Sejarah Pelem Terletak di Peloknya
Tumpukan koran diletakkan di atas kursi di beberapa tempat semacam menyambut kedatangan para jamaah. Mereka mengambil lembar-lembar koran itu untuk alas duduk. Cukup ramai saat mereka berdatangan. Mereka berusaha mencari tempat yang enak. “Kene ae, kono gak ketok…”, kata salah satu jamaah kepada temannya. Mereka ingin menyimak Tadabburan dengan sebaik-baiknya, dan ini adalah kesempatan langka dapat bertemu langsung dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Seperti di dua desa atau kampung sebelumnya, suasana keriuhan setiap kali ada acara besar seperti malam ini sangat terasa. Yang sudah pasti adalah pedagang-pedagang kecil. Kemudian lalu lalang kesibukan panitia atau petugas mengatur segala sesuatu. Sebagian bersiap menyambut kedatangan Cak Nun. Sebagian lain melayani KiaiKanjeng di ruangan kecil di balai kelurahan.
Deretan ibu-ibu, tua maupun muda, sudah terlihat memenuhi beberapa area. Banyak yang mengajak anak-anaknya. Mereka duduk di teras depan balai desa, di sepanjang jalan di kiri maupun depan panggung, juga tempat-tempat lain. Satu dua pedagang minuman atau mainan berkeliling di tengah jamaah. Jumlah yang datang terus bertambah: bapak-bapak, anak-anak muda, dan jamaah pada umumnya.
Beberapa anak-anak lelaki bergerak kesana kemari menikmati suasana perhelatan yang merupakan puncak rangkaian Ruwah Desa. Ibu-ibu muda menunggu dimulainya acara utama sembari mengasuh anak-anak balitanya. Wajah-wajah sepuh bapak-bapak yang mengenakan peci dan sarung menjadi pemandangan khas. Pun santri-santri muda dan remaja. Semuanya berkumpul di sini untuk mengikuti Tadabburan.
Tak lama setelah KiaiKanjeng tiba di lokasi, acara dimulai dengan istighotshah. Rangkaian kalimat-kalimat thoyyibah, doa, dan shalawat melantun sepanjang istighotsahan. Suasana khidmat sangat terasa. Para jamaah yang sudah rapi mengikuti dengan baik. Di atas panggung Pak Kiai memimpin.
Jajaran pejabat dan tokoh masyarakat, juga para polisi, menunggu datangnya Cak Nun. Sementara itu, ketua panitia yang berbusana putih tengah menyampaikan sambutan. Dilaporkan berbagai kegiatan Ruwah Desa ini yang hampir semuanya merupakan praktik budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Di antaranya, siang tadi mereka berkunjung ziarah ke dukuh-dukuh di desa ini. Pak ketua panitia ini juga mengungkapkan rasa syukur dan bahagianya bahwa baru kali di sepanjang sejarah Medali bisa berkumpul lautan manusia seperti. “Tentu bukan karena keberhasilan atau kesuksesan panitia…,” ucapnya dengan rendah hati menggambarkan bahwa ini semua adalah rahmat dari Allah. Beberapa kali pula ia menyebut nama Cak Nun dengan Romo Kiai Haji Emha Ainun Nadjib.
Mobil yang membawa Cak Nun tiba di lokasi dan disambut dengan lantunan shalawat dari atas panggung dan diikuti semua jamaah. Terlebih dahulu Cak Nun masuk ke ruangan di balai desa itu untuk beramah tamah dengan para sesepuh, pemuka masyarakat, pejabat kecamatan dan desa, serta panitia. Orang-orang berusaha mengerubungi dan menggapai tangan Cak Nun untuk berjabat tangan begitu beliau turun dari mobil dan melangkah ke ruangan yang sudah disiapkan.
Mata acara selanjutnya adalah makhallul qiyam. Shalawat ‘indal qiyam ini dibawakan oleh kelompok ISHARI yang berjumlah seratusan lebih orang, semuanya laki-laki. Sekitar dua puluhan orang memegang terbang, dan selebihnya berdiri di belakang mereka maupun di bawah panggung. Mereka mengenakan seragam baju putih, berpeci hitam, dan bersarung. Mereka melantunkan shalawat dengan suatu pola. Pola paduan antara suara, pukulan terbang, tepukan tangan, gerakan badan, dan formasi-formasi gerakan. Apa yang mereka bawakan ini termasuk dalam rumpun Rodat. Tidak mudah melakukan koordinasi, komposisi, dan kerjasama dalam rodat ini. Dibutuhkan latihan dan kesepsifikan yang terasah terus-menerus. Dan yang mengagumkan adalah jenis suara pelantun shalawat-nya. Sangat tegas, berkarakter, dan tak semua vokalis punya warna dan karakter suara seperti itu. Jenis suara yang lebih terasa sebagai anugerah “orang desa” yang hidupnya bersahaja, jujur, dan dekat dengan alam dan Tuhan. Pun pukulan-pukulan kerasnya menggambarkan ketegasan dan soliditas sikap hidup wong cilik tapi jelas pilihan nilai dan sikap hidupnya.
Saat mereka memukul terbang dan para penari serempak saling menepuk tangan, di belakang panggung beberapa personel KiaiKanjeng coba menirukan tepukan tangan itu. KiaiKanjeng menyebut gaya atau pola ISHARI ini dengan “Njombangan”. Kelompok ISHARI seperti inilah yang dulu di bawah koordinasi almarhum Mas Zainul KiaiKanjeng mengisi shalawatan dan rodat di Banawa Sekar dengan jumlah seribu orang dan semuanya mengenakan peci Maiyah merah putih membentuk lautan magis gerak dan suara mengangkasa mengangkat doa-doa ke langit dan menyapa Rasulullah Saw.
Tadabburan malam ini memang bertemakan kesadaran budaya dan sejarah. Sesudah shalawat ISHARI, persembahan berikutnya adalah pencak silat. Mendengar ada peragaan pencak silat, Cak Nun ingin menyaksikan langsung. Kemudian beliau diantar menuju panggung dan duduk di kursi player KiaiKanjeng. Pencak silat mengambil tempat di depan panggung, yang semula ditempati para perodat. Mereka bergeser dan mundur sedikit untuk memberikan ruang. Sementara pengendang yang mengiringi para pesilat itu bertempat di panggung.
Seorang kakek sepuh berjenggot panjang putih berjalan ke tengah-tengah area yang berkarpet hijau. Ia memakai baju hitam, peci hitam, dan celana silat berwarna hitam pula. Mula-mula ia bergerak menyalami satu persatu para perodat yang duduk di barisan depan. Kemudian ia beralih ke tengah berdiri, diam sejenak, lalu perlahan-lahan memeragakan gerakan-gerakan tangan dan kaki. Sebuah tarian pencak yang lebih terasa halus, lembut, dan sublim. Suara kendang sudah mengiringinya.
Setelah peragaan itu, kemudian muncul satu orang lagi. Sama-sama sepuh. Memeragakan gerakan jurus, pukulan, dan tendangan, dan masih dalam irama yang pelan. Lalu ia berhadapan dengan yang pertama tadi, dan segera bersilat. Keduanya bergerakan vis a vis, dan kemudian terlibat dekapan, kuncian, tahan-menahan hingga jatuh, dan masih saling adu kuncian. Lumayan kencang mereka adu ketahanan, hingga kemudian bisa terbangun lagi tetapi keduanya masih saling mengikat sampai kemudian bisa terlepas kembali. Sebuah peragaan yang mendapat aplaus. Terakhir sesorang lelaki yang usianya jauh di bawah kedua kakek tadi tampil ke depan dan memperlihatkan gerakan-gerakan pukulan, tendangan, penghindaran, dan lain-lain tetapi dengan kecepatan yang lebih tinggi. Baru kali ini Tadabburan atau Maiyahan ada persembahan pencak silat.
Selain melihat pencak silat, dari kursi itu pula Cak Nun melayangkan pandangan ke arah jamaah. Sangat banyak jumlah mereka. Sangat padat. Jalan memanjang di depan panggung, di kiri panggung dan juga kanannya, semuanya dipenuhi orang-orang yang siap mengikuti Tadaburan. Belum lagi yang nempel dan berdiri di belakang panggung. Semua konsentrasi, duduk rapi, dan mengikuti mata acara.
Selepas pencak silat, Cak Nun segera ke depan, dan mempersilakan Pak Lurah beserta jajaran pemerintahan kecamatan untuk maju ke depan menemani beliau, termasuk bapak-bapak dari perguruan pencak silat tadi, juga pengurus NU setempat. Untuk menyambung garis tematik menjaga dan nguri-nguri budaya, Cak Nun meminta KiaiKanjeng menghadirkan nomor Rampak Osing. Mas Imam, Mas Doni, Mbak Nia, dan Mbak Yuli berdiri membawakannya.
Selepas itu, Cak Nun yang masih membiarkan peci beludru coklatnya belum dipakai menyapa hati para jamaah dengan meminta mereka untuk bersikap biasa saja, khususnya panitia yang tadi menyebut menunggu tausiyah atau mauidhoh khasanah, “Sing perlu dinasihati itu DPR dan Presiden. Kalau wong ndeso ini sudah apik-apik, hidupnya sregep, dan ubet. Jangan diganggu dengan nasihat-nasihat.” Jamaah sepakat dengan apa yang barusan dikatakan Cak Nun dan memberikan tepuk tangan.
Pelan-pelan beliau kemudian mengapresiasi apa yang barusan berlangsung. Tentang silat. “Pencak silat ini bukan sekadar urusan olahraga, melainkan juga berhubungan dengan kesenian, agama, dan martabat manusia.” Lalu Cak Nun menceritakan sedikit mengenai dunia duel full body contact kelas internasional di mana beliau mengikuti dan kerap mengambil filosofi, wacana, dan cara pandang darinya. Melihat kelengkapannya, Cak Nun menyebut, “Pencak silat yang tadi diperagakan, dalam dunia internasional saat ini masuk dalam kategori MMA (Mixed Martial Arts).”
Cak Nun mengingatkan kembali pentingnya kontinuitas kesadaran budaya dan sejarah yang dari waktu ke waktu tergilas. Hal yang juga menjadi tujuan acara Ruwah Desa ini. Tetapi beliau terlebih dahulu membawa jamaah untuk masuk ke hal-hal dasar. Bahwa apapun saja yang terpenting adalah sambung dengan Allah, sekurang-kurangnya lebih dekat. “Opo ae, sing penting sambung karo Allah, minimun luwih idek.”
Alasannya sederhana, menurut Cak Nun, kita mengurusi Indonesia, atau mengurusi apa saja, tetapi di sisi lain hubungan kita tidak beres dengan Allah. Maka, kita tidak ditolong oleh-Nya. “Itulah manunggaling kawulo-gusti,” tegas Cak Nun. Contoh yang diberikan oleh Cak Nun adalah pimpinan NU menempatkan Allah dan Nahdhiyyin di dalam hatinya, dan menjadi pertimbangan utama dalam sikap-sikapnya. Allah dan Nahdhiyyin tidak boleh disakiti hatinya.
Selanjutnya persoalan serius kehancuran budaya yang tengah dialami bangsa kita digambarkan Cak Nun melalui analogi pelok dan mangga. “Kalau kalian ditakdirkan menjadi mangga, kalian harus punya kesadaran akan pelok. Dan kalau kalian pelok, apa kalian akan menjadi durian?”
Intinya Cak Nun mengilustrasikan bagaimana kita sebagai bangsa dengan peradaban sangat tinggi dan matang telah lupa akan “siapa diri”-nya dan berubah menjadi manusia yang bukan dirinya lagi. Salah satu ciri manusia Jawa atau Nusantara adalah multitalenta, kreatif, dan kaya akan ekspresi budaya. Musik pun beda antara Solo, Jogja, Demak, dan Mojopahit. Cak Nun meminta KiaiKanjeng memainkan Medley Cross Composition “Jogja” untuk memberi contoh ragam musik yang varian dari satu daerah ke daerah lain di Nusantara.
Sampai titik ini, Cak Nun sudah menyemaikan pembahasan budaya dengan melingkupinya dengan kesadaran akan Tuhan yang menjadi akar dari takdir-takdir budaya yang dianugerahkan pada manusia. Hendaknya tidak dipotong apapun saja dari keterkaitannya dengan Tuhan. Dari dasar-dasar ini, kemudian Cak Nun mempersilakan Ki Agus Sunyoto untuk menggambarkan bagaimana kecanggihan dan pencapaian bangsa Jawa.
Ki Agus memulai uraiannya dengan menceritakan perbedaan sistem kalender dan kesadaran waktu antara orang modern dan orang Jawa. Orang modern hanya punya perhitungan kalender berdasarkan matahari. Sedangkan Jawa mempunyai sekaligus sistem matahari dan bulan, ditambah sistem berdasarkan musim. Ketiganya adalah suryo sengkolo, condro sengkolo, dan pranotomongso.
Hitungan komplit itu sudah jauh dimulai, dan kalau dikonversi sekira tahun 78 Masehi. Padahal, menurut Ki Agus, Eropa pada abad pertama masehi masih belum punya kota, negara, atau sistem masyarakat. Mereka masih nomaden. Tak hanya tiga sistem kalender, Jawa juga memiliki detail hitungan hari, wara, pasaran, wuku, windu, jenis-jenis tahun, dan lain-lain. Ki Agus mengatakan, hitungan masehi itu akan berujung pada tahun atau hitungan 2300 tahun. Artinya setelah tahun 2300 akan geser atau tidak akurat lagi. Sementara itu kalender Jawa akan mencapai 99000 tahun akurasinya. Kemudian sangat panjang Ki Agus membawa jamaah memahami contoh-contoh peradaban Jawa dan Nusantara. Dalam paparannya itu, Ki Agus prihatin bahwa pengetahuan kita atas diri kita ditentukan oleh orang lain atau penjajah. Kalau kita menyebut atau memberi nama diri kita maka kita dituduh rasis, tidak ilmiah, dan lain-lain.
Setelah cukup panjang Ki Agus membedah sejarah Jawa dan Majapahit, Cak Nun mengajak switch menuju suasana yang segar tetapi masih dalam bingkai memberi contoh akan kekayaan budaya, yang ternyata anak-anak sekarang banyak yang tidak tahu. Medley Nusantara KiaiKanjeng yang mengompilasi dan menghadirkan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia dimainkan tetapi pada setiap lagu daerah berhenti dulu beberapa waktu, sebab Cak Nun, dan ini jarang-jarang atau malah tidak pernah, memberikan “kuis” kepada jamaah untuk menjawab atau mengatakan dari daerah mana lagu yang dimainkan KiaiKanjeng, dan Cak Nun memberikan hadiah peci Maiyah kepada yang bisa menjawab. Tidak mulus untuk mendapatkan jawaban yang benar, dan ini menggambarkan betapa tidak banyak yang diketahui generasi sekarang akan khasanah budaya bangsanya sendiri. Tetapi suasana cukup meriah, pating clebung meskipun salah, ada juga yang dengan sangat pede angkat tangan tapi keliru jawabannya. Beberapa memang benar jawabannya. Kameramen pun sampai ikut serta. Cak Nun membagikan peci Maiyah tersebut dan mengatakan, “Terimalah peci Maiyah itu tanpa anda terikat harus menjadi atau ikut Maiyah…. Sebab yang penting bagi kami adalah bagaimana menyumbangkan cinta kasih dan ilmu untuk sesama”. Tiga peci terakhir beliau lempar ke tengah audiens dan meminta yang menerima lemparan itu berunding secara arif siapa yang perlu mendapatkannya.
Anak-anak muda, remaja-remaja dengan pakaian biasa, kaos oblong, rambut terpotong dengan model yang mereka sebut kekinian, dan ada yang jari-jarinya mengapit sebatang rokok yang dihisapnya, merupakan pemandangan lain malam ini. Mereka berdiri di dekat panggung dan sangat menyimak apa-apa yang dituturkan Cak Nun. Mereka juga menikmati musik KiaiKanjeng yang ragam dan eksploratif, dan yang tadi dibawakan sebelum Medley Nusantara adalah sebuah nomor musik dari Maroko, dan pernah dibawakan saat KiaiKanjeng pentas di Maroko, berjudul Allah ya Maulana.
Menarik dari Tadabburan ini adalah dihubungkannya apa pun yang menjadi tema dengan tauhid. Memerikan dasar budaya, Cak Nun menjelaskan bahwa kita harus sering bersyahadat dan nyahadati. Artinya, dasarnya adalah syahadat atau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan itu bisa atau perlu diteruskan, misalnya dengan bersaksi bahwa tumbuh-tumbuhan adalah ciptaan Allah, bahwa manusia rezeki dari Allah, dan seterusnya.
Setelah menyelami soal-soal budaya serta mengajak jamaah masuk pada contoh-contoh musik, Cak Nun mengingatkan, “Nanti di ujung acara akan kita akhiri dengan Islam, sebab Islam bukan pelok atau mangga itu sendiri melainkan ilmu untuk memproses pelok menjadi mangga.”
Jamaah sangat setia menyimak Tadabburan. Sampai pukul 24.00 mereka masih bertahan dengan baik. Mereka yang sangat beragam latar belakangnya menyerap random ilmu Maiyah meskipun rel tematiknya sudah tertentu. Bahkan ibu-ibu sepuh, juga kakek-kakek masih mengikuti di bawah naungan langit langsung. Para narasumber dan pemuka masyarakat yang naik ke panggung juga demikian. Terlihat Ki Agus Sunyoto penuh perhatian setiap kali Cak Nun berbicara, menjelaskan, dan merespons apa-apa yang berlangsung.
Sementara itu, Mas Ayuk yang concern terhadap sejarah Mojokerto memaparkan versi yang berbeda dari mainstream yang digalinya dari riset langsung ke masyarakat dan narasumber-narasumber yang masih hidup dan ia keliling ke desa-desa untuk mendapatkan narasi sejarah yang diyakini lebih dekat pada kebenaran. Ia uraikan Mojokerto bukan saja dalam garis hubungnya dengan Majapahit tetapi juga dengan Mataram. Di masa itu, Mojokerto pun pernah menjadi pusat kerajaan Mataram. Memang juga pernah menjadi pusat Majapahit saat Majapahit terpecah ke dalam tiga pusat, salah satunya adalah Mojokerto. Dan detail-detail lainnya. Termasuk dijelaskan beda antara Ruwatan Deso dan Ruwahan Deso. Yang pertama dimaksudkan untuk membersihkan desa, sedangkan yang kedua adalah membersihkan diri untuk bersiap menyambut datangnya Bulan Ramadhan. Mas Ayuk juga menceritakan sekilas tentang leluhur yang babat alas desa Medali ini. Terakhir ia mengajak semua masyarakat Mojokerto untuk mencintai Mojokerto karena Mojokerto adalah daerah yang tua dan tinggi peradabannya, meskipun ada diskontinuitas masa dan dalam pengetahuan sejarah akan kota tersebut.
Terakhir sekali, sebelum acara dipuncaki, ada empat poin yang disampaikan Cak Nun berkaitan dengan sejarah dan budaya ini. Pertama, kita tidak mungkin kenal diri kita kalau tidak tahu masa silam kita dan itu berarti tidak akan mengerti pula seperti apa masa depan kita. Kedua, soal apa yang dikatakan Mas Ayu atau Ki Agus Sunyoto, tidak soal apakah benar atau tidak yang dikatakan beliau berdua, yang penting dan pokok adalah kita mencari terus sampai ada resultan-resultan yang lebih tinggi nilai kearifan, kebenaran, dan manfaatnya bagi pemahaman dan kesadaran ke masa depan.
Ketiga, bahwa yang dimaksud dijajah adalah barang atau kekayaan kita dicuri, tanah kita direbut, serta pikiran atau pengetahuan kita ditutupi atau ditipu. Dan ini berlangsung sejak abad ke-14 hingga detik ini, di antaranya melalui media, pendidikan, dan informasi. Apa yang dilakukan oleh dua sejarawan kita tadi adalah perlawanan informasi terhadap hasil-hasil manipulasi fakta sejarah. Keempat, betapapun kondisinya, kita seharusnya memahami juga bahwa Allah punya mekanismenya terhadap jalannya sejarah, Allah tidak tinggal diam, dan kita tidak boleh ragu akan peran Allah.
Cak Nun sempat merespons narasumber tadi dengan mengemukakannya pemahamannya mengenai sejarah Majapahit, posisi Mojokerto, transformasi kekuasaan dari Majapahit menuju Demak, Pajang, dan Mataram, kaitannya dengan Pangeran Benowo hingga Gus Dur, serta situasi dan perubahan-perubahan yang berlangsung di Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan Mataram Islam. Dan khusus mengenai pencak silat, diterangkan bahwa asal pencak silat adalah di sini (Jawa Timur/Majapahit) bergerak ke barat hingga Purbalingga dan kembali ke Jawa Timur. Tentang pencak silat ini, Cak Nun berpesan agar ada sekelompok orang yang meluangkan waktu untuk menggali informasi, cerita, dan sejarah dari bapak-bapak yang tadi memeragakan pencak silat serta agar pencak silat ini diwariskan dari generasi ke generasi.
Memasuki pukul 01.30, acara diakhiri dengan shalawat ‘indal qiyam, dan doa dipimpin oleh salah seorang kiai yang turut duduk di panggung dan dengan setia mengikuti dan menyerap wawasan dalam Tadabburan yang diselenggarakan dalam rangka Ruwah Desa Medali Puri Mojokerto. Selepas doa penutup, seperti biasa jamaah menata diri rapi untuk bergiliran berjabat tangan dengan Cak Nun dan para narasumber sembari diiringi dua atau tiga nomor musik KiaiKanjeng.