Rihlah Sosiologi Untuk Kiai Muzammil
Perjalanan Rihlah Cammanallah ini memiliki arti tersendiri bagi Kiai Muzammil yang notabene baru kali pertama datang ke Mandar. Di jazirah Mandar, Kiai muda asli Madura dan juga Kiai di pelbagai forum Maiyahan, melihat secara empiris dan nyata bagaimana hubungan masyarakat Mandar dengan sosok Cak Nun, yang bagi mereka disebut sebagai “ayah” atau “guru”. Hubungan itu sendiri sudah terjalin selama tiga puluh sembilan tahun.
Di jazirah Mandar inilah, Kiai Muzammil belajar dan menyaksikan hal, fenomena, atau kenyataan sosiologis keummatan dengan kedalaman yang belum pernah ia temui sebelumnya. Sebagai contoh, ia melihat langsung bagaimana masyarakat sebenarnya dapat memiliki suatu nilai, yang oleh dunia masa kini tidak begitu diminati dan bahkan tidak pernah dijadikan wacana sama sekali. Yaitu ketaatan. Lebih dari sekadar cinta. Cinta sudah pasti. Potensi dan ekspresi ketaatan masyarakat Mandar kepada orang yang dipandang sebagai guru sangat jelas. Kiai Muzammil berinteraksi langsung dengan orang-orangnya.
Kiai Muzammil juga mengalami secara nyata bagaimana masyarakat Mandar — seperti dilihatnya sendiri setiap kali Cak Nun singgah di mana pun di Mandar — selalu diserbu orang-orang untuk dimintai doa. Hal yang tak mungkin terjadi tanpa adanya pengalaman-pengalaman yang mendahului, sehingga mereka punya alasan kuat untuk meminta doa kepada Cak Nun. Sekurang-kurangnya, Kiai Muzammil merasakan sebuah masyarakat yang masih memegang nilai dan keyakinan yang kuat akan kekuatan doa.
Tetapi doa dalam konteks ini dipahami secara spesifik dalam suatu bangun relasi: Allah, kekasih-Nya, dan kompatibiltas masyarakat terhadap potensi atau peluang terkabulnya doa itu. Hubungan atau relasi ketiganya berlangsung melalui proses yang cukup lama. Sang kekasih bukan sekadar seseorang yang tanpa sejarah di sana. Sang kekasih di tanah di mana masyarakat tersebut tinggal memberikan kontribusi signifikan di sana: mendidik, membimbing, terjun ke lapangan menyodorkan solusi-solusi, serta menjalankan bagaimana tauhid itu merupakan kekuatan nyata, menjadi tempat curhat dan mencari penguatan orientasi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memiliki ‘posisi’ di hadapan para pendahulu atau leluhur di sana.
Hubungan batin yang sangat kuat antara masyarakat dengan seseorang yang diposisikan sebagai guru, ayah, atau kiai itu sangat memungkinkan Allah tersenyum senang melihat keindahan itu. Sehingga Ia sangat murah hati menurunkan kedermawanannya pada momentum-momentum yang Ia kehendaki. Suatu komposisi kepemimpinan yang terdiri atas ketulusan, kesetiaan, ketaatan masyarakat kepada pemimpinnya, dan pemimpinnya benar-benar jumeneng di dalam hati mereka, dan Allah menyaksikannya.
Pagi-pagi baru tiba di Majene, Kiai Muzammil sudah mendapatkan cerita. Ada seorang asli Mandar dan tinggal di Makassar. Suatu hari ia ikut di sebuah acara malam tahun baru. Rupanya, acara gaduh, entah apa sebabnya. Pasukan garnisun menertibkan keadaan yang berkembang chaos, sehingga memukul siapa saja yang ada di sekitar lokasi untuk membubarkan kerumunan-kerumunan. Ia berlari dari kejaran itu, dan tinggal selangkah terkejar. Ia merunduk dan kedua tangannya memegang kepalanya untuk melindunginya, dan tepat saat nyaris terkena pentungan, Ia berteriak, “Cak tolong, Cak….”
Tiba-tiba ia sudah tidak lagi di situ. Ia sudah berada di depan rumahnya. Sementara jarak rumah itu dengan lokasi acara tadi sekitar lima belas kilometer. Ia heran, kok tiba-tiba sudah terlempar ke depan rumahnya tanpa sedikit pun merasakan prosesnya yang berlangsung sangat cepat. Ia pun terhindar dari pukulan itu. Kiai Muzammi mulai sedikit demi sedikit mendapatkan kisah-kisah yang belum didengar sebelumnya. Termasuk ia mulai mengetahui makam-makam para wali di sini. Di antaranya yang paling sepuh dan memulai babat alas Islam di sini pada abad ke-16 adalah Syaikh Abdul Mannan. Juga ia mulai mengenal waliyullah Imam Lapeo. Siang itu Ia menyempatkan diri ziarah ke makam Syaikh Abdul Mannan.
Dalam bingkai hubungan antara masyarakat, kekasih Allah, dan Allah sendiri itu pula Kiai Muzammil melihat dan merasakan langsung bagaimana sosok Bunda Cammana. Seseorang yang menjadikan shalawat, kecintaan kepada Nabi, sebagai laku hidup. Jauh dari pretensi seni, kebudayaan, apalagi industri. Bunda Cammana jauh dari itu semua. Ia murni dan sungguh-sungguh hidupnya sebagai pejuang kehidupan di dalam masyarakat. Kiai Muzammil melihat bagaimana cinta, ketaatan, keta’dhiman, dan penghormatan dilestarikan dari generasi ke generasi sebagai salah satu nilai dasar dalam masyarakat.
Kiai Muzammil sadar ini bukan soal siapa-siapanya, melainkan terlebih dahulu adalah soal fenomenologinya. Fenomena sosiologis yang khas, yang di dalamnya ada dimensi-dimensi nilai yang selama ini sudah hilang dalam kamus hidup masyarakat modern. Sesudah dua hari berinteraksi dengan teman-teman di Mandar, saat di Bandara Sultan Hasanuddin menjelang kepulangan ke Jogja, Ia berbisik, “Sekarang ini nggak ada yang mau jadi Sunan Kalijaga, maunya Sunan Ampel semua.” Jangan-jangan Sunan Ampel pun tidak, Yai!