CakNun.com
Daur 1192

Sebelum Offline dan Offlight

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Ta’qid“...Bisa jadi Allah sudah mengabarkan sebelum manusia mengalami kehancurannya. Sebelum energi bumi habis dikuras. Sebelum listrik padam. Sebelum manusia berbunuhan memperebutkan makanan dan air minum. Sebelum offline total...”

Banyak orang menyimpan pendapat, anggapan bahkan keyakinan di bawah sadarnya bahwa yang “ada” adalah yang mereka bisa menjangkaunya, memahaminya, mengalami dan merumuskannya. Ibarat perangkat komputer, sebuah ruangan pada disk baru “ada” berdasarkan partisinya. Kalau dipartisi, baru ada ruang yang kemudian diisi dengan sistem operasi, aplikasi-aplikasi dan data-data.

Jadi partisi adalah cara manusia menciptakan ada dalam tiada. Mereka tidak punya keperluan untuk berpikir manthiq bahwa tidak mungkin membangun ada di landasan tiada. Harus ada “ada” untuk mengakomodasi kreativitas “ada-ada”  berikutnya. Harus terlebih dulu tersedia “ada” yang benar-benar ada, baru kemudian manusia menggunakan hak khilafahnya untuk membikin “ada” yang sebenarnya sekadar “seakan-akan ada”.

Sedangkan mereka justru berpikir bahwa yang seakan-akan ada itulah yang mereka akui dan hayati sebagai ada. Bahkan ada manusia yang sedemikian pancaindra-sentrisnya sehingga beranggapan bahwa yang ada hanyalah yang mereka bisa sentuh dengan indra mereka. Sedemikian materialistiknya sehingga menyimpulkan bahwa yang ada adalah yang materiil, sehingga nilai-nilai dari wilayah ruh pun mereka sebut “materi”. Materi hukum, bukti materiil, materi ilmu, materi firman, yang diambil dari teks kasat mata dari Allah “Yang Maha Materi”.

Markesot tidak semena-mena menyalahkan kecenderungan itu. Sebab ummat manusia di abad mutakhir memang berdiri di atas pandangan pengetahuan dasar di mana “aku sadar maka aku ada”, “aku sadar dunia maka dunia ada”, kemudian akhirnya “aku sadar Tuhan maka Tuhan ada”.

Manusia sungguh-sungguh tak berkuasa atas ekosistem nilai penciptaan Allah. Salah satu pemaknaan dari “nafsu” yang Tuhan mewanti-wanti agar manusia menguasai dan mengendalikannya adalah karakter egosentrisme dalam diri setiap manusia. Dirinya adalah marja’ atau rujukan dari segala-galanya. Kalau manusia mengetahui sesuatu, maka kebenaran atas sesuatu itu berbatas lingkup pengetahuannya sendiri atas sesuatu itu.

Banyak manusia tidak siap mendengarkan, menampung, apalagi mengapresiasi atau mempelajari bahwa setiap manusia lain mengalami kebenarannya sendiri-sendiri atas sesuatu. Dan Allah meng-kait-kan kadar apresiasi itu dengan “hidayah”-Nya atas manusia. Seberapa seseorang yang mau, siap, kuat, lapang dan arif mendengarkan sebanyak mungkin wacana-wacana di luar dirinya, berbanding lurus dengan bobot hidayah Allah kepadanya.

Egosentrisme setiap manusia merupakan awal mula titik api, yang kalau tidak dikhalifahi dengan waspada dan matang, akan menimbulkan “kebakaran”, pada lingkup pergaulan sehari-hari, atau pada level yang lebih tinggi dan lingkar konflik yang lebih luas: khilafiyah aliran-aliran, pertentangan madzhab-madzhab, polarisasi sosialisme-kapitalisme, pengkutuban Demokrasi-Islam, permusuhan yang semakin menyeluruh antara Globalisme dengan Islam.

Sampai akhirnya kelak ummat manusia memasuki pembacaan hidup yang Allah sendiri sudah menyiapkannya: Fasiqun. Makhluk-makhluk fasiq. Fasiq adalah makhluk Allah yang tidak berhasil memelihara ketersambungan hati dan perjuangan penghayatannya atas atau kepada Allah, sehingga ujungnya mereka tidak mampu lagi mengelola dirinya sendiri, tidak sanggup memelihara ekosistem nilai kebersamaan, sebab tidak waspada terhadap “ada” yang sejati, yakni bahwa peradaban mereka sedang semakin tinggi percepatannya untuk membunuh kehidupan mereka sendiri.

Janganlah kamu lupa kepada Allah sehingga lupa kepada dirimu sendiri dan menjadi Fasiqun”. Allah meneruskan informasinya: “Sesungguhnya Allah mengabarkan semua yang kalian kerjakan”. Mengabarkan itu tidak diikat oleh sudah, sedang atau belum. Bisa jadi Allah sudah mengabarkan sebelum manusia mengalami kehancurannya. Sebelum energi bumi habis dikuras. Sebelum listrik padam. Sebelum manusia berbunuhan memperebutkan makanan dan air minum. Sebelum offline total. Sebelum pencakar-pencakar langit gelap gulita ruangannya, terbengkalai atau ambruk satu per satu.

Kemudian mereka akan bentrok dan berperang tidak lagi dengan melankoli cyber war, perang asimetris, peluncuran rudal-rudal, pelacakan medan perang dan kondisi musuh melalui satelit-satelit, melainkan tawur brubuh manual kembali: pedang, bendho, parang, badik, clurit, batangan kayu, batu-batu atau apapun sedapatnya.

“Mungkin para orangtua dan sekolah-sekolah sejak sekarang perlu memperkenalkan dan menyelenggarakan proses pembiasaan kembali kehidupan pra-sejarah, kurun manusia primitif, zaman batu, makan dedaunan dan akar-akaran”, Markesot berdesis, dan Tarmihim terdiam berkedip-kedip sejak tadi mendengarkan celetukan-celetukan Markesot.

“Bahkan bisa lebih dari itu. Air bah banjir bandang bikinan Allah menyapu manusia yang mengingkari informasi Nabi Nuh, sekarang digantikan dengan perusakan bumi dan penghancuran jiwa manusia oleh kepemimpinan di antara manusia sendiri. Masih untung dulu ada Nabi Nuh. Sekarang hanya ada Nuhin yang nothing dan tak berdaya”

Nuh? Oke. Nuhin?

Lainnya

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik