Selalu Dihadapkan Untuk Tak Boleh Putus Asa
Bertemu masyarakat desa, dengan segala ketangguhan, kesungguhan, kemandirian, dan kemurniannya, seperti malam ini di Wanayasa membawa implikasi tersendiri bagi Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Rangkaian Kuduran Budaya yang berlangsung dengan berbagai macam acara seratus persen dibiayai secara swadaya masyarakat, tidak meminta bantuan pemerintah. Para pemimpin lokal yang selalu menyimpan pola macam-macam dalam kedekatannya dengan masyarakat dan komunikasi yang muncul dari hati seperti terasa tanpa beban kekuasaan. Masyarakat yang sregep, iguh, lugas, dan mau belajar hidup. Dan “gestur-gestur” karakteristik sosial, budaya, dan mental lainnya.
Semua menjadikan Cak Nun dan KiaiKanjeng balik kanan untuk tidak jadi putus asa. Ketemu mereka bikin terbit terus harapan akan masa depan Indonesia yang lebih balik. Jika melihat habitat politik nasional dan pusat yang bikin putus asa, bertemu masyarakat di desa-desa ini, Cak Nun dan KiaiKanjeng langsung dibelokkan Allah untuk tidak boleh putus asa. “Kalau bupati ke bawah kompak dengan masyarakat, kalau masyarakat di bawah tidak congkrah, insyaAllah beres. Maka kabupaten dan desa-desa harus dijaga dari berbagai macam ancaman…,” begitu sering Cak Nun sampaikan.
Ini sebenarnya sumbangan pembacaan politik tersendiri dari Cak Nun yang bukan sekadar untuk memahami etno-antropologis masyarakat Indonesia secara baru tapi juga pembacaan yang goal-nya adalah mau mencari jalan keluar dan masa depan Indonesia. Pembacaan yang racikannya terdiri atas cinta kepada manusia, kepekaan pada perasaan yang terpancar dari wajah-wajah manusia Indonesia, kesungguhan pada membangun martabat manusia, pada kesadaran akan luas-dalamnya kehidupan yang selama ini dipersempit, dirusak, dan dihancurkan oleh penjajahan. (hm/adn)