CakNun.com
Daur 136

Rimba Gelap di Depanmu
Loncat Masuk!

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Anak cucuku dan para jm kemarin kuajak memasuki rimba hutan belantara dan menembus hujan deras peradaban Abad 21, dunia dan Indonesia.

Kemudian anak cucuku dan para jm menagih kalimatku “sederas-deras air hujan, sela-sela kosong di antara titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan”.

Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa tidak basah kuyup?

Jangan sampai didengar oleh para tetangga, ini sebatas kalimat buat anak cucuku dan para jm bahwa jawaban untuk tagihan dan pertanyaan itu, juga beribu pertanyaan yang lain — terletak pada hidupku.

Jangan sampai anak cucuku dan para jm meniru aku, atau apalagi sepenuh-penuhnya bertekad mengikuti jejakku. Sebab engkau semua bukan aku. Sejarahmu akan berkembang tidak seperti sejarahku. Juga aku bukan panutanmu. Bukan sebagaimana nabi atau para pemimpin yang diikuti oleh sebagian ummat manusia.

Jika kukatakan kepada bahwa “jawabannya ada pada hidupku” tak berarti hidupku ini penting, khas atau istimewa. Tidak sama sekali. Ini sekedar informasi bahwa jawabannya ada pada hidupku. “Ada pada” tidak sama dengan “hidupku”. Yang satu unsur atau muatan, yang lain wadahnya.

Mohon tetap diingat bahwa muatan maupun wadahnya itu tak ada di lingkup dunia dan Indonesia, sekurang-kurangnya mereka tidak melihatnya. Oleh karena itu semua omong-omong kita lingkupnya sebatas aku dengan anak cucuku dan para jm.

Engkau semua tidak berkewajiban untuk mempelajari atau mengakui wadahnya, tetapi kalau memang memerlukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, setidak-tidaknya carilah itu di muatannya. Tengoklah, jenguklah, masukilah, telusurilah, telitilah, selamilah, temukan tetesan-tetesan nilainya, butiran-butiran maknanya.

Jika engkau melakukannya, tekanan makna dan manfaatnya tidak terletak pada “aku” nya, melainkan pada penemuan “jawaban” nya. Kalau hidupmu menuju masa depan yang remang-remang nanti tidak terkait dengan “jawaban” itu, maka si “aku” menjadi lebih tidak engkau perlukan lagi.

***

Sesuatu memasuki hatiku dan merasuki kepalaku, dan itu membuat jari-jari tanganku menulis:

rimba gelap di depanmu
loncat masuk! dan bukan berpikir
kapal di belakangmu musnah terbakar dan api terus
bernyala-nyala
api terus berkobar, menjilat-jilat, meremuk masa silammu...

Kemudian itu disebut puisi. Kutulis pada 1973, kelak pada 1993 diterbitkan bersama puisi-puisi lain menjadi sebuah buku. Jangan dipersoalkan dulu apakah itu puisi atau bukan. Yang kututurkan kepada anak cucuku dan para jm hanyalah sezarrah “jawaban” di antara padang pasir jawaban-jawaban yang lain.

Kalimat-kalimat itu titik loncat di belakangnya adalah peristiwa kapal dibakar atas perintah seorang Panglima Perang ketika memasuki Spanyol. Keputusan itu merupakan buah strategi mental bagi para prajurit untuk memojokkan mereka hanya di satu kemungkinan: maju! Tandang. Melangkah ke depan. Tidak ada kemungkinan lain.

Ada kalimat “dan bukan berpikir”, bagaimana maksudnya? Apakah kita diperintahkan untuk menjalani sesuatu tanpa pertimbangan pikiran? Tidak modern dan tidak ilmiah kalau bertindak tanpa landasan pemikiran. Dan bukanlah manusia kalau sepak terjangnya tidak bertulang punggung akal.

Hakikinya “dan bukan berpikir” berlaku pada satu dua detik pengambilan keputusan. Proses berpikir bisa membuat keputusanmu lebih matang, tapi bisa juga karena hidup ini tak kan selesai dihitung dan dipikir, maka tahap-tahap berpikirmu itu justru bisa menjadi serimpetan penghalang yang membuatmu tidak jadi melangkah. Atau bahkan tidak pernah melangkah.

Sebagian anak cucuku dan para jm hidupnya termangu-mangu, karena langkah yang direncanakan tidak pernah matang dalam pikiran. Akhirnya ia berubah menjadi pemikir yang perjalanan hidupnya bukan perjalanan, melainkan ketermangu-manguan.

***

Terkadang engkau bisa berlaku seperti seorang arsitek yang setiap langkah ke depannya dihitung dulu dengan seksama dan sesempurna mungkin. Kondisi tanah tempat ia akan mendirikan bangunan, lingkungan sekitar tanah itu, bentuk bangunannya, detail-detailnya, dan yang terutama ia tidak akan pernah menghitung semua itu jika tidak terlebih dulu tersedia dana untuk membiayainya.

Sebagian dari urusan hidupmu bisa engkau kelola dengan cara arsitek. Tapi aku menduga sebagian besar dari keharusan-keharusan perjuanganmu sama sekali tidak bisa engkau jalankan dengan cara itu. Engkau bisa memikirkan dan memperhitungkan segala sesuatu yang akan engkau kerjakan, tetapi ada beribu kemungkinan lain yang mustahil dijangkau oleh sangat terbatasnya kemampuan pikiranmu.

Bahkan para arsitek, pun para penguasa dan pengendali kehidupan di bumi, tidak ada yang mengerti persis apa yang akan terjadi lima menit yang akan datang. Gedung-gedung tinggi ambruk oleh gempa atau oleh korupsinya sendiri. Para penguasa, Kaisar, Raja, Presiden, pengusaha, ambruk, kecuali yang Tuhan membiarkannya dengan maksud tertentu, istidraj atau alat hidayah. Dan tidak berarti yang dibiarkan itu bebas dari wabal-Nya. Hanya soal pergiliran waktu, pada interval di dan antara dunia dengan akherat.

Kebanyakan di antara anak cucuku dan para jm bukanlah arsitek kehidupan dunia, terlebih lagi ada Maha Pekerja dan Maha Arsitek Agung yang sejatinya sangat dominan akses dan peranannya. Engkau kebanyakan adalah pejalan kehidupan, dengan api membakar hangus di belakangmu, dan rimba gelap di depanmu. Aku menyaksikan juga bahwa engkau berani mengambil keputusan “loncat masuk!”, dengan mental yang engkau menyebutnya bukan hanya tekad tapi “nekad”. Engkau meloncat masuk dan memperkembangkan aji-aji dan kecanggihan silatmu untuk “bismillah” menjalani apa yang engkau sedang dan akan jalani.

Anak cucuku dan para jm beralamat di “min haitsu la yahtasib” dan betapa dahsyatnya itu jika diterjemahkan di dalam struktur urusan-urusan, dipahami dalam konstruksi langkah-langkah, dan besoknya ditemukan di dalam fakta teknis yang ternyata bisa sangat sederhana.

Tapi meskipun demikian aku tahu engkau masih terganjal oleh pertanyaan “bagaimana caranya berjalan di dalam kegelapan rimba, bagaimana langkahnya supaya tidak basah kuyup di tengah hujan deras?”.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
9 Maret 2016

Lainnya

Topik