, mental nekad dan sedikit kebodohan.
Meskipun demikian jangan abaikan ada pencopet kaliber internasional. Tidak sekedar korban beli tiket naik kereta api kemudian menggerayangi koper-koper dan tas-tas tatkala para penumpang tidur lelap. Atau sewa pakaian necis masuk Mal dan gedung-gedung fasilitas umum melaksanakan sejumlah ilmu sulap memindahkan uang atau perhiasan atau barang dari suatu koordinat ruang ke koordinat lainnya.
***
Pencopet internasional punya modal besar. Ke kantor Imigrasi bikin passport. Membawa map berkas-berkas identitas ke Kedutaan Negara yang dimaksud untuk mendapatkan visa. Beli tiket pesawat ulang-alik. Selama sekian belas jam di pesawat menerapkan “innalladzina amanu wa hajaru wa jahadu”: sesungguhnya mereka yang beriman, berhijrah dan berjuang….
Percaya bahwa sangu dan barang para pelancong lintas negara pasti lebih banyak dibanding penumpang kereta, bis atau kapal antar pulau. Berhijrah, bergerak pindah-pindah wilayah, tidak hanya dari Pasar Senen ke Pasar Beringhardjo, dari Stasiun Tugu ke Stasiun Gubeng, tapi dari Jakarta ke Sydney atau Abu Dhabi atau Seoul atau minimal Hongkong ulang-alik.
Tetapi pencopet internasional semacam itu bukan minat umum komunitas filosof. Mereka eksklusif. Segmen sosiologisnya tertentu. Berasal dari sebuah wilayah Kecamatan di sebuah pulau. Tradisi budaya dan pendidikan sejak kanak-kanaknya mempersiapkan itu semua. Dan itu turun temurun.
Maling Cluring, yang dimintakan aji-ajinya kepada Markesot, lebih sederhana dan pragmatis. Sasarannya adalah rumah, kantor atau bangunan-bangunan. Maling kelas rendah meng-gangsir, melubangi bagian bawah dari tembok rumah, berperang melawan cor-coran batu semen. Kelas di atasnya mendobrak pintu atau menjebol jendela. Kelas lebih canggih menggunakan keterampilan olah batang-batang besi kecil untuk membuka gembok dan rumah kunci.
Maling Cluring cukup menggunakan cahaya untuk memasuki rumah atau ruangan berdinding. Asal ada cahaya melintas menyambung bagian dalam dan bagian luar, bisa di-cluring-i. Ada yang kemampuannya terbatas, cahaya harus berasal dari dalam keluar, baru ia bisa masuk. Semester di atasnya bisa cahaya dari luar. Atau asalkan ada cahaya.
Markesot belum memenuhi permintaan Ilmu Cluring. Ia masih selalu menjawab: “Harus lulus dulu satu ilmu, baru mungkin mempelajari cluring”
“Ilmu apa itu?”, mereka bertanya.
“Ilmu tidak mencuri”, jawab Markesot.