CakNun.com

Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 3 menit

Setelah lima tahun yang lalu Cak Nun dan KiaiKanjeng melakukan perjalanan cinta di Bumi Mandar dalam rangkaian acara Syafinatunnajah (2011), pada tanggal 29 April 2016 ini Cak Nun dan KiaiKanjeng akan melakukan kembali perjalanan penawar rindu kepada sesama saudara di Bumi Mandar.

Sejarah Cak Nun dengan saudara-saudara di Mandar memang terjalin cukup lama. Adalah almarhum Alisjahbana, orang Mandar, Alumni APMD Yogyakarta, yang membawa Cak Nun di Mandar. Ini merupakan cara Alisjahbana membangun mimpi anak-anak asuhannya, dengan mengenalkan Cak Nun. Setiap tulisan Cak Nun yang terbit di Majalah Panjimas dan Tempo, difotokopi sebanyak mungkin kemudian dibagikan kepada anak-anaknya, lalu malamnya tulisan itu didiskusikan sampai suntuk. Diam-diam tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Cak Nun. Tidak satupun tulisannya yang dilewatkan, yang ada di sejumlah media. Diam-diam pula ada desakan dari hati setiap individu anak-anak muda itu hendak bertemu langsung dengan Cak Nun, sosok yang mulai dirindukan dalam waktu relatif lama, sekitar empat tahun.

Rihlah Cammanallah
Rihlah Cammanallah

Tahun 1987, melalui kerja urunan, akhirnya terkumpul dana yang cukup sekedar untuk menerbangkan Cak Nun dari tanah Jawa ke Mandar.

Selama di Mandar, Cak Nun melakukan aktifitas. Memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam. Di samping itu Cak Nun harus rela menerima daulat masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai datang membawa sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya. Ada beragam topik masalah yang diajukan mereka ke Cak Nun; penyembuhan, pengasihan, dan soal rejeki.

Kehadiran Cak Nun di Mandar disadari atau tidak, berperan mendinamisasi proses berpikir kritis dan proses kreatif masyarakat Mandar dalam semua aspek kehidupan. Politik, ekonomi, sosial budaya dan tentunya dalam hal agama dan keberagamaan.

Pada kunjungan yang kedua ke tanah Mandar, Cak Nun mengingatkan ke orang-orang Mandar, untuk senantiasa waspada. Sebab relatif tidak terlalu lama mendatang perubahan demi perubahan akan berlangsung pula di Mandar. Jembatan sudah mulai dibangun. jalan-jalan akan makin diperlebar. Tidak lama lagi mobil ukuran raksasa akan melintas, mengantarpulaukan aneka produk pertanian di Mandar. Fakta itulah yang terjadi sekarang.

Sering dalam berbagai kesempatan Cak Nun mengungkapkan, semacam mendeklarasikan dirinya sebagai orang Mandar. “Saya orang Mandar yang lahir di Jombang”. Ungkapan ini cukup membanggakan pihak orang-orang Mandar. Dan dengan pernyataan itu pula para tokoh dan sepuh orang Mandar meresponnya dengan penuh keikhlasan. Taruhlah misalnya Husni Djamaluddin (penyair), Baharuddin Lopa (Dirjen LP & Sekjen Komnas HAM era Orde Baru), Andi Mappatunru Sompawali (tokoh Adat, Mantan Anggota DPR), S. Mengga (Mantan Bupati Polewali Mamasa), dan sejumlah tokoh lainnya. Tentu pernyataan itu tidak sepihak. Sebab Cak Nun kemudian didaulat menjadi orang Mandar oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar. Dalam momentum halal bi halal di tahun 1999, Cak Nun disemati peniti emas, sebagai penanda bahwa Cak Nun adalah warga Mandar kehormatan atas upayanya mengenalkan Mandar ke ke khalayak luas.

Pada tahun 2011, bertempat di Gedung Cak Durasim Surabaya, Jamaah Maiyah Nusantara menghormati dan menyampaikan penghargaan kepada 3 + 9 orang di antara sekian orang yang pekerjaan sehari-harinya insyaallah disenangi oleh Tuhan, yang tidak ikut menghancurkan kehidupan dan tidak turut merusak dunia, di tengah gegap-gempita peradaban modern yang profesi utamanya adalah menyakiti hati Tuhan.

Ijazah Maiyah dan Syahadah Maiyah diberikan kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut adalah Kebenaran, Kesungguhan, Otensitas, Kesetiaan, Keikhlasan.

Ijazah Maiyah dan Syahadah tidak diperuntukkan bagi orang dengan keunggulan professional, bahkan tidak juga untuk keunggulan itu sendiri. Maiyah berpendapat manusia tidak perlu mengungguli sesama manusia.

Dan orang Mandar yang diberi kehormatan dan penghargaan ini adalah Alisjahbana dan Ibu Cammana.

Perjalanan kali ini adalah perjalanan rindu dan cinta, selain terus membangun tali silaturahmi, yang utama juga ingin mengabadikan karya-karya cinta Ibu Cammana yang sangat dahsyat itu, karena siapa lagi yang harus menghormati orang besar yang ketlingsut di keramaian Indonesia kalau bukan kita. Rihlah Cammanallah, Perjalanan ke Bunda Cammana.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

Bisikan Cinta Bunda Cammana

Bisikan Cinta Bunda Cammana

Perempuan itu berdiri di samping mobil yang akan mengantarkan rombongan tamunya pergi meninggalkan tempat itu.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
Exit mobile version