Satu Hati, Sinau Bareng

Saya berjalan mengelilingi lapangan sebelum acara dimulai. Terlihat jelas rumput yang hijau, tebal, dan merata masih basah oleh air hujan yang hingga sore tadi masih mengguyur. Beberapa bagian tampak tergenang air. Yang datang belum terlalu banyak. Sempat khawatir, akankah yang hadir sedikit saja sehingga lapangan yang luas ini akan terasa nyenyet.

Saya tepis pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak sepatutnya muncul di dalam keyakinan Maiyahan. Hanya soal waktu saja ternyata. Pada momentumnya, kenyataan akan berbicara. Menjelang pukul 20.00, orang-orang telah berdatangan memenuhi lebih dari separuh lapangan, dan nanti akan bertambah terus seperti biasanya.
Sinau Bareng malam ini tak pakai MC, tak pakai sambutan-sambutan dari pemuka atau tokoh, tetapi langsung dibuka oleh sekitar tiga puluhan siswa, mayoritas putri, SMK Nusantara Madiun. Merekalah kelompok musik Jenar. Sebuah fragmen musikal mereka hadirkan lewat tajuk “Ilmu Tinukune Kanthi Laku”. Anak-anak ini, di bawah asuhan Mas Yudi seorang guru musik yang low profile, selalu hadir di Maiyahan Waro’ Kaprawiran yang rutin sebulan sekali diselenggarakan di kompleks SMA Nusantara.
Lebih dari biasanya, mereka menyiapkan penampilan malam ini secara khusus. Seragam mereka hitam-hitam. Kepala mengenakan caping petani. Dengan ini mereka hendak mengatakan asal-usul dan akar sejarah mereka, yaitu desa. Itu diungkapkan dengan kemerdekaan dan kepercayaan diri.
Seperti tampak dari barisan yang paling depan, anak-anak ini memangku kentongan bambu, dan di tangan kanannya memegang botol plastik minuman yang di dalamnya telah diisi beberapa kerikil. Inilah salah satu alat musik mereka malam ini. Dalam formasi yang rapi, salah seorang di antara mereka maju ke depan. Duduk, menggerakan badan dengan pola tertentu, dan bibirnya menyampaikan pesan luhur tentang lelaku hidup.
Sungguh mengesankan, bahwa anak-anak remaja ini berbicara tentang hal-hal yang mendasar, yang selayaknya menjadi bahan perenungan orang dewasa. Anak-anak ini melampaui mainstream. Dan itu terjadi di sebuah kota atau kabupaten yang jauh dari pusat dunia. Jauh dari Jakarta. Jauh dari Eropa, yang beberapa negaranya habis dikunjungi Mbah Nun kemarin hari.
Anak-anak ini di usianya yang amat dini telah menikmati dan menekuni pengasahan diri terus-menerus melalui kekomunitasan yang mereka bentuk. Mereka belajar bersama. Dengan musik, dengan kerja sama, tentang formasi, dan macam-macam hal. Dan persentuhan mereka dengan Maiyahan lewat Warok Kaprawiran membawa mereka memahamo musik untuk kehidupan, untuk hubungan mereka dengan Tuhan, untuk integralitas dengan masyarakat. Mereka mendapatkan cara memahami kegembiraan yang lain daripada yang lain.

Mas Patub Letto yang menyimak update informasi berlangsungnya acara ini melalui jalur WA, begitu melihat foto-foto penampilan anak-anak Jenar ini, mengungkapkan komentarnya, “Biasanya pakai fragmen-fragmen kecil di tengah-tengah lagu. Apik cah-cah iki”. Emoticon jempol pun menyertai.
Lewat Maiyahan, lewat kehadiran dan penampilan anak-anak muda seperti Jenar, senantiasa muncul optimisme akan masa depan Indonesia. Kehadiran Cak Nun seperti ekuivalen dengan kemunculan generasi baru, qaumun akhor, yang belakangan ini Cak Nun kaitkan dengan keputusan Allah untuk mendatangkan kaum baru ketika mayoritas orang murtad dari agama Allah (QS Al-Maidah 54). Tetapi pemahaman dan penjelasan tentang murtad dari agama Allah berbeda dengan yang selama ini dipahami. Jamaah Maiyah sedang diajak Cak Nun mendalami dan menyelami ayat ini. (hm)